Translate

Senin, 27 Juni 2011

YANG TELAH DIPERJUANGKAN (Motivasi Shalat Bagian 2)

Tak terasa Sudah tahun 1431 Hijriyah. Pernahkan kita berfikir tentang tahun baru kita itu? Tentang apa yang terjadi 1431 tahun silam? Momentum penting apakah yang membuat para sahabat mengabadikan peristiwa tersebut sebagai tahun pertama umat Islam? Seolah menandai telah terjadi sebuah peristiwa besar … sebuah tonggak paling bersejarah dalam peradaban Islam.

Pasti kita semua telah tahu bahwa saat itu telah terjadi peristiwa hijrah. Namun pernahkah terfikir mengapa peristiwa hijrah itu menjadi momen paling berkesan hingga diabadikan sebagai perhitungan tahun pertama Islam?
Marilah mencoba menembus lorong waktu dan kembali pada masa seribu empat ratus tiga puluh satu tahun silam, saat Rasulullah dan para sahabat berbondong-bondong meninggalkan Mekkah menuju Madinah.

Bayangkanlah sekiranya kita adalah salah satu dari rombongan Rasulullah dan para sahabat saat itu, dan mari kita mencoba merasakan apa yang saat itu akan kita rasakan jika kita harus tunduk para keputusan untuk hijrah. Sanggupkah kita melakukannya? Bukankah meninggalkan kampung halaman adalah sesuatu yang sangat berat dan mungkin tak pernah terfikirkan sebelumnya? Karena disana ada banyak hal yang sangat kita cintai, rumah dan harta yang nyaman, keluarga, anak, istri, suami yang kita cintai, dan pekerjaan yang mapan.

Bukankah tidak mudah meninggalkan semua kemapanan itu? Dan ketika kita harus hijrah (berpindah) ke tempat lain yang asing, yang sama sekali tidak ada janji-janji kenyamanan yang sama seperti kenyamanan di kampung halaman, maukah kita berhijrah? Terbayang betapa beratnya keputusan hijrah itu. Belum lagi ditambah bayangan-bayangan tidak jelas tentang tempat yang kita tuju. Pastilah juga terfikir dimana nanti kita akan bertempat tinggal? bagaimana kita akan bekerja untuk bertahan hidup? Pada intinya dengan segala prediksi perhitungan matematis, di sana tidak ada harapan-harapan dunia.

Rasulullah dan para sahabat adalah juga manusia biasa seperti kita. Pastilah juga memiliki ego dunia yang merasakan sedih dan berat meninggalkan keluarga dan harta. Namun nyatanya mereka mampu mengalahkan nafsu/ego dunia itu dan tanpa gentar bergerak dengan penuh keyakinan menuju Madinah. Karena memang bukan janji kemapanan dunia itu yang Rasulullah dan para sahabat tuju, bukan harapan-harapan kecemerlangan dunia. Tetapi adanya secercah harapan-harapan cerah untuk harapan yang lebih besar … harapan akhirat … Harapan untuk bisa menjalankan ketentuan Allah.

Dan perintah Allah manakah yang membuat Rasulullah dan para sahabat mampu mengambil keputusan besar meninggalkan semua kemapanan dunia? Tak lain adalah demi menjalankan perintah Shalat 5 waktu.

Bukankah peristiwa hijrah ini hanya selang 3 bulan setelah turunnya perintah shalat 5 waktu (peristiwa isra' mi'raj)? Karena memandang ketentuan risalah shalat (shalat berjamaah dan bermasjid) ini tidak mungkin bisa dilakukan di Mekkah, maka Rasulullah dan para sahabat bersepakat meninggalkan Mekkah untuk menuju Madinah, suatu tempat yang mereka anggap memungkinkan untuk menjalankan serangkaian risalah shalat tersebut yang selama ini tidak mungkin diwujudkan selama di Mekkah.
Buktinya … belumlah sampai beliau di Madinah, ketika mendapati sekelompok orang yang sudah memeluk Islam di Quba, beliau langsung memerintahkan untuk mendirikan masjid sebagai salah satu bagian dari rangkaian risalah shalat yang harus ditegakkan.

Inilah bukti tak terbantahkan yang melatar belakangi hijrah Rasulullah. Sesampainya di Madinah, yang pertama beliau kerjakan adalah juga memerintahkan orang untuk mendirikan masjid, yang sampai sekarang dikenal dengan nama masjid Nabawi. Bahkan hal itu beliau kerjakan sebelum beliau masuk di rumah yang telah disedikan oleh kaum muslimin di sana. Inilah tujuan hijrah beliau. Bukti tak terbantahkan yang melatar belakangi hijrah Rasulullah !!!

Demikianlah perjuangan Rasulullah dan para sahabat dalam memperjuangkan ketentuan shalat itu. Tampak shalat bukanlah hal yang main-main, tapi bagi Rasulullah shalat merupakan hal yang pokok dan mendasar yang harus mendapat perhatian khusus hingga mestilah diperjuangkan dengan demikian kerasnya. Meninggalkan semua kecintaan dunia demi meraih kecintaan Allah di akhirat. Merekalah … yang berhasil membersihkan dirinya dari kepentingan-kepentingan / ego dunia demi akhirat yang disebut Allah sebagai orang yang telah menang. Sebagaimana dijelaskanNya dalam surat al A'ala (87) ayat 14-19 berikut:

“Sungguh menang orang yang telah bersih. Dan dia mengingati nama-nama Rabbnya, maka langsung shalat. Tetapi kehidupan dunia ini terlalu banyak mempengaruhi. Padahal pilihan akhirat itu lebih baik dan kekal. Sesungguhnya hal ini benar-benar telah terdapat dalam suhuf-suhuf terdahulu. (yaitu) suhuf-suhuf Ibrahim dan Musa.”

Sungguh menang orang yang telah bersih.
Begitulah Allah menyebut hambanya sebagai “Sang Pemenang”. Ketika kita telah mampu membersihkan fikiran dan konsepsi kehidupan dari perolehan-perolehan duniawi dan ketika kita telah mengambil keputusan untuk tidak mau dipengaruhi oleh perolehan dunia maka kitalah Sang Pemenang itu.
Dan inilah petunjuk yang diberikan Allah kepada kita, sebagaimana telah dibuktikan oleh Rasulullah dan para sahabat dalam peristiwa hijrah. Mereka telah mampu membersihkan diri dari janji-janji kenikmatan dunia sekaligus menyingkirkan ketakutan-ketakutan kehilangan perolehan dunia. Mereka juga telah mampu menyingkirkan kecemasan pada keselamatan keluarga yang telah mereka tinggalkan di Mekkah.

Mereka juga telah mampu membuktikan ketidakbergantungan mereka akan harta yang di tinggalkannya di Mekkah, juga menyingkirkan ketakutan-ketakutan kesulitan mendapatkan harta lagi di tempat hijrah mereka. Begitulah keimanan orang-orang terdahulu … orang-orang yang telah berhasil membuktikan dirinya sebagai Pemenang Sejati. Dan dia mengingati nama-nama Rabbnya, maka langsung shalat.
Ketika kita mengambil keputusan untuk tidak mau dipengaruhi dunia maka fikiran kita akan bersih dari keinginan-keinginan hawa nafsu yang cenderung pada kekotoran dunia. Bukankah memang cinta dunia, nafsu dan syahwat adalah identik dengan kekotoran?

Dan ketika kita mampu menyingkirkan itu semua maka hal ini akan membawa jiwa dan fikiran kepada kebesaran dan keagunan Rabb, sehingga timbullah kesadan betapa kecil dan tidak berdayanya diri kita di hadapan Rabb, sehingga hilanglah kesombongan diri.

Hal inilah yang akan menimbulkan keinginan kita untuk melakukan shalat, sebuah bentuk kedekatan sekaligus penghambaan diri pada Kebesaran dan Keagungan namaNya atas kelemahan serta kerendahan diri kita sebagai seorang hamba. Demikian itulah fithrah manusia.

Tetapi kehidupan dunia ini terlalu banyak mempengaruhi. Padahal pilihan akhirat itu lebih baik dan kekal.

Inilah watak dari kehidupan dunia. Ia adalah musuh yang menghalangi kita dari kemenangan. Seharusnya kita bisa menjadi orang-orang yang menang, namun pengaruh dunia sangat kuat mempengaruhi fikiran dan jiwa kita.
Maka tiada lain yang harus kita lakukan kecuali menahan diri dari keinginan mendapatkan perolehan-perolehan duniawi, dengan mempertimbangkan janji perolehan akhirat yang lebih baik dan lebih kekal. Mengutamakan tujuan akhirat dan mengesampingkan nafsu dunia.

“Sesungguhnya hal ini benar-benar telah terdapat dalam suhuf-suhuf terdahulu. (yaitu) suhuf-suhuf Ibrahim dan Musa”

Pengaruh dunia yang begitu besar yang mampu menghalangi diri dari menjalankan ketentuan-ketentuan agama itu telah terdapat pada suhuf-suhuf terdahulu dan telah dibuktikan oleh nabi-nabi terdahulu. Ibrahim dan Musa. Itulah yang menjadi keyakinan sekaligus ketakutan nabi Ibrahim.
Bahwa kekuatan dunia akan mampu mengalahkan kemauan diri untuk menjalankan petunjuk. Kesadaran itulah yang akhirnya membuat Ibrahim melakukan hijrah (pindah) dari tempat yang subur makmur dan bergelimangan dunia ke tempat yang tandus lagi kering, yang sama sekali tak menjanjikan kemakmuran dunia. Semata-mata agar dirinya dan keluarganya memiliki kekuatan untuk menjalankan petunjuk.
Suhuf Ibrahim ini difirmankan dalam surat Ibrahim (14) ayat 37 :
Ya Rabb kami, sesungguhnya (sengaja) aku telah dari menempatkan keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, Ya Rabb Kami (semua itu hanya) untuk menegakkan shalat. (Jika shalat telah tegak) maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan berilah rezeki kepada mereka dari buah-buahan, agar mereka bersyukur.

Inilah yang dikerjakan oleh Ibrahim dalam rangka menegakkan shalat, hijrah dari tempat yang subur menuju lembah yang gersang lagi kering dan tak bertanam-tanaman, semata-mata tidak ada tujuan dan motivasi lain kecuali demi tegaknya shalat. Terlihat perjuangan beliau membersihkan dirinya dari segala bentuk pengaruh dunia dengan tujuan yang sangat jelas : “Ya Rabb kami, semua itu hanya untuk menegakkan shalat”. Begitulah al-Quran menjelaskan kepada kita tentang doa Ibrahim sebagai orang yang telah berhasil menegakkan shalat. Sebagaimana beliau adalah seorang imam yang berusaha mendidik dan mengarahkan keluarganya agar hal pertama yang harus dicapai dalam hidup adalah menegakkan shalat. Beginilah semestinya setiap diri menghadapi dan menyikapi ketentuan shalat.

Hal demikian beliau lakukan karena pemahaman yang begitu mendalam tentang dunia dan pentingnya. Beliau sangat paham bahwa dunia memiliki kekuatan yang sangat besar untuk memalingkan manusia dari menjalankan petunjuk. Disinilah letak pentingnya kedudukan shalat. Ia adalah modal besar yang harus ditegakkan, perlindungan diri dari ancaman dunia, sekaligus modal utama untuk menjalankan ketentuan-ketentuan Allah yang lain. Maka shalat adalah hal pertama harus diperjuangkan agar terlebih dahulu tegak di dalam diri. Dan inilah bentuk perjuangan Ibrahim untuk mendirikan shalat. Ia benar-benar menyingkirkan segala hal yang ia yakini dapat menghalanginya untuk menjalankan ketentuan shalat tersebut.

Doa beliau selanjutnya setelah dirinya dan keluarganya menjadi orang yang muqimushsholah (menegakkan shalat) adalah meminta rizki kepada Allah. Mengapa hal demikian beliau lakukan? Tiada lain karena kefahaman yang mendalam tentang dua hal yang sangat berlawanan. Tentang shalat yang menguatkan dan tentang dunia yang melenakan. Beliau sangat khawatir kalau rizki yang beliau minta terlebih dahulu tanpa tegaknya shalat, maka rizki justru itu akan memalingkan dirinya dari ketentuan-ketentuan Allah. Inilah motivasi beliau dalam berhijrah dan memperjuangkan tegaknya shalat.

Inilah prestasi Ibrahim, beliau telah berhasil menegakkan ketentuan shalat. Ketika beliau telah berhasil menegakkan shalat, maka barulah beliau merasa layak meminta sesuatu (rizki) kepada Allah. Beliau menjadikan prestasi shalat itu sebagai perantara untuk berdoa memohon sesuatu kepada Allah.
Inilah yang selama ini kita kenal dengan istilah wasilah. Perantara itu bukanlah amal shaleh orang lain (para kyai, wali atau ulama) apalagi karomah orang-orang yang telah mati, namun Ia adalah sesuatu yang kita usahakan sendiri dan memiliki nilai di hadapan Allah.

Merujuk pada tauladan Ibrahim tersebut, maka shalatlah perantara kita yang sebenarnya untuk memohon pada Allah. Bukankah al-Quran telah menegaskan bahwa beliau adalah uswatun hasanah? kepada beliaulah kita mencari contoh perilaku, konsep pemikiran juga belajar tentang kekuatan keyakinan.

Lihatlah bagaimana pola pikir beliau ... sangat berbeda dengan pola pikir kita. Ketika kita berpikir mustahil dapat hidup di ladang gersang, namun tidak demikian dengan pemahaman beliau. Ibrahim telah membuktikan bahwa dengan menegakkan shalat maka kesulitan dunia tidak akan pernah menjadi masalah besar untuk kita cemaskan. Dan sekarang kita telah menyaksikan sendiri buah dari keyakinan Ibrahim itu, bagaimana Allah nyatanya telah mengubah ladang tandus kering itu menjadi kota yang begitu makmur dan kaya hanya dengan shalat.
Kota Mekkah saat inilah bukti dari keyakinan Ibrahim tersebut. Bahwa dunia akan mengikuti kita ketika kita telah mampu menjalankan ketentuan-ketentuan agama dengan konsisten. Demikianlah gambaran sekaligus bukti keyakinan dari orang-orang yang memiliki keyakinan yang mantap.

Allah juga menjelaskan kepada kita hal yang sama mengenai ketetapanNya tentang shalat kepada Musa dalam surat Thoha (20) ayat 14. Dikisahkan pada ayat sebelumnya bahwa dalam suatu perjalanan malam yang gelap gulita, Musa dan keluarganya sedang mengalami kebingungan tentang arah perjalanan. Kemudian tampak oleh Musa api di kejauhan.

Maka ia datangi api tersebut dengan harapan dapat membawa sebuah suluh api pada keluarganya agar ia dan keluarganya mampu melihat jalan dengan terang. Atau dia berharap agar bertemu seseorang disana yang dapat menunjukinya arah yang benar. Namun ternyata disanalah wahyu pertama turun pada Musa :
“Sesungguhnya aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, Maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingatKu.”

Demikianlah wahyu pertama yang turun kepada Nabi Musa. Sama halnya dengan Nabi Ibrahim dan Rasulullah, yaitu perintah untuk mendirikan/menegakkan shalat. Tujuannya adalah untuk mengingat Allah. Begitulah Allah menetapkan perintah shalat untuk menjaga hambaNya agar tetap mengingat kebesaranNya.
Demikian jugalah reaksi (respon) dari para Rasul Allah itu menanggapi perintah shalat. Hijrah yang mereka lakukan adalah semata-mata agar mampu menegakkan perintah shalat tersebut. Dan itulah jalan yang mereka tempuh. Itulah sabilillah, jalan-jalan yang telah dilalui oleh para nabi dan Rasul Allah. Jalan yang telah dijamin kebenarannya oleh Allah.
Keputusan berhijrah bukanlah keputusan dan pekerjaan yang mudah. Bukankah hijrah Ibrahim ke padang kering dan gersang membutuhkan sebuah keberanian? Begitupun hijrah Rasulullah Muhammad, bukankah meninggalkan segala kemapanan di Mekkah juga membutuhkan sebuah keberanian dan keyakinan menjalankan perintah?
Tampaklah bahwa shalat inilah hal yang pertama-tama harus diurus, dan perintah yang teramat penting untuk difikirkan dengan sangat serius dan dilaksanakan dengan penuh kesungguhan.

Maka ketika mereka begitu besar berkorban dan berjuang memperjuangkan perintah shalat, bagaimana dengan kita? Ketika keputusan hijrah itu dihadapkan kepada kita, mampukah kita ikut dalam perjalanan berat itu? Sungguh mental kita tidak sebanding dengan mereka ... pola pikir kita sangat berkebalikan dengan pola pikir para Rasullah dan para sahabat itu.

Namun apakah yang membuat kita berbeda dan tampak begitu lemah? Bukankah al-Quran yang sampai kepada kita sama, bukankah Rasul kita juga sama? Tak lain karena keberadaan dunia masih bergelayut dan memberatkan langkah kita. Itulah sebabnya kita tidak kunjung menjadi ummat yang mau dan mampu memperjuangkan perintah shalat ini.

Mampukah kita mengalahkan ego dunia kita, meninggalkan pekerjaan atau saat-saat hangat bersama keluarga untuk konsisten memenuhi seruan shalat berjamaah?
Padahal Allah telah terang-terang mengumbar janji-janji kemenangan itu ... setidaknya lima kali sehari telah diteriakkan para muadzin ke telinga-telinga kita “Hayya 'alash shalah ... hayya alal falah (mari di atas shalat, mari di atas kemenangan)”.

Layaknya sebuah kompetisi... Allah telah mengumumkah hadiah kemenangan tersebut. Di sampaikannya di seluruh penjuru bumi oleh para muadzin dari desa terpencil yang tak tampak dalam peta, hingga kota besar yang terkenal dan sering dikunjungi manusia. Namun begitu sepi kompetisi ini ... tak banyak yang mau beranjak memenuhi seruannya. Bukankah sebuah kemenangan atas shalat yang mampu kita tegakkan adalah kompensasi yang sangat besar? Dan untuk itulah kita seharusnya memperjuangkannya? Namun dari ummat yang besar ini, dimanakah orang-orang yang terpanggil untuk berlomba menyongsong janji kemenangan itu? Apakah janji itu tidak pernah sampai ke telinga kita? Atau nalar kita terlalu bodoh untuk mengerti arti kemenangan yang dimaksud oleh Allah? Atau perhitungan matematis kita telalu payah untuk menghargai arti kemenangan yang tak ternilai itu?

Maka janganlah sampai kita bernasib sama seperti nasib bani Israil sepeninggal nabi Musa, ketika Allah mengadzab mereka dikarenakan mereka telah meremehkan shalatnya. Lalu bagaimanakah dengan kita? Benarkah shalat itu telah menjadi sesuatu yang kita perjuangkan? Benarkah kita tidak meremehkannya jika nyatanya dalam shalat pun kita tidak pernah menyelipkan doa seperti yang dilakukan nabi Ibrahim. Pernahkah dalam shalat kita berdoa “Ya Allah ... jadikanlah aku termasuk orang-orang yang menegakkan shalat ” Lalu ketika kita tidak serius memperjuangkan shalat, masihkan kita merasa pantas berdoa memohon “Rabbana atina fiddunya hasanah wafil akhirati khasanah waqina adza bannar”. Pantaskah untuk menukar shalat yang tidak seberapa ini dengan doa yang terlalu banyak itu? Pantaskah …

Selasa, 21 Juni 2011

Dari Takbir Hingga Salam (Motivasi Shalat Bagian 1)

Di dalam syurga, mereka terheran-heran, mengenai orang-orang yang divonis berdosa. "Apa yang menyebabkan kamu dimasukkan ke dalam Saqar (neraka)?" Mereka menjawab: "Karena kami tidak termasuk dari golongan mushallin”

Demikianlah bunyi Surat Mudatstsir ayat 40-42, seolah membuat ilustrasi yang mengungkapkan tentang keheranan para penghuni surga. Mereka, para penghuni surga yang pasti adalah orang-orang yang beriman dan berilmu, yang tahu dengan pasti alasan apa yang membuat mereka dimasukkan dalam surga.

Sebaliknya, mereka pun tahu alasan-asalan apa yang membuat seseorang dimasukkan ke dalam neraka. Namun mereka tetap saja keheranan dengan para penghuni saqar itu. Kalaulah penghuni saqar adalah orang-orang yang tidak melakukan shalat atau lalai dengan shalatnya, tentulah mereka tidak akan keheranan, karena mereka tahu bahwa konsekuensi meninggalkan shalat adalah neraka. Tapi penguhi surga merasa sangat mengenal para penguhi saqar itu. Menurut penilaian mereka, penghuni saqar bukanlah orang-orang yang tidak melakukan shalat ... mereka adalah orang-orang yang juga mengerjakan shalat selama di dunia. Tapi mengapa Allah menempatkan mereka di dalam saqar? Itulah letak keheranan mereka. Dan inilah ayat yang mengungkap tentang penilaian manusia yang telah tertipu itu, yang menganggap mereka (penduduk saqar) adalah orang-orang yang shalat, tapi apa daya jika ternyata Allah sama sekali tidak memasukkan mereka dalam golongan orang-orang yang shalat (mushollin).
Inilah arti dari lam naku minal mushalliin ... Secara lahiriah mereka memang melakukan shalat tapi Allah sama sekali tidak menganggap bahwa mereka telah melakukan shalat, sehingga Allah pun memperlakukan mereka selayaknya orang-orang yang tidak pernah melakukan shalat dan memasukkannya ke dalam saqar! Itulah orang-orang yang membangun motivasi yang salah dalam shalatnya. Motivasi mereka bukanlah karena menjalankan ketaatan, namun semata hanya mencari penilaian manusia.

Maka inilah petunjuk yang harus kita renungkan secara mendalam! Bahwa sangatlah penting bagi kita untuk mendapatkan gelar mushallin, sehingga shalat yang kita kerjakan di dunia kelak juga diakui oleh Allah di akhirat. Maka mulailah kita berfikir dan memperhatikan dengan cermat shalat yang telah kita kerjakan apakah sudah sesuai dengan petunjuk Allah dan tuntunan Rasulullah? Apakah motivasi shalat kita benar-benar untuk membuktikan ketaatan kita pada ketentuanNya? Sebab kalau tidak maka nasib shalat kita pun akan sama seperti para penghuni saqar itu. Merasa sudah melakukan shalat tapi ternyata tidak pernah dimasukkan Allah dalam golongan mushallin.

Sebagaimana diceritakan dalam sebuah hadits ketika Rasulullah sedang duduk-duduk bersama sahabat, ada seorang yang datang dengan menaiki ontanya, kemudian dia turun dan masuk ke dalam masjid. Sebelum dia duduk, dia kerjakan shalat tahiyatul masjid. Begitu selesai, dia hendak duduk bersama Rasulullah. Tetapi tiba-tiba Rasulullah melarang dia duduk dan menyuruhnya shalat lagi, kemudian dia lakukan shalatnya lagi hingga selesai. Kemudian dia hendak duduk lagi. Tetapi, seketika itu pula Rasulullah melarang dia duduk lagi, lalu menyuruhnya shalat lagi.

Hingga pada akhirnya seorang tersebut bertanya kepada Rasulullah “Saya tidak tahu lagi ya Rasulullah, apa yang harus kulakukan! Bukankah jelas-jelas saya sudah shalat?. Namun jawab Rasulullah “Tidak, kamu belum shalat !”. Dan terkejutlah seorang tersebut “lantas bagaimana seharusnya saya shalat ya Rasulullah?” tanyanya kembali kepada Nabi. Kemudian Nabi mengajarinya shalat. Begitulah hadits tersebut memberi penjelasan betapa tidak berharganya shalat yang tidak sesuai dengan ketentuan dan contoh Nabi ... sama sekali tidak dianggap telah melakukan shalat. Maka bagaimanakah shalat yang dituntun oleh Rasulullah dan kelak mendapat pengakuan dari Allah?
Miftahus sholaatith thuhuuru, wa tahriimuhaat takbiiru watahliiluhat tasliimu... Inilah definisi (pengertian) shalat yang dijelaskan Rasulullah, bahwa Kunci shalat adalah bersuci, pengharamannya dimulai dengan takbir dan penghalalannya dengan salam. Inilah ketentuan shalat itu, kita dilarang melakukan aktivitas apapun ketika shalat sudah dimulai (ditandai dengan takbir) hingga shalat kita selesai (ditandai dengan salam), kecuali aktivitas shalat yang telah diperintahkan.

Begitulah Rasulullah memberi ketentuan kaifiyat (tata cara) shalat dengan detil dan hati-hati, maka janganlah sampai shalat kita berbeda dengan yang telah beliau ajarkan!
Sebagaimana kita ketahui, shalat merupakan sebuah perintah ibadah pertama, diawali dari perintah menjalankan shalat malam yang dijelaskan dalam surat muzammil. Selama 13 tahun perjalanan dakwah di Mekkah tidak ada perintah melakukan ibadah lain, selain perintah shalat. Namun ketika masih di Mekkah masalah waktu, tatacara, dan tempat belumlah menjadi persoalan yang ditekankan, hingga pada peristiwa Isra' Mi'raj saat diturunkannya perintah shalat 5 waktu. Saat itu telah ditentukan jumlah rakaat dan waktu mengerjakannya. Untuk selanjutnya perintah shalat ini pun berkembang menjadi shalat berjamaah, shalat Jum'at hingga shalat Ied.
Namun, secara keseluruhan risalah shalat itu tidaklah mungkin dapat dikerjakan di Mekkah, dikarenakan kondisi dan posisi umat Islam yang masih lemah dan tertindas. Tetapi perintah shalat itu harus tetap dijalankan. Maka demi merealisasikan perintah shalat tersebut, Rasulullah mengambil keputusan untuk melakukan hijrah ke Madinah. Peristiwa hijrah ini terjadi selang 3 bulan dari perintah Isra' Mi'raj.

Ketika perjalanan hijrah hampir sampai ke Madinah, Rasulullah sampai di sebuah daerah bernama Kuba (suatu daerah dekat madinah) dan menjumpai sekelompok orang Islam disana. Rasulullah langsung memerintahkan agar didirikan masjid sebagai tempat melaksanakan shalat berjamaah di sana. Itulah masjid Kuba, masjid pertama umat Islam. Begitupun yang Beliau lakukan ketika sampai di Madinah. Hal pertama yang Beliau lakukan adalah mencari lokasi dan memerintahkan untuk mendirikan masjid. Itulah masjid pertama di Madinah yang sekarang kita kenal sebagai masjid Nabawi. Itulah hal pertama-tama yang dilakukan oleh Rasulullah, yaitu mendirikan masjid. Itulah bukti betapa pentingnya keberadaan masjid bagi Rasulullah dan para sahabat. Karena perintah shalat ... shalat berjamaah ... dan bermasjid adalah rangkaian risalah yang tidak dapat dipisahkan.

Inilah yang harus kita pahami tentang latar belakang Rasulullah melakukan hijrah ke Madinah dipandang dari sisi shalat. Karena tidak mungkin menjalankan keseluruhan risalah shalat tersebut di Mekkah, maka haruslah pergi ke tempat lain yang lebih kondusif dan memungkinkan untuk menjalankan keseluruhan risalah tersebut.

Begitulah perjuangan Rasulullah mempersiapkan umat ini. Hal yang pertama dikerjakan haruslah dipersiapkan masjid sebagai tempat untuk membina pribadi para sahabat guna membangun masyarakat Islam. Dan untuk mewujudkannya, hal pertama yang mesti dibenahi adalah kualitas shalat dari masing-masing pribadi haruslah sesuai dengan petunjuk.

Maka mulailah Rasulullah mengajarkan dan memberikan contoh secara langsung tentang tatacara shalat, ... satu demi satu gerakan-gerakannya dengan sangat detail dan hati-hati.
Shollu kamaa roaitu munii usholli” (shalatlah kalian sebagaimana melihat aku shalat), itulah yang selalu beliau katakan kepada sahabat dan pengikutnya. Maka para sahabat pun shalat dengan mencontoh shalat Rasulullah. Ketika beliau khawatir para sahabat tidak mengetahui dengan benar tatacara shalat seperti yang beliau lakukan, maka tidak segan-segan beliau memberikan contoh dengan shalat di atas mimbar (dalam satu riwayat disebut tinggi mimbarnya 3 anak tangga) agar dapat disaksikan oleh seluruh kaum muslimin.

Diriwayatkan dalam sebuah hadits bahwa Rasulullah shalat dengan berdiri di atas mimbar, kemudian beliau bertakbir, lalu para makmum bertakbir (sedang beliau tetap berada di atas mimbar), kemudian bangkit dari ruku', lalu mundur, turun dari mimbar, kemudian bersujud ke tanah. Beliau mengulanginya lagi dan terus melakukannya sampai selesai shalat. Kemudian beliau menghadap makmum dan berkata “wahai manusia, saya melakukan hal itu tadi supaya kalian dapat mengikuti aku dan kalian dapat mempelajari shalatku” (HR. Abu Dawud, Nasa'i & Ibnu Khuzaimah).

Tergambar ketelitian dan kehati-hatian Rasulullah menjelaskan tentang shalat, berharap jangan sampai umatnya melakukan kekeliruan dalam tata cara tersebut. Nampak bahwa benar-benar shalat kita tidak boleh berbeda dengan yang telah beliau ajarkan.

Rasulullah selalu memperhatikan shalat para sahabatnya. Ketika beliau melihat shalat para sahabat ada yang salah (tak sesuai dengan ketentuan) maka seketika itu beliau langsung menegur dan membenarkan cara shalatnya. Seperti ketika beliau melihat para sahabat ada yang salah cara ruku' dan sujudnya atau arah pandangan mata yang tidak melihat ke tempat sujud, beliau ancamkan sebagai sebuah bentuk pencurian. Sebagaimana dinyatakan dalam sebuah hadist : “Pencurian yang paling jahat adalah pencuri yang mencuri dari shalatnya, yaitu orang yang tidak sempurna ruku' dan sujudnya dalam shalat”. Begitulah ketatnya “peraturan” tentang shalat ini, benar-benar tak ada tempat untuk ide dan pemikiran kita untuk ikut campur tangan dengan ketentuan kaifiyah shalat ini.
Begitu teliti dan hati-hatinya Rasulullah dalam memperhatikan masalah shalat hingga ketika Beliau menjumpai masih saja ada yang mencoba shalat dengan caranya sendiri, beliau pun mengancam “jangan macam-macam aku bisa melihat kamu-kamu sekalian dari balik punggungku”. Begitu tegas Rasulullah dalam hal shalat ini, menandakan bahwa shalat itu tidak boleh asal-asalan sedikitpun tidak boleh beda, haruslah cermat sebagaimana beliau shalat.

Terlihatlah oleh kita betapa serius dan sungguh-sungguhnya Rasulullah mengatur tentang masalah shalat ini. Tampaklah bahwa shalat adalah sesuatu hal yang sangat penting dan mendasar, sehingga para sahabat pun mulai mencontoh dan tidak ada yang berani mencari-cari cara lain dalam shalat.
Maka tampak dengan jelas bahwasanya tidaklah mereka takbir, bersedekap, ruku', sujud, dan duduk dalam shalat, terkecuali semata-mata karena rasa patuh dan tunduk terhadap ketentuan Rasulullah. Tidak ada keinginan dan keberanian untuk berbeda dari Rasulullah. Iman di dalam dada mereka mengatakan apabila mereka tidak mematuhi Rasulullah maka hati mereka serasa berontak, merasa durhaka dan berdosa karena telah menyalahi ketentuan Rasulullah. Inilah motivasi shalat para sahabat, bahwasanya gerakan-gerakan yang dilakukan dalam shalat tidak lain adalah kepatuhan menjalankan serangkaian perintah. Begitulah sifat patuh dan tunduk pada Rasulullah mulai dibangun dan dilatih dari ketundukan dalam shalat.

Demikianlah metoda Rasulullah mendidik jiwa-jiwa patuh para sahabatnya, sehingga melahirkan jiwa yang konsisten dan kuat menjalankan perintah. Karena jika terbiasa patuh dalam shalat maka akan kita dapatkan sebuah atmosfer jiwa yang merayapi seluruh anggota tubuh kita dari kepala, mata, tangan, hingga kaki, menjadikannya sebagai anggota-anggota tubuh yang terbiasa dan terlatih untuk patuh. Akibatnya, jiwa pun terdidik menjadi patuh melakukan ketentuan apapun di luar shalat.
Namun tidak semua orang-orang yang ada disekitar Rasulullah mau bershalat dengan cara seperti itu. Ada diantara mereka yang disebut al-Quran sebagai golongan orang-orang munafik yang keberadaannya ditunjukkan dari tata cara shalat dan motivasi mereka dalam shalat. Hal ini seperti yang digambarkan dalam surat An-Nisa' 142 :
Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. dan apabila mereka mengerjakan shalat mereka mengerjakan dengan malas atau asal-asalan. mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. dan tidaklah mereka mengingat allah kecuali sedikit sekali.

Orang-orang munafiq itu sudah terbiasa menipu, biasa menipu Rasulullah, dan biasa menipu orang-orang beriman. Namun Allah tidak mungkin bisa mereka permainkan, sebaliknya Allah membongkar sifat-sifat munafik mereka dalam Surat An-Nisa' di atas dengan menunjukkan ciri yang paling menonjol yaitu dari shalat yang mereka kerjakan, yang tidak mungkin dapat mereka sembunyikan. “Apabila mereka mengerjakan shalat mereka berdiri dengan malas atau asal-asalan”.
Demikianlah ciri orang munafik yang terlihat dari shalat yang malas-malasan dan akibatnya shalat yang mereka kerjakan hanyalah asal-asalan. Tidak sesuai dengan petunjuk. Mereka tahu ketika takbir haruslah mengangkat kedua tangan sejajar telinga atau bahu sebagaimana yang dicontohkan Rasullah. Namun, jiwa taat pada Rasullah ini yang tidak ada dalam jiwa mereka sehingga mereka tidak mau melakukannya dengan benar. Orang-orang munafiq hanya mengangkat sekedarnya saja, hanya sebagai isyarat. Ketika ruku' harus meluruskan tulang punggung, mereka hanya menunduk sedikit saja, ketika harus duduk di atas kaki kiri dan menegakkan kaki kanan, mereka justru duduk di kedua kakinya. Begitulah gambaran shalat orang-orang munafik.
Mereka tahu apa yang sebenarnya harus mereka lakukan dalam shalat, tapi karena jiwa patuh itu tidak pernah ada maka mereka pun mengabaikan contoh shalat dari Rasulullah dan melakukan shalat dengan caranya sendiri, cara-cara yang menurutnya lebih aman dan nyaman. Mereka tidak pernah merasa shalatnya diawasi Allah, hingga tak pernah berharap penilaian dari Allah, yang mereka cari hanyalah penilaian manusia (riya').
Sifat riya' inilah yang mungkin tidak akan pernah bisa dikenali oleh orang lain, karena mungkin saja gerakannya sama dengan orang-orang beriman, tapi jauh di dalam hatinya tersimpan motivasi bukan mengharap penilaian Allah, tetapi hanya ingin menampak-nampakkan dihadapan manusia demi mendapatkan penilaian dari mereka. Tapi Allah Yang Maha Teliti mengetahui setiap inci gerak hati hambaNya, bahwa ciri orang munafik dalam shalat “ dan tidak pula dia mengingati Allah itu kecuali sangat sedikit”.
Inilah watak orang-orang munafiq. Hanya mulut mereka saja yang berkomat-komit sekedar melafadzkan nama Allah tanpa pernah jiwa mereka terhubung dengan Allah dalam setiap kejadian.
Sehingga di luar itu mereka lalai dari mengingat Allah. Bukankah ketika kita lihat matahari, bintang, bulan, hujan ... seharusnya kita mengingat kebesaran Allah? Bukankah ketika kita melihat susunan tubuh kita, perkecambahan tumbuhan dan kembang biak hewan-hewan juga mengingatkan kita pada kuasaNya? Bukankah seharusnya lebih banyak tempat dan waktu untuk kita mengingat dan meninggikanNya dari sekedar melafadzkan namaNya saja? Bukankah mengingat Allah artinya mengingat ketentuan-ketentuanNya? Maka ketika kita terbentur dengan masalah, hal pertama yang harus kita ingat adalah ketentuan Allah. Dalam kondisi apapun ketika kita selalu merujuk dengan ketentuan Allah itulah makna dzikrullah ... mengingat Allah.

Lalu bagaimanakah dengan motivasi shalat kita? Apakah sudah sama seperti motivasi shalat para sahabat? Apakah sudah benar-benar merujuk pada contoh dari Rasulullah? Ataukah sekedar meniru begitu saja dari “guru-guru” kita? Ataukah hanya melihat kebiasaan (adat) shalat orang-orang di sekitar kita? (Walaupun sudah jelas shalat mereka berbeda dengan Rasulullah ... ada diantara gerakan-gerakan shalat mereka itu tidak berdasarkan contoh dari Rasulullah). Atau sama sekali kita tidak mau tahu dan menganggapnya sebagai sesuatu yang tidak penting!!! Jika memang demikian “kondisi” shalat kita maka tidaklah heran jika umat besar dan hebat seperti yang dibentuk oleh Rasulullah dan para sahabat tidak pernah muncul lagi setelah mereka. Karena shalat yang dikerjakan oleh umat yang sekarang ini belum punya dampak seperti shalat umat yang bermula dahulu.

Sekarang mari kita lihat umat ini ... kita melihat banyak masjid dibangun dan diperluas disana-sini, seolah tidak mampu lagi menampung jamaah yang ada. Kumandang adzan yang sahut-menyahut dari masjid ke masjid dan mushalla, hingga dari stasiun televisi dan radio. Kita pun tak jarang menjumpai papan bertuliskan “Sudahkah Anda shalat?” atau “Shalat Adalah Tiangnya Agama” yang terpampang di tembok-tembok maupun baliho-baliho besar di seantero jalan-jalan dan jembatan. Semua seolah dipergunakan sebagai 'alarm' untuk mengingatkan umat ini pada shalat.
Demikian juga akhir-akhir ini kita dapati fenomena pelatihan shalat khusyu' yang menuntut biaya jutaan rupiah. Nampak begitu besar perhatian umat ini pada masalah shalat, seolah-olah shalat itu begitu pentingnya. Belum lagi kita lihat pada saat shalat Ied, berbondong-bondongnya orang dari seluruh penjuru negeri bergerak bersama-sama menuju lapangan. Terlihat begitu antusiasnya umat ini dan begitu hebatnya penampilan umat ini dalam shalat.

Tapi di tengah-tengah umat besar yang telah bershalat ini, mengapa agama ini tidak kunjung tegak di atas bumiNya? Mengapa umat besar ini sama sekali tidak punya kekuatan untuk menegakkan ketentuan Allah dan mencegah apa-apa yang diharamkanNya? Bukankah ayat telah menentukan bahwa shalat itu dapat mencegah perbuatan keji dan munkar? Namun mengapa kemunkaran masih saja semarak dimana-mana? Apakah al-Quran telah salah membuat ketentuan? Jika kita meyakini al-Quran telah salah membuat ketentuan, maka benar-benar telah kafirlah kita. Yang pasti bukanlah itu penyebab kegagalan umat ini, tapi kitalah yang salah.

Kitalah yang sebenarnya BELUM SHALAT, walaupun secara lahirian tubuh kita telah jungkir balik untuk sujud dan rukuk. Kita pun belum benar-benar mengingat Allah, walaupun secara kasat mata bibir kita telah berkomat kamit menyebut namaNya. Semua karena kesalahan shalat kita!!!. Kita belum shalat sebagaimana yang diperintahkan Allah dan dicontohkan Rasulullah... Itulah jawaban atas kegagalan umat ini.

Shalat yang seumur hidup telah kita kerjakan nyatanya bagai debu yang ditiup angin. Sama sekali tak berbekas ... tak mampu membangunkan jiwa-jiwa kita yang mati sehingga tak mampu bergerak untuk patuh pada ketentuan-ketentuan Allah. Jadi berbesar hatilah jika nyatanya kita ini memang bukanlah para mushollin, sebutan kebanggan Allah untuk hambaNya yang telah shalat dengan benar dan hanya mengharap pada penilaianNya. Maka haruslah setiap diri kita menilai kembali ... mengoreksi dan mencocokkan lagi dengan shalat yang diajarkan Rasulullah DARI TAKBIR HINGGA SALAM.

Senin, 23 Mei 2011

AYAT-AYAT yang NYATA

Alam terkembang menjadi Guru ... Setiap kejadian sesungguhnya adalah ayat “yang bertutur” kepada manusia tentang ketundukan alam pada hukum yang dicipta oleh Sang Pencipta semesta. Apapun makhluk itu ia harus tunduk pada ketetapannya.

Melalui hukum itulah Allah menjelaskan tentang rahasia kebenaran yang dicari oleh setiap manusia dalam perjalanan hidupnya. Dari alamlah manusia yang berakal dapat mengambil pelajaran untuk tunduk pada hukum dan ketentuan-ketentuan Allah. Inilah kitab alam yang juga berbicara tentang kebenaran yang sama dengan kitab yang diwahyukanNya (Al-Quran). Ia bukanlah peninggalan sejarah, tapi petunjuk sepanjang masa juga bukti kebenaran atas ketentuan-ketentuan yang dapat dipilih oleh manusia. Bagi yang memilih untuk tunduk maka ia akan disebut beriman, sedangkan yang memilih untuk ingkar berarti ia kafir. Inilah benar-benar petunjuk bagi orang-orang yang berakal dan yakin ....

Haa Miim (1) Diturunkannya al-kitab ini dari Allah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana (2) Sesungguhnya di dalam penciptaan langit dan bumi benar-benar merupakan ayat (bukti) bagi orang-orang yang beriman (3,4,5) Dan dalam penciptaan dirimu sendiri dan makhluk melata yang bertebaran merupakan ayat (bukti) bagi kaum yang yakin. Dan pergantian malam dan siang dan apapun yang Allah turunkan dari langit berupa rezki, maka hiduplah dengannya bumi setelah matinya dan perkisaran angin merupakan ayat (bukti) bagi kaum yang berakal. Itulah ayat-ayat Allah yang Kami bacakan kepadamu dengan haq, maka dengan perkataaan mana lagi setelah Allah dan ayat-ayatNya mereka akan beriman (6).
(Q.S al Jatsiyah 1-6)

1. Haa Miim demikianlah Allah bersumpah.
Dengan susunan dua huruf HA MIM yang merupakan simbol daripada wahyu. Tidaklah Allah bersumpah melainkan mempunyai arti apa yang akan dibicarakanNya merupakan sesuatu yang penting sehingga seluruh perhatian kita menjadi tertuju pada apa yang akan dibicarakan didalam surat ini.
2. Diturunkannya al-kitab ini dari Allah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana
Al-Kitab merupakan kumpulan ketetapan-ketetapan yang diwahyu-kan. Yang menurunkannya adalah Yang Maha Perkasa dan Maha Bijaksana. Allah mengingatkan kita terlebih dahulu tentang siapa diriNya. Allah menjelaskan bahwa Dia adalah Yang Maha Perkasa, yang berarti yang sangat kuat. Dalam bentuk yang lain Allah menyebut diriNya sebagai al Qohhar (Yang Maha Mengalahkan). Agar setiap diri yang merasa dirinya kuat atau meyakini adanya kekuatan-kekuatan lain yang dijadikan tempat bergantung dan berlindung selama ini, menjadi takut dan hilang kesombongannya, sehingga tidak berani bermain-main denganNya. Dikarena yang sedang kita baca sekarang ini berasal dari Yang Maha Kuat, yang akan mampu berbuat apa saja terhadap diri kita. Inilah yang perlu kita ingat dan kita sadari ke dalam diri.
Kemudian Allah menyebut diriNya Maha Bijaksana, yang berarti Dia lebih tahu, lebih mengenal hakekat yang sebenarnya, lebih bijaksana dari semua bentuk kebijaksanaan yang dibuat/diciptakan oleh manusia. Apa-apa yang ditetapkanNya itu merupakan sesuatu yang mendasar, sehingga segala konsepsi manusia dibalik akalnya tidak akan mampu menandinginya. Jadi untuk apa manusia berlaku sombong? Maka bisa dipastikan dengan wahyu ini manusia tidak bisa bermain-main dan jangan mencoba beradu akal, mendebat, mengkoreksi, apalagi memiliki alternatif yang lain. Inilah Allah Yang Maha Bijaksana yang sangat detail dan tidak sembarangan dalam merancang kitabNya. Artinya semua pasti terukur dan terencana. Maka dengan kesadaran diri seperti inilah kita mulai membaca kitabNya.
Inilah metoda Allah sebelum menjelaskan tentang kitabNya. Pikiran kita diarahkan untuk merenungi kenyataan-kenyataan yang terjadi di alam, yang juga merupakan kitab Allah yang lainnya, Bahwa hukum-hukum Allah yang mengaturnya telah menjadikan alam ini menjadi teratur dan serasi. Sebagai bentuk Kitab alam yang juga berbicara tentang kebenaran, yang sama dengan kitab yang diwahyukanNya.
3, 4, 5. Sesungguhnya di dalam penciptaan langit dan bumi benar-benar merupakan ayat (bukti) bagi orang-orang yang beriman. Dan dalam penciptaan dirimu sendiri dan makhluk melata yang bertebaran merupakan ayat (bukti) bagi kaum yang yakin. Dan pergantian malam dan siang dan apapun yang Allah turunkan dari langit berupa rezki, maka hiduplah dengannya bumi setelah matinya dan perkisaran angin merupakan ayat (bukti) bagi kaum yang berakal.
Ketetapan yang berlaku di alam, begitulah cara Allah untuk menunjukkan keMaha Perkasaannya. Tergambar nyata dalam penciptaan langit dan bumi yang kita pijak saat ini. Pandanglah ke langit luas yang tak berujung. Sekiranya kita mampu berpikir dengan logika bisakah sesuatu itu berdiri tanpa tiang, jika bukan karena ke Maha PerkasaanNya. Kalau kita mau berpikir secara lebih terperinci tentang penciptaan manusia dengan segala keunikannya ... tentang saling ketertarikan terhadap lawan jenis, tentang air mani yang terpancar, tentang begitu kompleks dan rumitnya proses-proses yang terjadi dalam rahim, tentang ketepatan dalam rancangan penempatan posisi dan bentuknya... tentang serasinya susunan organ-organ tubuh dengan segala fungsinya, maka kita akan sampai pada apa ide dibalik penciptaannya, sehingga jiwa akan tersambung pada siapa yang telah menciptakan semua ini.
Begitu pula dengan makhluk yang melata dan bertebaran di muka bumi lainnya yang diciptakan oleh Allah dengan bentuk yang sempurna dengan segala fungsinya di muka bumi ini. Semua yang diciptakan Allah mempunyai peran dan fungsi masing-masing guna menciptakan kehidupan yang seimbang dan harmonis, saling bekerja sama dan saling membutuhkan. Adanya malam untuk menjadikan suasana tenang, damai dan waktu beristirahat bagi manusia dan makhluk yang bernyawa lainnya. Terjadinya siang membuat kehidupan bergairah dengan segala aktifitas guna mencari karunia Allah. Juga tentang perkisaran angin dan terjadinya hujan. Bagaimana air yang mengalir ke laut dikembalikan lagi ke daratan dalam bentuk hujan.
Sementara pergerakan arah angin dapat menjadikan suasana iklim di bumi selalu berubah-ubah sehingga terjadi musim-musim tertentu bagi tumbuhan untuk berkembang, berbunga dan berbuah. Begitulah Allah menciptakan segala sesuatu bagi kehidupan manusia, tidak pernah berhenti, selalu teliti, terukur, terpelihara dan terjaga.
Hal ini juga merupakan kitab yang berbicara tentang kebenaran dari hukum-hukum yang bekerja di alam, sebagai wujud dari ketetapan yang tak terbantahkan, sehebat apapun pikiran manusia. Allah bermaksud menerangkan bahwa apa yang ada di langit dan di bumi adalah ayat yang dengan jelas mampu dirasakan oleh perasaan dan daya tangkap bahwasanya ini adalah tanda atau bukti keberadaan Allah. Sehingga apabila manusia bertanya tentang ke-Maha BijaksanaanNya dan ke-Maha PerkasaanNya, maka cukup dengan melihat kenyataan yang ada di alam semesta ini dan menjadikan keberadaan Allah sebagai Sang Pencipta. Semua ini hanya dapat dirasakan dan dipahami oleh orang-orang yang memiliki akal untuk meyakini bahwa semua itu tidaklah terjadi dengan sendirinya, kemudian beriman denganNya.
Allah menjelaskan, bagi orang-orang yang beriman, di dalam melihat dan mempelajari ide dibalik hukum-hukum yang mengatur fenomena alam ini akan membawa mereka kepada perenungan dan penghayatan tentang hakekat yang ada di balik semua perencanaan yang begitu sempurna dan jiwa mereka akan tersambung kepada Dzat Yang Maha Perkasa yang telah membuat dan merancang semua itu, bahwa segala fenomena alam tersebut bukanlah sesuatu yang terjadi dengan kebetulan, dengan melihat segala keteraturan hukum-hukum yang bekerja di alam bukan sebagai sesuatu yang acak, telah cukup memberi alasan bagi mereka untuk beriman.

6. Itulah ayat-ayat Allah yang Kami bacakan kepadamu dengan haq, maka dengan perkataaan mana lagi setelah Allah dan ayat-ayatNya mereka akan beriman.
Begitulah cara Allah dalam memahamankan makna dan hakekat tentang hukum-hukumNya. Setelah menjelaskan tentang ayat-ayatNya yang ada di alam semesta barulah Allah mengarahkan kita kembali kepada ayat-ayat yang diwahyukanNya dan tertulis sebagai suatu kitab yaitu AlQuran. Wahyu yang diturunkan dengan kebenaran sebagaimana diciptakannya alam semesta dan segala isinya dengan kebenaran pula.
Hanya dengan ayat saja Allah mengukur dan memisah-misahkan manusia, antara yang beriman dan yang ingkar. Karena yang membedakan manusia satu dengan manusia yang lain adalah sikap, penerimaan, ketundukan, dan penyerahan dirinya pada ayat. Inilah makna iman yang sesungguhnya. Maka, bila perkataan yang berasal dari Yang Maha Perkasa dan memiliki kebijaksanaan yang haq tidak menjadikannya takut dan percaya, lalu perkataan siapa lagi yang akan mereka percayai..? Perlu bukti apalagi ... Kalau Perkataan Allah yang Maha Perkasa dan Maha Bijaksana, Penguasa langit dan bumi saja tidak didengar, maka alangkah sombongnya, alangkah dangkal wawasan dan picik pikirannya. Allahlah yang berhak menetapkan hukum, karena memang Dialah yang telah merencanakan dan menciptakan langit dan bumi serta kehidupan itu sendiri. Sekiranya kita akan menyerahkan diri untuk mau diatur oleh hukum dan ketetapan yang telah dibuat manusia, maka patutlah kita bertanya ‘apa yang telah mereka buat dan mereka ciptakan sehingga merasa memiliki hak yang sama dengan Allah!’
Hanya orang-orang yang berakal dan berimanlah yang dapat mengambil pelajaran.

Sabtu, 14 Mei 2011

Tentang WUDHU’

Sebelum melakukan shalat, Allah mensyariatkan beberapa ketentuan yang harus dikerjakan seperti wudhu', bersih pakaian dan tempat shalat serta menghadap kiblat. Sebagaimana kita ketahui bahwa perbuatan kita sehari-hari yang dinamakann wudhu' dasar perintahnya adalah al-Quran. Oleh karena ayat al-Quran masih bersifat umum (garis besarnya) maka dibutuhkan uraian-urian terperinci yang dijelaskan dan dicontohkan oleh Rasulullah saw karena memang itulah tugas beliau, yakni menjelaskan perintah Allah yang masih umum untuk dikhususkan. Selanjutnya dasar perintah khusus inilah yang akan kita amalkan.

Dapat kita bayangkan, bahwa tanpa penjelasan Rasulullah saw mustahil bagi kita mengamalkan ketentuan-ketentuan Allah sebab jika kita paksakan pengamalannya menurut analisa kita, tentulah tidak sesuai dengan apa yang dimaui Allah. Sebab yang mengetahui kehendak Allah adalah Rasul-Nya melalui wahyu. Dengan demikian jelaslah bahwa antara Allah dan Rasul-Nya tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Keduanya mesti sejalan, taat kepada Allah mesti diiringi pula dengan taat kepada Rasul-Nya, meninggalkan salah satunya adalah keingkaran. Sebaliknya, bukan pula berarti mencampur-adukkan antara Allah dan Rasul-Nya, keduanya tidak dapat disamakan. Allah adalah Kholiq, sedangkan Rasul adalah salah seorang makhluk yang diberikan tugas untuk menyampaikan risalah-Nya. Begitulah dengan perintah wudhu yang ketentuannya telah ditetapkan dalam surat Al-Maidah ayat 6 berikut :

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki. Dan jika kamu dalam keadan junub, maka bersucilah (mandilah). Jika kamu sakit atau atas perjalanan, atau salah seorang dari kamu datang dari tempat buang air, atau kamu menyentuh wanita. Lalu kamu tidak mendapatkan air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik, maka sapulah wajah dan tanganmu dengan tanah itu. Tidaklah Allah menginginkan untuk menjadikan atas kamu kesulitan, akan tetapi Allah menginginkan untuk mensucikan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya atasmu agar kamu bersyukur.”

Marilah kita perhatikan hubungan shalat dengan wudhu'; Kalau kita bandingkan antara shalat dengan wudhu', maka akan kita dapatkan persamaan keduanya dalam dua hal, yaitu: Pertama, antara shalat dan wudhu' dasar perintahnya sama yakni sama-sama Al-Quran. Allah menjelaskan motivasi shalat dalam Al-Quran dalam garis besarnya, tidak dijelaskan secara terperinci, begitu juga wudhu. Kedua, antara shalat dan wudhu sama-sama dijelaskan dan dicontohkan oleh Rasulullah secara terperinci.
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki...”
Dari awal sudah ditentukan bahwa ciri iman nampak dalam wudhu' ini: Hai orang-orang yang beriman, ditujukan untuk orang beriman. Hanya orang yang ada iman dalam hati yang dapat memahaminya dan dituju dengan ayat ini. Melalui ayat ini, kita diperintahkan untuk mengerjakan wudhu'. Perintah wudhu' yang utama itu disebutkan dalam Al-Qur'an adalah; cuci muka, kaki, tangan yang ditentukan batasnya. Dan kita telah tahu bahwa: mencuci, membasahi, membasuh adalah dengan air.
Pengertian air dalam hadits Rasulullah saw tidaklah sama dengan pengertian air menurut ilmu kesehatan. Air itu untuk membersihkan, bukan saja bersih secara fisik, tapi juga bersih sampai ke jiwa. Melalui perintah berwudhu (dengan cara mengusap anggota wudhu dengan air), Allah seolah mulai mengarahkan langkah kita. Kemanakah langkah kita selanjutnya setelah mendengarkan dan menjawab adzan, yaitu ke suatu tempat yang terdapat air yang dapat mensucikan. Disitulah anggota-anggota wudhu mulai dikendalikan, diarahkan, dan disucikan. Tangan yang sebelumnya berbuat sesuatu mulai disucikan, kepala yang tadinya berpikir, mata yang tadinya digunakan untuk melihat, kaki yang tadinya dipakai untuk berjalan, mulai disucikan. Artinya ; mulai saat itu semua dirubah fungsinya, maka makin terarahlah kita menuju shalat. Begitulah cara Allah dalam mengarahkan tiap langkah kita menuju kekhusyukan.
Namun demikian, kenyataan menunjukkan bahwa umumnya kita kurang serius dan kurang hati-hati dalam melakukan wudhu', bahkan kadang-kadang kita tidak dapat membedakan antara berwudhu' dan mencuci muka biasa. Nampak kita telah menempatkan perintah Allah dan Rasul-Nya dibawah hawa nafsu kita.
Maka tidaklah heran jika berkali-kali kita melakukan wudhu, namun tidak berpengaruh apa-apa terhadap shalat. Bahkan kelalaian kita dalam wudhu' justru dapat menyebabkan shalat kita tidak sah. Sungguh, Allah tidak menjadikan memerintahkan wudhu' untuk mempersulit kita. Namun justru Allah sedang menunjukkan ke Maha Kasih Sayang-Nya.
”Dan tetapi agar dengan berwudhu', tayammum, atau mandi junub itu Allah mensucikan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya atasmu, agar kamu bersyukur.”
Begitu tingginya nilai wudhu', tayammum dan mandi junub. Apabila kita melaksanakan dengan baik sesuai ketentuanNya, Allah memberikan jalan kepada kita untuk menjadi suci. Dengan cara itulah Allah menyempurnakan nikmat-Nya sekaligus menjadikan kita menjadi orang-orang yang mau bersyukur. Karena dengan wudhu' hilanglah kesalahan-kesalahan yang berasal dari anggota wudhu. Artinya seseorang yang membasuh mukanya di waktu wudhu' apabila dilakukan sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya, maka hilanglah segala dosa yang berasal dari mukanya. Begitu juga dosa yang ada pada tangan, kaki, kepala dan semua anggota wudhu' lainnya. Semua berguguran seperti menetesnya air wudhu dari anggota tubuh kita. Dengan kata lain bahwa dengan wudhu' saja sudah ada jaminan untuk dapat menghapus dosa, maka sudah seharusnya kita melaksanakan wudhu' dengan sebaik-baiknya dengan memperhatikan kelengkapan dan keteraturannya seperti ketentuan Allah dan Rasul-Nya. Sekiranya Al-Qur'an mengatakan “cuci tanganmu sampai siku!” betul-betul kita cuci sampai siku, bukan sekedar dibasuh saja. Hal ini sangat diperingatkan oleh Rasulullah saw. Dalam hadits Rasulullah menyatakan: “celakalah tumit-tumit (yang tertinggal sewaktu berwudhu)'”. Dengan begitu jelaslah bagi kita bahwa wudhu' harus dilaksanakan dengan penghayatan penuh, agar jangan sampai tertinggal bagian-bagian yang semestinya terbasuh oleh air.
Itulah sebabnya kita dituntut untuk tanggap dengan ketentun Allah dan Rasul-Nya. Hal ini sangat penting mengingat kunci shalat adalah thaharah. Dapat kita bayangkan bahwa tidak mungkin kita memasuki suatu rumah tanpa membuka pintunya dengan kunci. Begitupun shalat, apabila tidak didahului dengan thaharah, berarti pintu shalat itu tetap tertutup sehingga kita tidak dapat memasuki shalat itu.
Disinilah perlunya kehati-hatian dalam masalah wudhu'. Setiap pelaksanaannya perlu dihayati dengan seksama, setiap proses mesti dilakukan dengan kesadaran penuh, bukan sekedar kebiasaan. Sedikit saja anggota wudhu' yang seharusnya terkena air tetapi karena kelalaian kita ternyata tertinggal, maka akan berakibat fatal. Wudhu' merupakan komponen yang menentukan untuk diterima atau tidaknya shalat seseorang. Jika sempurna wudhu'nya, maka dapat sempurna shalatnya. Sebaliknya, apabila wudhu' dilalaikan, maka shalat juga menjadi hampa, tidak bernilai. Sungguh, tidak selayaknya kita menyia-nyiakan wudhu' karena ia adalah anak tangga menuju pertaubatan bagi kaum yang beriman, seperti sabda Rasulullah saw : ”Shalat yang difardhukan Allah ada lima, barang siapa yang berwudhu' dengan baik, menegakkan shalat tepat pada waktunya, dan menyempurnakan ruku', sujud, dan kekhusyukannya, maka Allah memberikn jaminan untuk mengampuni dosa orang itu. Barang siapa yang tidak melakukannya, maka Allah tidak menjaminnya. Jika menghendaki maka Dia mengampuninya, dan jika menghendaki maka Dia menyiksanya” (HR. Abu Daud).
Maka tidakkah kita ingin menjadi orang yang dijamin mendapat ampunan dari Allah? atau menjadi ”seseorang yang tak berdaki” seperti yang diumpamakan Rasulullah sebagaimana dalam hadistnya :
“Apa pendapatmu bila seseorang tinggal ditepi sungai yang jernih airnya, lalu dia mandi 5 kali sehari semalam. Apa kamu masih mengira mereka akan berdaki juga?, Dijawab sahabat : tidak ya Rasulullah.. Nah itulah orang mukmin.”
Itulah orang-orang yang mau diarahkan oleh Allah menuju kekhusyukan dalam shalat. Dimulai dari mendengarkan adzan dan menjawabnya. Pikiran kita mulai diarahkan untuk ingat pada shalat dan jiwa kita pun mulai terikat padanya. Selanjutnya diarahkan pada wudhu, dimana kita akan menyucikan pikiran dari dosa dan raga dari najis. Kemudian melangkah menuju tempat shalat dengan tetap menjaga kekhusyukan fikiran usai dari tempat wudhu. Ketika telah memulai takbir untuk shalat, maka telah haram semua perbuatan selain apa yang disyariatkan dalam shalat. Sehingga tidak ada lagi fikiran lain kecuali kepatuhan dalam shalat hingga salam, barulah yang lainnya halal dan boleh dikerjakan. Oleh karena itu, jika kita melalaikan dan meremehkan wudhu', maka tidak bisa disalahkan jika wudhu kita tidak berpengaruh pada dirinya dan tidak berbekas pada kekhusyukan dalam shalat yang didirikannya.
Nah .. semua berpulang pada diri; sudahkah pelaksanaan wudhu' kita selama ini betul-betul sempurna sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya?, apakah kita sudah benar-benar menghayati bahwa proses wudhu' yang kita laksanakan benar-benar mencapai sasarannya ....

Senin, 25 April 2011

Tentang ADZAN


ALLAHU AKBAR .. ALLAHU AKBAR .. ALLAHU AKBAR .. ALLAHU AKBAR .. 
Adzan telah dikumandangkan dengan seruan SANG MAHA BESAR. Mungkinkah selama ini kita lalai ketika mendengarnya dengan hanya mengabaikan dan tidak menyegerakan untuk meninggalkan seluruh aktifitas. Adzan bukan penanda datangnya waktu sholat. Melainkan sebuah panggilan dari Rabb untuk segera menegakkan sholat...

Di waktu masyarakat Islam telah terbentuk di Madinah. Maka shalat berjama'ah mulai ditegakkan, masjid-masjid mulai dibangun, syariat-syariat dan tata cara shalat telah diajarkan Rasulullah saw setahap demi setahap. Hingga sholat itu sudah seperti yang kita kerjakan sekarang.
Seperti yang kita ketahui, sejak perintah shalat diturunkan, sampai Nabi wafat, perbaikan dilakukan sedikit demi sedikit dimulai dari sholat malam yang ditentukan dalam surat Al-Muzzammil, kemudian setelah peristiwa Isro' Mi'roj turunlah perintah sholat 5 kali sehari semalam dengan waktu yang telah ditentukan.
Diwaktu ayat-ayat puasa turun, mulailah disyariatkan shalat tarawih dan shalat Ied. Kemudian shalat Istiqarah, Dhuha, Istisqo', sholat jenazah, sholat gerhana dan shalat-shalat lainnya berikut dengan tata caranya.
Lalu ketika kaum muslimin semakin ramai melaksanakan shalat berjamaah, sering ada orang yang ketinggalan, karena jam pada waktu itu belum ada dan pengukur waktu shalat hanya dengan matahari maka timbullah permasalahan di kalangan umat Islam. Sementara itu orang Yahudi dan Nasrani dari segi ini kelihatannya jauh lebih baik, karena mereka mempunyai cara yakni orang Nasrani memakai lonceng dan orang Yahudi memakai tabuh.
Akhirnya hal ini disampaikan oleh sahabat kepada Rasulullah saw dan beliau tidak menginginkan panggilan menuju sholat sama dengan cara orang Yahudi maupun Nasrani, hingga sampailah pada keputusan untuk mensyariatkan kalimat adzan yang dikumandangkan dengan suara keras. Jadi pada prinsipnya adzan itu memang dipergunakan untuk memanggil orang untuk melaksanakan shalat berjamaah.
Sehingga Rasulullah saw dalam menerapkan adzanpun pernah mengatakan: Dari Malik bin Huwairi , Nabi saw bersabda: “Jika telah datang (waktu) shalat maka seseorang kamu adzan untuk kamu dan hendaklah yang menjadi imam yang tua diantara kamu “ (H.R. Muthafaq 'Alaihi).
Jadi menurut hadits ini adzan itu dilakukan hanya untuk orang yang akan melaksanakan shalat berjamaah, sehingga hanya dilakukan ketika hendak melaksanakan shalat berjamaah. Maka masyarakat yang tidak mengenal apa arti shalat berjamaah tidak akan mengenal pula apa arti dan pentingnya nilai adzan.
            Sementara kita melihat suatu kenyataan yang salah di tengah-tengah masyarakat, dimana mereka menganggap enteng, remeh, dan tak penting shalat berjamaah. Menganggapnya suatu amalan yang boleh ditinggalkan asalkan tetap mengerjakan shalat. Berjamaah atau tidak itu tidaklah penting. Karena kenyataan akan pandangan dan cara berfikir masyarakat seperti ini, maka amalah adzan pun dianggap hanya semata-mata pem-beritahuan masuknya waktu shalat saja.
Rasulullah sering menunjuk Bilal bin Rabbah untuk melakukan adzan, sehingga banyak orang memberikan gelar sebagai mu'adzinur-Rasul. Ketika beliau saw dalam perjalanan sedang gundah beliau meminta kepada Bilal untuk adzan supaya hati beliau tenang.
Hal ini disebabkan bacaan yang dikumandangkan dalam adzan kalau diperhatikan seluruhnya adalah Pernyataan akidah atau pernyataan tauhid.
 Sesorang di dalam adzan menyebutkan “Allahu Akbar, Asyhadu anlaa ilaaha illal-lah, Asyhadu anna Muhammadar-Rasulullah, Hayya 'ala sh-Shalah, Hayya 'ala l- Falah, Allahu Akbar, Laa Ilaaha Illal-lah”Itu semua adalah pernyataan-pernyataan besar. Maka hendaknya kita pahami pernyataan-pernyataan itu dengan sepenuh hati.
ALLAHU AKBAR. Artinya hanya Allah yang besar. Kita serukan  pernyatan itu kepada seluruh alam, kita teriakkan bahwa tidak ada yang besar kecuali Allah. Selain dari Allah adalah kecil. Tidak ada ide yang besar kecuali ide dari Allah. Tidak ada pengaruh yang besar kecuali pengaruh Allah. Tidak ada kepentingan yang besar selain kepentingan Allah.
Kalau kita berani membuat pernyataan itu hendaknya kita hayati sampai di dalam hati, harus sesuai dengan kenyataan. Untuk apa kita meneriakkan Allah Yang Maha Besar, sementara dalam kehidupan masih menganggap bisnis lebih besar dari Allah, keinginan diri lebih besar dari Allah, pekerjaan lebih besar dari Allah, negar lebih besar dari Allah, dst.

Ingat!
Kita berani meneriakkan karena kita punya pendirian yaitu Allahu Akbar, Allah adalah yang segala-galanya. Kalau bukan orang yang berpendirian yang meneriakkan namanya orang gila karena dia berteriak tanpa keyakinan. Sebagai contoh, kapankah kita meneriakkan bahwa : “saya sarjana.” Bukankah tidak pernah?. Tapi kita meneriakkan “Allahu Akbar” karena itu konsep diri kita sebagai seorang muslim. Tapi mengapa umat ini tidak terpengaruh? Mungkin karena terbiasa bagi umat Islam menganggap adzan itu adalah pemberitahuan telah masuk waktu shalat, sehingga terasa tidak begitu terpengaruh.
Sekiranya kita tinggal di daerah non muslim tentulah kita tidak adzan karena kita tahu kalau mereka tidak terpengaruh dengan ajakan kita. Alangkah anehnya umat   sekarang   ini,  seolah-olah  mereka tidak lagi tersentuh dengan panggilan yang agung ini.
Seandainya seseorang terperosok dalam keadaan mengagungkan selain Allah, tentu dia dengan segera akan sadar bahwa dia sekarang sedang mendengar Allahu Akbar. Mendengar  Allahu Akbar itu hendaknya menggugah diri untuk mengecilkan selain Allah: Tidak ada alasan untuk ngantuk, tidak ada alasan untuk pekerjaan, tidak ada alasan untuk kesibukan, tidak ada ada lagi keasyikan, kalau Allah memanggil. Tidak ada yang lebih penting selain panggilan Allah.
Nah, itu yang seharusnya terjadi pada umat ini. Dan tulah yang pernah terjadi pada zaman Rasulullah, Khalifah Rasyidin dan umat-umat yang sesudahnya. Sehingga mereka berusaha supaya adzan itu betul-betul mencakup wilayahnya. Utsman r.a. misalnya: Beliau membuat masjid di dekat tebing, maka adzan dikumandangkan di tebing itu, bukan dalam masjid, karena mereka tahu tujuan adzan itu bukan hanya pelengkap shalat, tapi punya misi tersendiri.
Di zaman Mu'awiyah dibuatkan menara khusus yang tinggi, sehingga orang harus naik ke menara untuk mengucapkan kalimat-kalimat tauhid itu, sehingga dapat menjangkau daerah-daerah yang luas.
Sampai sekarang pun menjadi kebiasaan membuat menara. Tapi bukan lagi dengan tujuan menyampaikan kalimat-kalimat tauhid, tapi sudah menjadi model; masjid dianggap tidak bagus kalau tidak punya menara. Bahkan tidak bisa disebut masjid jika tidak ada menara. Bahkan biaya membuat menara terkadang jauh lebih besar dari pembuatan masjid. Alangkah anehnya umat yang sekarang ini !!! Kenapa terjadi hal demikian….? Padahal berbangga-bangga dengan bangunan masjid dilarang oleh Rasulullah saw.
Kalau kita bandingkan dengan zaman Rasulullah saw ternyata  masjid Beliau hanya beralaskan pasir, tidak memiliki atap, tidak menggunakan permadani, hiasan batu pualam, apalagi kubah emas, yang ada hanya dinding. Itulah masjid di zaman Rasulullah, jauh dari ide  pembuatan masjid yang dipahami orang sekarang yang hanya menekankan pada keindahan fisik belaka .
Kemudian setelah kalimat Allahu Akbar disebutkan 4 kali, kita menyebutkan syahadat: ASYHADU ANLAA ILAAHA ILLAL-LAH - ASYHADU ANNA MUHAMMADAR-RASULULLAH. Artinya pribadi saya bersaksi; menghayati sepenuhnya; bertanggung jawab bahwa tidak ada Ilah selain Allah. Kemudian diikuti dengan pernyataan yang berat lagi: Bahwa Muhammad itu Rasulullah.
Kalau kita sudah mengatakan tiada Ilah selain Allah, berarti: tiada pengarah selain Allah. Tiada pembimbing selain Allah. Tidak ada petunjuk selain Allah. Tidak ada suatu arah selain yang disebutkan Allah. Tidak ada indoktrinasi selain indoktrinasi yang diberikan Allah. Barulah sesuai ucapan dengan perbuatan.

Ingat!
Kita menyatakan pernyataan dengan suara keras. Kalau bukan dengan suatu kenyakinan penuh, tentu kita tidak berani menyebutnya keras-keras. Disaksikan oleh cacing, burung,  malaikat, manusia. Disaksikan oleh udara yang lewat, hujan yang turun, awan menggantung dan semuanya. Karena kita telah mengumandangkan dengan suara yang keras. Kita menyatakan bahwa Muhammad itu Rasul Allah. Pernyataan itu hendaknya dengan pemahaman dan kesadaran bahwa ini bukan pernyataan sejarah. Kalau pernyataan sejarah, sama dengan mengatakan  Gajah  Mada  adalah  Perdana   menteri   Majapahit.  Untuk  apa kalau hanya menyebut-nyebut begitu saja. Kalau kita menyebut bahwa Muhammad itu Rasul Allah, maka kita harus bertanggung jawab dengan pernyataan itu; bahwa risalah Islamiyah itu adalah syariat yang dibawakan Muhammad saw itulah yang harus kita ikuti. Tidak ada syariat lain selain syariat yang telah dibawa Rasulullah saw. Kita bersaksi, mau bertanggung jawab sepenuhnya. Kita hayati sepenuhnya apa yang kita nyatakan itu.   
Jika kita sebut kalimat-kalimat syahadat ini dengan lantang, maka yang mendengar adalah laki-laki, perempuan, tua muda yang semuanya itu juga disyariatkan mengucapkan kalimat-kalimat syahadat ini.
Apakah masih ada kesempatan bagi orang-orang beriman untuk berbuat kekafiran lagi !?
Kalau dalam sehari semalam dia mengucapkan syahadat berulang-ulang,  ketika adzan dia syahadat dan ketika shalatpun bersyahadat.

Apakah masih ada kesempatan bagi orang mukmin lari dari pernyataan itu !?
Berpuluh kali dia mengucapkannya sehari semalam. Kemudian sampailah kepada ajakan “HAYYA 'ALA SH-SHALAH”, artinya: Marilah, beranjak kita untuk melakukan shalat. Kalimat ini memang bernadakan panggilan, karena ada kata Hayya. Tapi pengertian Hayya ini bukan hanya sekedar 'mari!'. Kalau pengertiannya hanya 'kesinilah!', tentu tidak akan dipakai oleh Rasulullah saw kata-kata Hayya, tentu Beliau akan memilih kata Ta'al. Ta'allau ila shalah. Tapi Beliau memakai kata Hayya, dengan pengertian: tingkatkan-hidupkan-agungkan shalat ini. Jadi bukanlah sekedar untuk memanggil orang yang kelupaan, tapi lebih dari itu, yaitu menyadarkan.
Banyak orang yang mendengar adzan, tapi belum tentu mereka harus pergi sholat berjamaah karena ada orang-orang yang diizinkan oleh Rasulullah saw untuk tidak pergi memenuhi panggilan adzan seperti wanita, orang sakit dan orang-orang yang mempunyai udzur yang diizinkan Rasulullah seperti safar, dll. Tapi orang-orang ini harus juga ikut mengagungkan pernyataan itu dengan cara menirukan ucapan muadzin tersebut. Jadi jangan sampai terfikir olehnya untuk tidak mendatangi shalat berjamaah. Karena ucapan muadzin adalah sebuah pernyataan yang besar yang juga harus ia tirukan. Jadi baik muadzin maupun orang yang mendengarnya sama-sama telah membuat pernyataan yang sangat besar ini. Pernyataan yang besar itu harus dibuat berulang-ulang yang telah diatur oleh Rasulullah untuk  dilakukan pada waktu-waktu shalat. Oleh karena itu harus bersama-sama kita hidupkan dan kita agungkan shalat ini. Dan hal ini tidak akan mungkin dapat difahami kalau mereka tidak mengerti apa itu shalat.
Setelah melakukan adzan  Rasulullah mensyariatkan untuk membaca doa. Diantara doa yang dibaca itu adalah Wash sholaati qoo imah,  shalat yang betul-betul tegak  dalam diri.
Bukanlah dengan pengertian orang yang sudah shalat itu tegak. Tapi  shalat itu betul-betul tegak. Shalat yang mempengaruhi manusia ini.
Iitulah arah yang dituju oleh Hayya ala Shalah. Orang yang shalat adalah orang yang disiplin. Orang yang shalat dirinya dipengaruhi oleh ketentuan-ketentuan; perangkat-perangkat, perangai-perangai, dan perbuatan-perbuatan shalat secara terus-menerus. Bukan hanya pada waktu  shalat  saja.  Tapi  di  luar  shalatpun  seluruh dirinya dipengaruhi oleh shalat. Seperti di dalam surat Al-Israa' (17) ayat 78: Aqimish-shalata lidulukus sy-syamsi ilaa gha saqi l-layl. Artinya:“Tegakkanlah shalat sedari terbit matahari sampai datangnya malam”. Terus menerus dari pagi sampai malam, selalu dipengaruhi oleh shalat. Itulah orang yang menegakkan shalat. Itulah yang dikumandangkan dengan Hayya 'ala sh-Shalah.
Dengan demikian menjadi keniscayaan untuk mengajak pada kemenangan dengan mengumandang-kan HAYYA 'ALA L-FALAH, karena tegaknya sholat adalah sebab dari kemenangan. Inilah orang yang bakal menjadi menang. Kita ini bukanlah orang yang gila, yang hanya asal meneriakkan kata-kata “menang” dan mengajak orang pada kemenangan padahal secara duniawi kita ini tidak memiliki apa-apa. Sekali lagi hal ini hanya akan bisa dimengerti oleh orang-orang yang memahami apa itu shalat. Orang yang bersyahadat serta menegakkan shalat ini; itulah orang yang menang. Oleh sebab itu marilah kita menuju kemenangan. Menang menurut pengertian Allah, kemenangan hakiki, bukan pengertian  kemenangan   semu  yang diatur oleh manusia.  Sebagaimana Allah memberikan perinciannya  dalam  surat  Al-Mukminun  ayat  1,2  & 9:
Qad aflaha l-Mukminuun. Alladzi nahum fii shalaatihim khaasyi'uun....... Alladzi nahum 'alaa shalawaatihim yuhaafizhuun.
 Artinya: “Selalu menang orang mukmin itu (1); orang yang dalam shalatnya khusyuk (2) ..... Orang yang selalu menjadikan shalat itu pemelihara dirinya (9)”

Itulah yang dikumandangkan, kepada shalatlah orang diarahkan dan iitulah dia orang yang menang. Itu adalah pernyataan, bukan panggilan-panggilan biasa saja. Bukan sekedar ajakan  pergi ke masjid untuk shalat, tapi ini ajakan untuk menang.

Kemenangan dalam bentuk apa yang ada dalam masjid?
Yang jelas itu adalah suatu pernyataan; bahwa umat yang shalat adalah umat yang pasti menang, umat yang mampu mengalahkan keinginan dirinya dan mengorbankan segala waktu yang dimilikinya demi melaksanakan perintah Allah.
Kalau kita menyatakan bahwa kita menang, hendaknya orang lain harus merasa kalah, kalah dalam akidah, kalah dalam akhlak, kalah dalam syariat, kalah dalam ide, kalah dalam segala-galanya, dan tidak mungkin orang lain merasa kalah kalau kita tidak lebih dari orang itu.
Sesudah itu kita mengucapkan Allahu Akbar. Dan ditutup dengan Laa ilaaha illallah. Betul-betul ucapan yang berat yang dikumandangkan oleh muadzin yang diucapkan oleh seluruh umat.
Kalau sekarang masjid sudah banyak, menara sudah tidak diperlukan lagi karena sudah diganti dengan mikrofon. Jangkauan sudah begitu jauh. Kita jumpai dari timur sampai ke barat tidak putus-putusnya orang beradzan, sehingga kalau kita berada di kota besar, sekali adzan ada  200 masjid yang mengumandangkan adzan. Rasa-rasanya udara ini sudah tidak kuat lagi memikul pernyataan-pernyataan yang berat itu, rasa-rasanya masyarakat ini tidak mungkin tidak akan bangkit dengan adzan ini. Tapi kenyataannya masyarakat benar-benar tidak bangkit karena mereka tidak memahaminya. Sehingga kalau mereka mendengar, bukannya menggugah, malah merasa terganggu. Maka Rasulullah saw setelah adzan selalu berdoa: ALLAHUMMA RABBA HADZIHI DA'WATIT TAAMMAH WASH-SHALAATI L QOOIMAH.
Allah, Rabb yang peduli, memelihara seruan yang sempurna ini dan yang memelihara shalat yang kokoh ini. Lalu kita meminta -AATI MUHAMMADANIL WASHIILAH WAL FADHIILAH-. Ada orang yang mengatakan washiilah itu adalah tempat yang mulia di surga. Sedangkan fadhiilah artinya keutamaan.
Apakah Muhammad saw tidak mendapatkan washiilah dan fadhiilah dari Allah? Tanpa doa kita pun Beliau tetap mendapatkan itu dari Allah. Kita berdoa itu bukan untuk Muhammad saw, tapi berdoa untuk diri kita sendiri.
Dengan berdoa kita telah melakukan ketentuan dari Rasulullah. Juga dalam shalat kita mengucapkan shalawat atas beliau. Apakah beliau saw butuh shalawat dari  kita?
Justru kita ucapkan doa dan shalawat adalah untuk lebih memantapkannya ke dalam diri dan untuk mendekatkan beliau saw kepada diri kita. Kita mengucapkan: WAB-'ATSHU MAQAA MA M-MAHMUUDA (dan tempatkan dia pada posisi yang mulia).

Kurang muliakah Beliau  saw?
Apakah perlu pernyataan dari kita  baru Beliau saw mendapatkan kemuliaan? Tidak ada artinya kita ini.
Tapi kita dituntun untuk mengucapkan hal yang demikian. Kita adalah umat Muhammad saw, hendaknya merasa bahwa Beliau saw itu sudah tinggi.

Lalu kita umatnya ini bagaimana?
Rasul saw itu sudah punya posisi yang sangat tinggi. Kita mendoakan Beliau supaya kita pun mendapatkan posisi yang tinggi karena kita ini adalah ummatnya. Itulah yang sebenarnya kita minta.
Apakah Allah akan memungkiri janjiNya? Muhammad tanpa kita pun tetap Muhammad. Allah telah menjanjikan posisi yang tinggi buat beliau saw. Kenapa kita harus mengungkit-ungkit seolah-olah Allah tidak menepati janjiNya. Kita ucapkan doa itu justru untuk kita sendiri. Supaya kita yakin bahwa, “Kita umat Muhammad saw yang punya posisi yang amat tinggi di mata Allah.“ Allah sudah menjanjikan posisi yang tinggi kepadanya yang Allah pasti menepatinya. Sebagaimana karakter beliau, maka seperti itu jugalah seharusnya karakter kita. Itulah gunanya kita mengucapkan doa sesudah adzan.
Jadi ucapan-ucapan yang dilakukan dalam adzan adalah pernyataan-pernyataan yang berat. Kalau kita memilih mu'adzin pilihlah yang faham dan memiliki suara yang  lantang.
Pernyataan adzan ini diikuti dengan iqaa matii sh-shalah sebelum kita melakukan shalat. Semua kata-kata itu diulang kembali dan bersambung dengan shalat. Disitulah baru dinyatakan hubungan shalat dengan adzan: Qad Qaa matish shalah; shalat yang dikerjakan itu tegak mengokohkan!
Hendaknya mulai sekarang kita harus mengetahui syariat adzan itu bagaimana dan apa tujuannya. Apa pengaruh yang harus tumbuh dalam diri kita. Bukan hanya sekedar protokoler. Tetapi itu adalah pernyataan-pernyataan berat yang harus kita pertanggung jawabkan. Begitu juga akibat berikutnya. Memang pada awalnya terbayang syariat adzan itu hanya ditujukan untuk memanggil orang untuk shalat, tapi kalau kita pelajari lebih lanjut seperti hadist yang kita kemukakan di atas,  ternyata  jauh  lebih   dari   itu.
Kalau mendirikan shalat berjama'ah, hendaklah adzan. Jadi kalau kita artikan adzan itu dengan memanggi orang untuk sholat berjamaah, maka itu hanya bagi orang yang terlupa. Jadi bukan datang ke masjid itu setelah adzan. Di zaman Rasulullah saw orang sudah datang ke masjid sebelum adzan. Mereka bersama-sama melakukan shalat tahyatul masjid  baru  setelah itu  adzan.
Jadi dibutuhkan penghayatan lebih mendalam dari sekedar memahami adzan sebagai pemberitahuan masuknya waktu shalat, atau hanya sekedar panggilan untuk shalat, tapi kita harus menghayatinya sebagaimana Rasulullah dan para sahabat telah menghayati dan memahaminya supaya shalat benar-benar menjadi tegak dan mampu mempengaruhi diri kita secara terus-menerus yang akan menjadikan diri kita sebagai orang-orang yang menang.

Jumat, 22 April 2011

Adakah Yang Lebih Baik Dari Al Quran ?



Sungguh…suatu nikmat yang besar bagi orang-orang yang beriman yaitu nikmat hidup yang selalu berlandaskan kepada petunjuk (al-Quran). 

Allah menganugerahkan kepada kita suatu pedoman jalan hidup yang sempurna. Allah juga memberi bukti keberhasilan dan keindahan suatu kaum yang telah menjalankan al-Quran sebagai pedoman hidup. Bagaimana mereka hidup dalam keteraturan dan keselarasan. Itulah masa Rasulullah dan para sahabat. Rasul diutus menjadi pembawa risalah dan bukti kesempurnaan al-Quran. Bila kemudian ada yang mengelak dan beralasan bahwa tidak mungkin lagi ber al-Quran seperti Rasulullah dan para sahabat dahulu karena perkembangan zaman, bukankah al-Quran diturunkan untuk seluruh manusia sampai akhir zaman!! Bukan Muhammad yang luar biasa, tetapi al-Quranlah yang membuatnya luar biasa. 
          Sehingga munculnya pribadi seperti Rasulullah adalah dikarenakan beliau telah menjalankan al-Quran, beliau bukanlah manusia yang dibentuk oleh lingkungan dan zamannya. Jadi dengan tidak adanya Muhammad sekarang, tidak ada alasan bagi kita untuk tidak menjalankan al-Quran sebagaimana yang telah beliau contohkan. Jika kita menjalankan al-Quran seperti halnya Rasul menjalankan al-Quran, kita pun akan bisa mewujudkan maunya Allah terhadap diri kita. Rasulullah diutus ke dunia sebagai contoh bagi seluruh umat manusia bagaimana semestinya berpetunjuk dengan al-Quran itu. Tetapi, meskipun petunjuk yang sempurna itu ada beserta bukti-buktinya dengan jelas, masih banyak manusia yang ragu menggunakan al-Quran sebagai pedoman hidup. Sehingga mempergunakan yang lainnya sebagai petunjuk selain al-Quran. Maka hendaklah kita perlu mengoreksi, meneliti, dan menilai diri berkaitan dengan penjelasan dan peringatan Allah dalam surat Luqman 1 - 7 berikut ini :
Alif lam mim (1) tilka ayatulkitaabil hakiim (2) Hudan waromatan lil’aalamiin (3) alladziina yuqiimuunasholaata wayu’tuunaz zakaata wahum bil aakhirotihum yuuqinuun (4) ulaa-ika ‘alaa hudan min robbihim wa-ulaaika humul muflihuun (5) waminan naasi man yasytarii lahwal hadiitsi liyudlilla ‘an sabiilillahir bighoiri ‘ilmi wayattakhidahaa huzuwaa. Ulaaika lahum ‘adzaabun muhiin. (6) wa-idzaa tutlaa ‘alaihi ayaatinaa wallaa mustakbiron ka-anlam yasma’haa ka-anna udzunaihi waqroo, fabashirhu bi’adzaabin aliim (7)

“Alif laam miim (1). Itulah ayat-ayat al-Kitab (yang telah ditetapkan) dengan sangat bijaksana (2) Merupakan petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang ihsan. (3) Yaitu orang-orang yang menegakkan sholat, mendatangkan zakat dan mereka itu dengan akhirat meyakininya. (4) Mereka itulah orang-orang yang berada di atas petunjuk dari Rabb-nya dan mereka itulah orang-orang yang menang. (5) Dan di antara manusia ada orang yang mengada-adakan perkataan yang tidak bermutu (bernilai) untuk menyesatkan dari jalan Allah tanpa ilmu dan menjadikan ayat-ayat itu sebagai olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan. (6) Dan apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat Kami, dia berpaling dengan menyombongkan diri seolah-olah dia belum mendengarnya, seakan-akan ada sumbatan di kedua telinganya, maka gembirakanlah dia dengan azab yang pedih (7)

(1) ALIF LAAM MIIM -
(2) ITULAH AYAT-AYAT AL-KITAB (YANG TELAH DITETAPKAN) DENGAN SANGAT BIJAKSANA - Kata itulah dalam ayat tersebut menunjukkan kepada apa-apa yang diwahyukan Allah yaitu al-Quran, suatu kitab yang berisi ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan yang diturunkan secara tepat dan terukur sebagai bentuk keMahabijaksanaan-Nya dan keMahatahuan-Nya. Berarti, apa pun yang diturunkan adalah benar-benar yang terbaik bagi seluruh manusia. Begitulah kesadaran yang mesti muncul dari setiap diri, ketika membaca ayat-ayat atau wahyu.

(3) SEBAGAI PETUNJUK DAN RAHMAT BAGI ORANG-ORANG YANG IHSAN - Petunjuk adalah hakekat al-Quran, petunjuk adalah cirinya, eksistensinya, cahaya, pengarah yang gamblang dan jelas. Rahmat Allah sebagai bukti kasih sayang kepada hamba yang diberiNya gelar muhsinin. Orang-orang yang perbuatannya bernilai baik (ihsan) di mata Allah. Orang-orang yang selalu merasa bahwa Allah melihat setiap apa yang dia dikerjakan. Selalu merasakan pengawasan dari Allah. Allah selalu hadir dalam setiap gerak dan keputusannya. Hanya orang-orang muhsininlah yang akan mau dan mampu untuk berpetunjuk dengan al-Quran. Lalu siapakah orang-orang muhsinin itu?

(4) YAITU ORANG-ORANG YANG MENEGAKKAN SHALAT, MENDATANGKAN ZAKAT DAN MEREKA ITU DENGAN AKHIRAT MEYAKININYA - Allah menyebutkan beberapa ciri perbuatan yang melekat pada diri muhsinin. Pertama, menegakkan shalat. Menegakkan shalat disini, bukan hanya melaksanakan rukun dan syarat shalat saja. Tetapi, menjadikan apa-apa yang ada dalam shalat, hadir dan wujud dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga akan tergambar dan nampak akibat dari shalat tersebut, menjadikan diri tunduk, patuh, dan mau menjalankan ketentuan-ketentuan Allah, sehingga shalat itu mampu mencegah dari perbuatan keji dan munkar. Kedua, mendatangkan zakat. Zakat adalah wujud dari gambaran diri yang sadar bahwa harta yang dimilikinya merupakan rezki yang datangnya dari Allah. Sehingga muncul kesadaran dalam membelanjakan hartanya sesuai dengan petunjuk dan ketentuan Allah. Zakat dapat mensucikan/membersihkan pandangan jiwanya terhadap harta. Membersihkan hatinya dari sifat bakhil, sombong dan dapat meneguhkan hubungan antar sesama. Memberikan dengan rela sebagian harta, baik di waktu lapang maupun sempit. Tahu bahwa ada hak orang lain yang harus dikeluarkan dari harta itu. Ketiga yaitu meyakini akan hari akhir. Yakin akan ada hari berhisab dan tahu persis apa yang akan dinilai pada hari berhisab itu. Penilaian atas segala perbuatan yang dilakukan di dunia adalah penguat paling penting (motivasi) dalam berbuat.  Keyakinan  hari  akhir  telah menjadi suatu metode  dalam menilai  semua  hasil   yang   telah   dicapai.  Segala   sesuatu akan disebut “bernilai” (bermanfaat) kalau sekiranya menghasilkan penilaian baik di hari akhir. Sehingga penilaian hari akhirlah yang menjadi dasarnya dalam berbuat dan berfikir.

(5) MEREKA ITULAH ORANG-ORANG YANG BERADA DI ATAS PETUNJUK DARI RABB-NYA DAN MEREKA ITULAH ORANG-ORANG YANG MENANG -  Ketika shalat tidak lagi sekedar memenuhi rukun dan syaratnya saja, ketika sholat tidak hanya gerakan-gerakan yang tak bermakna, tetapi telah berubah menjadi sesuatu yang muncul dan tegak dalam diri seperti yang digambarkan oleh Rasulullah sebagai tegaknya Dinn pada diri seseorang. Ketika infaq dan zakat menjadi karakter diri, dengan membelanjakan harta demi mencari keridhaan Allah, ketika perbuatan-perbuatan ihsan telah menjadi sesuatu yang diamalkan dan mereka percaya bahwa hari berhisablah yang merupakan ciri penutup yang menghubungkan dunia dengan akhirat, mengaitkan pangkal dengan ujung, perbuatan dengan ganjaran, ciri yang mengingatkan manusia bahwa ia tidak dilepaskan begitu saja, bahwa ia tidak diciptakan percuma, ditinggalkan begitu saja. Sehingga jika setiap diri mampu melakukan semua hal tersebut, merupakan suatu kemenanganlah yang mereka dapatkan menurut penilaian Allah.

(6) DAN DI ANTARA MANUSIA ADA ORANG YANG MENGADA-ADAKAN PERKATAAN YANG TIDAK BERMUTU (BERNILAI) UNTUK MENYESATKAN DARI JALAN ALLAH TANPA ILMU DAN MENJADIKAN AYAT-AYAT ITU SEBAGAI OLOK-OLOKAN. MEREKA ITU AKAN MEMPEROLEH AZAB YANG MENGHINAKAN - Begitu jelasnya petunjuk Allah yang Maha Tahu, Maha Perkasa, Maha Bijaksana, yang mengarahkan manusia kepada kebenaran, kebaikan, dan kemaslahatan hidup. Namun masih ada orang yang menganggap ada yang lebih baik dari petunjuk Allah (al-Quran), yaitu sesuatu yang berasal dari teori dan pemikiran manusia. Inilah sebodoh-bodoh manusia. Jenis yang oleh al-Quran disebut punya akal tapi tidak digunakan untuk berfikir, punya mata tapi tidak digunakan untuk melihat, punya telinga tapi tidak digunakan untuk mendengar, punya hati tapi tidak digunakan untuk merasakan. Sudah tahu bahwa itu adalah ayat dari Allah yang Maha Tahu, tetapi masih memilih dan mengikuti pemikiran manusia yang bodoh. Bagaikan orang yang tak mampu membedakan antara emas dan tembaga, bau harum dan bau busuk. Ayat ini mengancam bagi orang-orang yang sudah tahu dengan ayat, tetapi masih mencoba mengarahkan manusia dengan yang selain ayat. Dan mengancam pula bagi orang-orang yang mengatakan bahwa al-Quran adalah petunjuk yang diturunkan Allah, tetapi pada kenyataannya mereka tidak pernah mau menggunakan ayat dalam menyelesaikan segala persoalan hidup, serta tidak mau bersungguh-sungguh. Mereka tahu al-Quran adalah petunjuk, tetapi tidak berpetunjuk dengannya.

(7) DAN APABILA DIBACAKAN KEPADANYA  AYAT-AYAT KAMI,  DIA BERPALING DENGAN MENYOM-BONGKAN DIRI SEOLAH-OLAH DIA BELUM MENDENGARNYA, SEAKAN-AKAN ADA SUMBATAN DI KEDUA TELINGANYA, MAKA GEMBIRAKANLAH DIA DENGAN AZAB YANG PEDIH. - Beginilah gambaran yang diungkapkan Allah tentang makna beriman, bahwa keimanan seseorang itu tidak diukur dari segala macam asesoris jasad yang ia kenakan  seperti  baju,   atribut, dan  simbol ke-Islaman lainnya. Tidak juga dari  asesoris  gelar seperti haji, ustadz, kyai, Cendikiawan   muslim,   atau   yang  lainnya. Tetapi Allah melihat dari bentuk yang paling nyata dari adanya iman dalam diri seseorang, yaitu sikap dan tanggapannya terhadap ayat yang telah diturunkan. Sekiranya apa yang dia perbuat tidak seperti apa yang menjadi maunya ayat, maka nilai dirinya tidak lebih dari orang yang MENDUSTAKAN. Jadi alangkah ironinya menjadi seorang muslim tapi tidak tahu apa-apa tentang al-Quran, terlanjur diberi gelar ustadz, cendikiawan muslim tapi tidak tahu ayat, lebih mengerikan lagi orang yang tahu al-Quran, tetapi tidak pernah muncul dari dirinya gambaran dari pengamalan ayat. Yang terjadi justru apabila dibacakan ayat-ayat Allah maka mereka berpaling dari mendengarkannya seraya bersikap takabur, seakan dia tidak mendengarkan dan seakan pada kedua telinganya terdapat sumbatan sehingga ia tidak dapat mendengarkannya dan lebih-lebih untuk menangkap dan merenung-kan maknanya. Allah sangat murka jika sudah dibacakan ayat tapi acuh tak acuh menanggapinya seolah-olah dia tuli, tidak mau menjadikannya sebagai jalan keluar atas permasalahan. Sehingga Allah pun  memperolok-olok mereka dan akan meng-gembirakannya dengan azab yang pedih. Itulah balasan bagi orang-orang yang tidak menjadikan al-Quran sebagai pedoman dan  petunjuk hidupnya.
               Sebagai makhluk, manusia diciptakan dalam kondisi lemah dan tak berilmu, serta tak tahu menahu (buta dan tuli) tentang peta hidup yang akan ditempuhnya. Namun Rabb Yang Maha Tahu dan Maha Bijaksana telah membekalinya dengan petunjuk penuh hikmah. Sebuah petunjuk yang dengan pasti akan mengantarkannya pada kemenangan dan menyelamatkannya dari siksa yang menghinakan. Maka kenikmatan apalagi yang akan kita cari selain kenikmatan hidup di atas petunjuk yang telah diwahyukan oleh Sang Maha Hidup? Namun, sungguh kesombongan makhluk bernama manusia itu telah melampaui batas. Sudah jelas dia hanyalah makhluk lemah yang bergantung sepenuhnya pada petunjuk Penciptanya, namun ketika petunjuk dari Rabb itu datang kepadanya dia justru mengolok-olok petunjuk itu dan berpaling pada petunjuk lain. Petunjuk yang hanya akan menyesatkan dirinya dari tujuan hidup yang sebenarnya, yaitu jalan hidup yang dibangun dengan keyakinan pada datangnya hari berhisab. BAGAIMANA MUNGKIN PETUNJUK SEJATI YANG TELAH PASTI DARI SISI RABB TIDAK DIAMBIL DAN DIMILIKI SEBAGAI PILIHAN HIDUP dan justru mengambil petunjuk lain yang datangnya dari makhluk? Lalu bagaimana mungkin makhluk buta tak berilmu bertanya pada makhluk lain yang ternyata juga tuli dan bisu? Dan bagaimana mungkin “kedua” makhluk tak berpetunjuk itu bisa saling memberikan petunjuk?

Senin, 18 April 2011

Apa-Apa yang telah Mereka Gariskan


            Allah telah mendidik Rasulullah dan umat bermula dengan suatu metoda yang sangat sempurna. Suatu metoda yang telah berhasil melahirkan sekelompok manusia yang bersedia untuk menjadikan hanya al Quran saja sebagai satu-satunya sumber petunjuk dalam segala segi kehidupan mereka. umat yang belum pernah tampil kembali setelahnya. Suatu umat yang telah mendapat pendidikan langsung dari Rabb mereka, sehingga jadilah mereka manusia yang berbeda, yaitu umat yang kemudian menyerahkan sepenuhnya segala urusan mereka kepada wahyu.
            Suatu metoda yang dapat kita lihat dengan jelas bagaimana Allah telah mendidik dan mengarahkan hamba-hambaNya untuk sanggup menerima serta menjalankan kehidupan ini hanya berdasarkan apa yang telah digariskan Allah bagi mereka. kalau kita renungkan secara mendalam mengenai hal ini, tentulah bgi kita tiada lagi metoda pendidikan yang lebih sempurna di dalam mendidik manusia daripada metoda yang telah dibuat dan dipakai Allah di dalam mendidikn Rasulullah dan para sahabat yakni umat bermula.
Di dalam mendidik Rasululllah dan para sahabat Allah memulai dengan menurunkan wahyu pertama yaitu surat al ‘Alaq,  dimana surat ini akan menyiapkan manusia untuk mau menerima wahyu sebagai petunjuk dan pengajaran dari Rabb pencipta dirinya.  Dengan menumbuhkan kesadaran bahwa dirinya adalah makhluk yang sengaja diciptakan dengan segala keterbatasan di dalam mengetahui hakekat kehidupannya.
Sehingga menjadikan dirinya sangat tergantung pada pengajaran dari Rabbnya untuk mengetahui apa-apa yang sebenarnya menjadi sesuatu yang Ghaib bagi dirinya.  Selanjutnya dia akan selalu memposisikan dirinya untuk bersedia dan bersiap menjadi orang yang mau diajari oleh Rabb Penciptanya, dan jadilah dirinya sebagai orang yang selalu menunggu-nunggu wahyu.
Tidak akan mampu menjalankan wahyu selanjutnya sebelum ayat ini menjadi mantap di dalam dirinya dan telah merubah cara berpikirnya secara mendasar hingga sampailah pada satu kesimpulan bahwa tiada lagi petunjuk yang mesti diikutinya kecuali apa-apa yang diajarkan Rabb-Nya Yang Maha Tahu segalanya dan bagaimana dia harus meletakkan logikannya ketika berhadapan dengan wahyu. Sehingga ketika surat al Muzammil yang merupakan wahyu kedua ini turun, beliau telah mempunyai kesadaran bahwa yang dihadapinya adalah wahyu dari Yang Maha Tahu.
Dalam surat al Muzammil, Allah mendidik Rasulullah dengan shalat malam. Hal ini bertujuan untuk mengokohkan dirinya, sehingga mampu dan punya kesiapan yang tinggi di dalam menjalankan tugas-tugas berat yang akan turun selanjutnya. Allah menyatakan berat berarti apa yang akan dihadapi adalah hal yang memang benar-benar berat, berat dalam pelaksanaan, berat dari akibat yang akan ditimbulkan, berat pula di dalam perasaannya.
Dalam berbagai riwayat dapat kita bayangkan betapa beratnya Rasulullah saat menerima wahyu. Bagaimana beliau dilanda ketakutan, kecemasan, dan kondisi fisik yang memperlihatkan beratnya menerima wahyu. Untuk menerima saja begitu berat apalagi menjalankan wahyu tersebut. Dan kesiapan menyongsong tugas berat itu tidak lain hanya bisa ditumbuhkan dengan jalan membina diri dengan shalat malam.
Sedemikian rupa rencana Allah dalam menyiapkan seorang hambaNya untuk sanggup menerima tugas berat yang Allah maksudkan dalam wahyu keduaNya, “sanggup” menerima dan menjalankan wahyu selanjutnya yaitu surat al Mudatstsir yang memerintahkan untuk andzir. Dengan turunnya perintah ini maka mulailah beliau membuat garis antara dirinya dengan masyarakat sekitar. Sehingga timbullah gesekan, benturan bahkan reaksi keras dikarenakan apa yang telah beliau andzirkan.
Kalau kita perhatikan tahapan-tahapan yang dilalui dari metoda Allah di dalam menurunkan al Quran secara berangsur-angsur, bahwasanya sejak diturunkannya surat al ‘Alaq sampai al Muzammil dan menyuruh beliau melakukan pembinaan diri dengan shalat malam. Belum akan timbul masalah-masalah berat. Tetapi setelah turunnya surat al Mudatstsir yang memerintahkan beliau untuk menyampaikan dan membawa misi Allah untuk semua manusia, barulah timbul benturan dengan masyarakat. Inilah titik awal seseorang masuk dalam persoalan-persoalan agama ini. Dan dari sini barulah segala persoalan dalam agama ini bermula.
Garisan yang lurus yang berasal dari RAbb Yang Maha Tinggi ini terasa bertentangan di hadapan masyarakat  jahiliyah. Ajakan untuk kembali kepada ajaran yang hanif ini berbenturan dengan tradisi jahiliyah yang telah mengakar kuat sebagai agama di lingkungannya yang telah diwariskan secara turun temurun.
Apa yang beliau sampaikan itu akan menghancurleburkan segala keyakinan dan tradisi nenek moyang yang selama ini telah menjadi agama bagi mereka. maka memerangi apa yang dibawa Muhammad adalah sesuatu yang pasti mereka lakukan.
Sungguh ironi apabila melihat latar belakang beliau. Sosok Muhammad yang sebelumnya dikalangannya dianggap sebagai sosok yang dapat dipercaya bahkan gelar al amin mereka sematkan kepada beliau, bahwa apapun yang dikatakan Muhammad pasti benar dan mereka percayai sepenuhnya. Bahkan, banyak orang yang mempercayakan hartanya untuk dititipkan kepada beliau. Akan tetapi segala kepercayaan itu ternyata semua tidak berguna ketika beliau menyampaikan tentang kebenaran ayat kepada kaumnya.
Hal ini dapat dilihat dalam suatu riwayat menceritakan, Muhammad berada di tengah-tengah kaumnya berbicara dengan lantang “apakah kamu percaya apabila aku kabarkan bahwa dibelakang gunung ada sepasukan kuda musuh yang datang akan menyerang?” dan serempak mereka menjawab “ya kami percaya”. Begitu percayanya mereka pada perkataan Muhammad. Akan tetapi, saat Muhammad menyatakan dirinya Rasul Allah, serempak mereka tidak mempercayainya.
Hal ini mengajarkan kepada kita bahwa cara berpikir manusia pada umumnya akan membelenggu dan mengungkungi jiwa dan hati manusia dalam menerima kebenaran. Sungguh pun jiwa dan logika manusia sebenarnya mengenali bukti kebenaran itu.
Hal ini juga mengajarkan kepada kita bahwa segala macam gelar keilmuan dan berbagai atribut keduniawian sebenarnya juga tidak akan berguna untuk meyakinkan manusia tentang kebenaran yang sesungguhnya yang berasal dari Rabb yang Maha Tahun. Nampak bahasanya yang terjadi apabila konsep berpikir yang sudah mentradisi atau turun-menurun telah mengakar dalam diri manusia apabila dibenturkan dengan kebenaran wahyu dari Rabb Pencipta mereka sendiri tetap saja mereka secara terang-terangan akan menolaknya.
Hal ini disebabkan karena konsep berpikir semacam ini hanya berorientasi kepada dunia saja dan hanya melihat segala sesuatu secara lahiriyah saja dan tak mampu melihat kehidupan ini secara utuh bahwa dibalik hal-hal nyata yang dilihatnya ada sesuatu yang tak dapat diindra dan dijangkau oleh akalnya sehingga tidak pernah memberikan kesadaran mengenai arti dan tujuan kehidupan.
Demikianlah, penolakan demi penolakan datang bertubi-tubi dialami Rasululullah. Sempat terjadi kebingungan yang mempengaruhi diri beliau karena reaksi yang timbul itu terjadi secara terus-menerus. Belaiu mencoba memahamid an menghayati atas sikap-sikap penolakan itu.
Apakah ada sesuatu yang salah pada yang beliau kerjakan atau yang beliau sampaikan itu? bukankah pelajaran yang disampaikannya adalah sesuatu yang diturunkan oleh Rabb pecipta mereka sendiri yang akan mengajarkan bagaimana seharusnya mereka membentuk dan menjalani kehidupan dimuka bumi ini!! Disaat beliau mencoba memahami dan menghayati atas sikap-sikap penolakan itu, Allah menurunkan surat Al-Qalam ayat 1 s/d 7, dimana Allah memberikan pengarahan kepada Rasulullah dalam menghadapi hambatan dan kenyataan yang sedang dihadapinya itu. Menyiapkan mental beliau dalam menghadapi akibat menjalankan surat al Mudatstsir.
Jadi hal ini sekaligus menjawab pendapat beberapa riwayat yang menyatakan bahwa surat ini adalah surat yang kedua turun sesudah surat Al-Alaq, padahal apabila kita perhatikan persoalan yang tersebut dalam surat ini, dapat kita perkirakan bahwa surat ini diturunkan setelah Rasulullah berdakwah secara terang-terangan kepada masyarakatnya (kaum Quraisy), yaitu setelah turunnya surat Al-Mudatstsir. Berikut isi surat Al-Qalam ayat 1 s/d 7 tersebut :

 Nuun, Walqolami wamaa yasturuun (1) maa anta bini'mati robbika bimajnuun (2) wa-inna laka la ajron ghoiro mamnuun (3) wa innaka la'alaa khuluqin 'adziim (4) fasatubshiru wayubshiruu (5) biayyikumul maftuun (6) inna robbaka huwa a'lamu biman dholla 'an sabiilihi wahuwa a'lamu bilmuhtadiin (7)

nuun, demi al qolam dan apa-apa yang mereka gariskan (1) tidaklah kamu dengan nikmat Rabb-mu ini kamu menjadi gila (2) dan sesungguhnya bagi kamu benar-benar balasan yang tidak ter-angan-kan (3) dan sesungguhnya kamu benar-benar berakhlak yang agung (4) maka kelak kamu akan melihat dan mereka (orang-orang kafir)pun akan melihat (5) siapa di antara kamu yang gila (6) sesungguhnya Tuhanmu, dia-lah yang paling mengetahui siapa yang sesat dari jalan-nya; dan dia-lah yang paling mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk (7)

1. NUUN
Surat ini dimulai dengan huruf Nun, yang dibaca panjang. Seolah-olah apabila kita baca akan menggambarkan suatu raut muka orang yang sedang bingung, dan apabila kita coba  untuk mencari pengertian dari huruf Nun ini juga akan menimbulkan kebingungan pula bagi pembacanya, karena ini hanya berupa huruf yang tidak memiliki pengertian. Mengapa memilih huruf Nun, tidak huruf hijaiyah yang lain?
Kita tidak tahu pasti tetapi kita yakin pastilah Allah tidak memilih huruf ini secara acak tanpa suatu rencana, tentulah ada maksud dibalik Allah menurunkan huruf Nun ini mengawali surat al Qolam.
   Bukankah gambaran ini seperti keadaan yang juga terjadi dalam diri Rasulullah saat menerima wahyu ini? Kebingungan!. Seolah-olah ada keterkaitan antara keduanya, mengartikan suatu simbol kebingungan Rasulullah. Seolah-olah Sang penerima wahyu sedang dalam kebingungan.
   Akan tetapi bukankah tidak penting mengartikan huruf Nun ini, sebab nanti di surat-surat yang lain kita juga akan temui huruf-huruf yang di awal ayat dimulai dengan huruf seperti Ali Lam Miim, Tho Ha, 'Ain Siin Qoof dan masih ada yang lainnya. Sebuah keunikan dari metoda Allah swt dalam menurunkan wahyunya, seolah-olah melalui rangkaian huruf-huruf yang tak memiliki arti ini, targetnya hanya untuk memunculkan ketertarikan 'rasa ingin tahu lebih' daripada satu huruf nun.
Demikianlah salah satu metoda Allah dalam menarik perhatian seseorang. Kalau didalam menurunkan surat Al-Alaq digunakan cara mempertemukan beliau dengan malaikat Jibril, agar perhatian beliau tertuju sepenuhnya terhadap apa yang disampaikan malaikat Jibril. Kemudian tertarik kepada apa yang diperintahkan kepadanya. Sehingga ada kesiapan dalam dirinya menerima wahyu.
Cara lainnya adalah dengan menyentakkan suatu sebutan dikaitkan dengan keadaan atau ciri yang melekat pada dirinya. Sebagaimana yang kita lihat dari surat  Al-Muzammil dan Al-Mudatstsir, dimana beliau dipanggil dengan “Yaa ayyuhal Muzammil” ataupun “Yaa ayyuhal Mudatstsir” yang artinya berkemul atau berselimut. Semua cara atau metoda itu bertujuan sama yaitu untuk menarik perhatian, membuat orang berkonsentrasi dengan apa yang akan disampaikan.
WAL QOLAAMI WA MAA YASTHURUUN-DEMI AL QOLAM DAN APA-APA YANG MEREKA GARISKAN,-
Allah bersumpah dengan al-Qalam dan demi apa-apa yang mereka gariskan. Arti Qalam disini secara bahasa berarti pena atau sesuatu yang diruncingkan ujungnya. Tetapi sungguh pun al Quran turun dalam bahasa Arab namun istilah ini telah menjadi istilah al Quran, dengan definisinya sendiri pula. Jadi tidaklah tepat kalau kita mengartikan pena ini diartikan secara pengertian bahasa. Dan bagi Rasululllah dimana beliau sudah menghayati pengertian al Qalam ini sejak turunnya wahyu pertama surat al Alaq ayat ke-4, Allah berfirman “alladzi 'allamal bil qalam”.
Maka jelaslah arti qalam itu sendiri menurut ayat ini adalah sesuatu yang dijadikan Allah untuk mengajar. Dan ketika al qalam ini dijadikan sumpah oleh Allah maka semakin jelaslah artinya bukan pena. Tetapi maksudnya adalah wahyu yang kemudian tertulis secara abadi di dalam kitab yaitu al Quran.
Sedangkan Maa Yasturuun adalah apa-apa yang mereka gariskan, yasturuun merupakan kata kerja yang berarti 'menggaris'. Apa yang dimaksud dengan 'garisan' disini? yaitu sikap di dalam menanggapi dakwah yang disampaikan oleh Rasulullah dengan segala rencana yang disusun dan dibuat manusia untuk melumpuhkan atau bahkan menghancurkan dakwah beliau. Jika fakta sejarah mengungkap tradisi kaum musyrikin Mekkah dalam menanggapi dakwah nabi dihadapi secara bersama-sama, yaitu selalu mengadakan rapat-rapat. Dan dalam pertemuan rapat itu menghasilkan garisan-garisan berupa rencana-rencana, kemudian dari rencana tersebut menghasilkan suatu keputusan. Hasil keputusan itu kemudian dituangkan dalam bentuk tulisan, tiada lain isinya berisi segala strategi untuk menyerang dakwah. Tulisan itulah yang disebut maa yasturuun. Jika manusia mampu membuat garisan, tentulah Allah pun juga lebih mampu membuat garisan. Inilah 'garisan' yang akhirnya menunjukkan satu sikap penolakan atau penerimaan terhadap wahyu. Inilah yang dimaksud ma yasturuun suatu garisan yang membedakan apa yang berasal dari Rabb dan apa-apa yang direkayasa manusia untuk menolak akan ayat.
Bukankah yang dilakukan orang-orang tersebut tidak hanya terjadi dijaman Rasulullah saja? Bukankah sampai saat ini hal itu juga terjadi pada semua manusia yang mencoba menolak apa-apa yang berasal dari Rabb? Mereka menyusun rencana-rencana yang tertuang didalam suatu keputusan yang tertulis pula. Allah bersumpah dengan Al-Qalam yaitu apa-apa yang diwahyukan-Nya dengan membandingkan apa-apa yang berasal dari manusia. Sebuah perbandingan yang kontras, membandingkan yang berasal dari Rabb dengan sesuatu yang berasal dari manusia (yang merupakan ciptaan-Nya). Jadi dengan persumpahan ini dimaksudkan untuk menjawab segala kebingungan Rasulullah.

2.  MA ANTA BINI'MATI RABBIKA BI MAJNUUN -TIDAKLAH KAMU DENGAN NIKMAT RABB-MU INI KAMU MENJADI GILA.-
Kata “ma anta...”(tidaklah kamu...) jelas menunjukkan bahwa beliau telah terpengaruh dengan tuduhan orang kafir  terhadap dirinya bahwasannya beliau majnun.  Penegasan kalimat 'tidaklah kamu' suatu bentuk penafian Allah swt kepada diri nabi bahwa apa yang telah beliau kerjakan di mata Allah sudah benar.
      Sedangkan kata Majnuun harfiahnya berarti gila yaitu adanya kerusakan pada syarafnya. Padahal sesungguhnya kondisi Rasulullah secara lahir ataupun pikiran tidaklah demikian. Inilah tuduhan yang dilemparkan orang kafir kepada beliau, sebagai salah satu strategi yang dilancarkan oleh orang kafir untuk menghambat dakwah Rasulullah.
Hal tersebut hanyalah sebagai upaya mereka didalam usahanya membendung atau menghambat dakwah Rasulullah. Apalagi ketika itu misi dakwah beliau mulai disampaikan tidak hanya dikalangan kaumnya saja tetapi lebih meluas sampai kepada para jamaah haji yang datang ke Mekkah. Dimana Haji pada waktu itu adalah tradisi turun-temurun yang merupakan peninggalan ajaran nabi Ibrahim. Sedemikian takutnya mereka terhadap dakwah Rasulullah jika berhasil mempengaruhi orang-orang tersebut.
Maka mulailah disebarkan fitnah untuk membunuh karakter beliau yaitu dengan melontarkan isu bahwa Muhammad adalah “orang gila”, dan ternyata cara itu sedikit banyak mempengaruhi pendapat masyarakat tentang sosok Muhammad.
     Walaupun pada akhirnya apapun cara mereka untuk menghambat dakwah terbukti gagal. Mereka tidak mampu membendung hakekat kebenaran yang dibawa Rasulullah dalam dakwahnya.  
     Walaupun masyarakat disekitarnya menganggap bahwa apa yang diperbuatnya adalah suatu kegilaan, namun tidaklah demikian menurut Rabb-nya. Melalui ayat ini Allah mengingatkan bahwa apa-apa yang telah diterima Rasulullah berupa pengajaran pada hakekatnya adalah nikmat.
        Allah memberikan kepastian bahwa apa yang diajarkan dan diterima Rasulullah dari Rabb-nya merupakan sesuatu yang haq, dan beliau bukanlah orang seperti apa yang mereka tuduhkan. Allah menjamin dengan pasti bahwa beliau adalah orang yang berada pada garis lurus kebenaran dan tidak sekalipun berada di garis yang menyimpang!!!
Maka terbayang oleh kita alangkah bodohnya manusia dengan segala pengetahuan pada sisi mereka ketika menyikapi suatu hakekat kebenaran. Ketika manusia dengan segala  pengetahuannya mencoba untuk menilai apa-apa yang telah diturunkan Allah.
Alhasil mereka menganggap apa yang hakekatnya benar, justru dianggap salah. Beginilah tradisi berfikir manusia, sebenarnya apa yang mereka sebut sebagai metodologi ilmiah, bukti empiris, logika, dan teori, yang telah menghasilkan ilmu pengetahuan dan teknologi, pada dasarnya sama sekali tidak bermanfaat untuk mencapai hakekat kebenaran, akibatnya justru kesalahan dan kesesatan yang terjadi.
Sebenarnya secara logika berpikir manusia, apabila begitu banyak orang yang menyebut bahwa seseorang itu gila, tetapi hanya satu pendapat saja yang menyatakan bahwa dia itu tidak gila, maka pendapat satu orang tersebut tidaklah dapat dipercayai. Namun bagaimana jika yang menyatakan itu adalah suara Wahyu..!!!
Maka tentulah pernyataan itu tidak perlu diragukan atau dipertanyakan lagi oleh kita.
Jadi tuduhan-tuduhan yang ditujukan kepada Rasulullah yang menyatakan bahwa beliau gila hanyalah semata-mata keterbatasan pengetahuan mereka yang tidak mampu untuk melihat hakekat kebenaran. Pemikiran inilah yang sempat ada dibenak Rasulullah ketika menjalankan perintah anzir tersebut. Padahal beliau sebenarnya telah mendapatkan nikmat dari Rabb-nya.
Bukankah kita manusia yang serba terbatas... yang seringkali kita menilai sesuatu dari akibat yang diterima karena suatu perbuatan dengan melupakan nikmat yang diperoleh. Seperti seorang petani yang berdoa memohon agar tanamannya tumbuh subur dan berbuah lebat dan ketika tanamannya telah tumbuh subur dan berbuah lebat ternyata harganya jatuh, dan ia pun merasa rugi padahal dia sudah menerima nikmat karena doanya terkabul. Karena buah yang lebat adalah nikmat, sedangkan harga yang jatuh adalah hal yang lain lagi. Beginilah kita sering lupa telah menerima nikmat. Jadi bisa direnungkan betapa terbatasnya pengetahuan manusia itu. Sehingga ayat inilah yang menjadi jawaban atas keraguan dan kegelisahan beliau bahwa... Allah telah membenarkan segala apa yang telah diperbuatnya. 

3. WA INNAKA LA AJRON GHOIRO MAMNUUN -DAN SESUNGGUHNYA BAGI KAMU BENAR-BENAR MENDAPAT BALASAN YANG TIDAK TER-ANGAN-KAN (TERPUTUS).
Demikianlah ayat ini menjelaskan bahwa apa yang beliau lakukan, semenjak turunnya wahyu yang dimulai dari surat al 'alaq, kemudian al muzammil hingga al mudatstsir bukanlah suatu perbuatan yang sia-sia. Sebab menurut sudut pandang manusia bahwasanya perbuatan yang tidak menghasilkan perolehan materi adalah sesuatu yang sia-sia. Sesungguhnya  apa yang telah dilakukan oleh Rasulullah seperti mengerjakan shalat malam, kemudian berdakwah merupakan sesuatu yang justru dinilai tinggi oleh Allah dan akan memperoleh balasan atau upah yang tinggi pula.
Allah menjanjikan sesuatu yang pasti kepada Rasulullah yaitu jaminan akan mendapatkan upah atau balasan yang tidak terbayangkan banyaknya, dikarenakan Rasulullah telah menjalankan perintah dari Rabb-nya dan bersabar atas segala hambatan dan tantangan yang muncul diakibatkan menjalankan perintah tersebut.Upah atau balasan yang dijanjikan Allah tersebut tidak selalu hanya berupa materi saja, tetapi dapat berupa nikmat yang tiada terputus-putus, tidak terbayangkan betapa banyaknya nikmat yang diterima itu, baik nikmat yang diberikan pada jiwa (perasaan bahagia, kesenangan atau ketentraman) dan raga (kesehatan), baik di dunia maupun di akhirat.
Tiada satupun yang dapat menandingi nikmat yang diberikan Allah, sebagai sesuatu yang dijanjikan dan Allah tidak akan mengingkari janjiNya.
    Hal ini telah dibuktikan, sebagaimana diriwayatkan bahwa bagaimana kehidupan Rasulullah dan para sahabat yang berjuang bersama beliau dijalan-Nya, didunia ini yang diliputi kebahagiaan dan kenikmatan. Walaupun Rasulullah hidup dalam kesederhanaan, dengan makan dan tidur dengan keadaan yang serba sederhana. Tetapi beliau berani memberikan apapun yang ada pada dirinya untuk menjalankan wahyu, dikarenakan keyakinan beliau bahwasanya semua itu akan diganti Allah. Tiada beda pula dengan apa yang dilakukan para sahabat.
Disamping itu pengertian upah diperluas tidak hanya diterima didunia tetapi diperluas sampai ke akhirat sebagaimana ditegaskan dalam QS.Yusuf ayat 57 : “Dan upah (pahala) akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang beriman, sedangkan mereka bertakwa” dan QS.An Nahl ayat 41 : “Dan sungguh upah (pahala) akhirat itu lebih besar, kalau mereka mengetahui”. Jadi bukankah janji Allah untuk memberi upah tersebut sebenarnya tiada pernah akan terputus, yang diperuntukkan bagi Rasulullah dan orang-orang yang mengikutinya. Jadi tidaklah perlu ada keraguan dalam menjalankan perintah-Nya seperti apa yang telah dicontohkan oleh Rasulullah. Itupun jikalau manusia mau berpikir lebih mendalam. Sungguh Allah tidak akan pernah mengingkari janji-Nya.

4. WA INNAKA LA'ALAA KHULUQIN 'ADZIIM -DAN SESUNGGUHNYA KAMU BENAR-BENAR BERAKHLAK YANG AGUNG.-
    Inilah pengakuan atau pujian Allah terhadap diri Rasulullah, bahwa beliau telah menjalankan segala apa yang diperintah Allah dengan benar dan sempurna. Tentulah yang dimaksud adalah sikap dan perbuatan yang beliau tunjukkan didalam menanggapi wahyu-wahyu yang turun sebelumnya. Yaitu bagaimana beliau merubah total cara berpikir dan pandangan hidupnya didalam menanggapi turunnya surat Al-Alaq. Sehingga tumbuh didalam dirinya kesiapan dan kemauan untuk menerima dan menjalankan ayat. Sebagaimana beliau melakukan shalat malam secara membabi buta tanpa memperdulikan ekses yang timbul dan berubah pula cara hidupnya. Terbukti dari dimulai dari malam yang seharusnya tidur justru beliau gunakan untuk shalat malam tanpa peduli sedikitpun apa yang akan terjadi pada keesokan harinya. Begitupula dengan jatuh bangunnya beliau didalam menjalankan perintah inzar dikarenakan turunnya surat Al-Mudatstsir dimana beliau menjalankan perintah tersebut dengan penuh kesabaran didalam menghadapi beratnya  cobaan di medan dakwah.
Inilah contoh nyata yang beliau tunjukkan dan diakui benarnya oleh Allah. Beginilah seharusnya seorang mahluk semestinya bersikap dan membina suatu hubungan kepada Khalik Penciptanya. Inilah akhlak yang agung itu! tidak hanya sebatas membangun hubungan baik antara sesama mahluk atau insan, baik kepada keluarga, orangtua, tetangga, maupun masyarakatnya. Justru Yang terpenting  hubungan antara dirinya sebagai mahluk dengan khaliknya yang mesti tegak terlebih dahulu, karena akhlak kepada mahluk itu hanya merupakan cerminan dari akhlak kepada khaliknya. Beginilah akhlak itu semestinya dipahami, tidak sebatas nilai-nilai moral, etika atau budi pekerti yang terlepas dari nilai-nilai yang telah ditetapkan oleh Rabb pencipta seluruh manusia.
Jadi dapat kita tarik kesimpulan bahwa apa yang beliau lakukan itu telah benar. Tidak ada yang perlu dirubah dengan membuat strategi, kiat, siasat atau teori sebagai konsep-konsep dari diri sendiri didalam menanggapi dan menyelesaikan masalah yang timbul sebagai akibat menjalankan wahyu. Nampak terjadi peperangan didalam jiwa Rasulullah, disatu sisi beliau telah menjalankan perintah Rabbnya. Sedangkan disisi lain timbulnya tanggapan dari masyarakat yang begitu keras akan dakwah beliau.
Tetapi karena Rabbnya telah meyakinkan bahwa yang telah dilakukan beliau telah sesuai dengan petunjukNya, bahwa pikiran ataupun tindakan merekalah yang salah. Maka timbullah kembali kepercayaan diri beliau untuk terus berbuat sesuai apa yang diperintahkan-Nya yaitu dengan hanya menunggu instruksi melalui wahyu yang datang selanjutnya.
Sebagaimana diriwayatkan ketika Aisyah ditanya tentang akhlak Rasulullah, jawabnya adalah akhlak beliau adalah Al-Qur'an.
Sebab Aisyah hanya melihat bahwasanya apa yang ada dalam diri Rasulullah segala ide, cara berpikir, tata nilai, tingkah laku yang dikerjakan Rasulullah hanya dipengaruhi oleh wahyu. Beliau sedikitpun tidak dipengaruhi atau mengambil dari nilai-nilai tradisi lingkungan Arabnya. Seseorang itu tidak akan mencapai akhlak yang sebenarnya kecuali segala sisi kehidupannya dipengaruhi dan dibentuk oleh al Quran saja.
Jadi hal ini menegaskan bahwa tidak ada yang dapat membentuk akhlak yang agung kecuali Al-Qur'an. Walaupun sebelum turunnya wahyu Muhammad telah diakui mempunyai kemuliaan akhlak menurut penilaian manusia, tetapi bukan itu yang dimaksud dengan akhlak yang agung. Beliau dianggap sebagai orang yang “dholam” yang artinya tak bernilai (QS. Adh-Dhuha:7) sebelum turunnya wahyu.     

[5] FASATUBSHIRU WA YUBSHIRUUN, [6] BIAYYIKUMUL MAFTUUN -MAKA KAMU AKAN MELIHAT DAN MEREKA PUN AKAN MELIHAT, SIAPA DI ANTARA KAMU YANG GILA -
    Maftuun adalah Gila karena Fitnahan atau tuduhan, sedangkan Beliau merasa tidak melihat ciri-ciri Gila pada dirinya.
Dan Kaum Musyrikin dengan melontarkan tuduhan terbut bermaksud agar membuat masyarakat menjauh dan tidak mempedulikan apapun yang berasal dari Muhammad. Kondisi terfitnah seperti inilah yang dirasakan Rasulullah saat itu.
Maka pada ayat ini Allah menyuruh nabi untuk melihat bukti yang akan terjadi, siapakah sebenarnya yang akan merasakan akibat dari fitnahan tersebut, dimana orang-orang kafir akan termakan oleh strategi dan rencana-rencana mereka sendiri. Sehingga dari ayat ini seakan-akan menertawakan segala macam strategi yang telah mereka buat tersebut sebagai bentuk perbuatan yang bertentangan dengan kenyataan yang ada.
Tentulah, dalam hal ini posisi Nabi adalah hanya menjadi orang yang menunggu dan menyerahkan masalah ini pada wahyu selanjutnya yang akan digunakannya sebagai petunjuk. Tanpa perlu membuat strategi dan siasat yang berasal dari diri ini sendiri. Sebab, Allah telah berjanji dan sudah punya rencana dan strategi sendiri yang akan mengarahkan beliau dalam menghadapi segala masalah yang timbul.
    Sehingga amatlah tidak perlu mencari cara sendiri dalam menghadapi benturan dari kaum Musyrikin Mekkah karena rencana Allah sudah pasti bahwa agamaNya pasti wujud di muka bumi. Dan tentunya bagi kita yang hidup sekarang ini dapat melihat bukti kebenaran dari pada ayat ini di mana kita pun telah mengetahui apa yang kemudian terjadi pada diri nabi dan apa pula yang terjadi pada orang-orang yang menentang dakwah beliau.
Maka tergambarlah oleh kita bagaimana beliau telah dididik dan diarahkan untuk hanya berpetunjuk pada ayat saja tanpa yang lainnya. Dan beginilah cara beliau beriman terhadap al-Quran.
7) INNA ROBBAKA HUWA A'LAMU BIMAN DHOLLA 'AN SABIILIIH, WAHUWA A'LAMU BIL MUHTADIIN -SESUNGGUHNYA RABB KAMU, DIA-LAH YANG LEBIH MENGETAHUI SIAPA YANG SESAT DARI JALAN-NYA; DAN DIA-LAH YANG LEBIH MENGETAHUI ORANG-ORANG YANG BERPETUNJUK.
   Ukuran yang menyatakan bahwa seseorang itu sesat ataukah berpetunjuk adalah berasal dari Allah, bukan dari penilaian manusia. Berarti Allah juga yang akan mengajarkan atau memberi tahu bagaimana ciri-ciri orang yang sesat dan berpetunjuk. Jadi demikianlah Allah menegaskan kepada Rasulullah yang mencoba membawa manusia kearah petunjuk.
Bahwa di medan dakwah akan banyak ditemui hambatan, rintangan dan perlawanan yang juga mengatasnamakan kebenaran, yang mungkin akan menggoyahkan keyakinan. Jadi mestilah diyakinkan terlebih dahulu apakah dirinya telah berada dijalan Rabb, dasar berbuat adalah ayat, dan yang disampaikan juga haruslah ayat yang telah diturunkan Rabb.
Dan dalam hal ini hendaklah kita mengetahui bahwasanya janganlah menjadi merasa dipusingkan atas hambatan, rintangan dan masalah yang dihadapi didalam berdakwah. Allah punya rencana dan Allah pasti tahu segala reaksi yang akan timbul. Allah-lah yang lebih tahu. Tugas kita hanya menyampaikannya.
Inilah wahyu keempat yang turun kepada Nabi, berisi pengarahan-pengarahan Allah kepada Rasul berkenaan dengan masalah-masalah yang timbul sebagai akibat beliau melakukan indzar dikarenakan  menjalankan perintah surat al-Mudatsir. Dimulai dengan persumpahan yang membandingkan apa yang berasal dari Allah dan apa yang dibuat oleh manusia. Perbandingan yang demikian kontras, dimana ilmu Allah diperbandingkan dengan ilmu manusia. Sehingga dengan cara ini Rasulullah kembali sadar dengan hakekat persoalan yang sedang terjadi. Beliau yang sebelumnya menjadi goyah oleh penilaian manusia yang menyatakan dirinya gila, mulai dapat menghayati mengapa mereka menilai demikian.. hal ini tidak lain dikarenakan begitu dangkalnya pengetahuan yang dimiliki manusia. Sehingga beliau mulai dapat merasakan bahwasanya dirinya sesungguhnya adalah orang yang telah menerima nikmat.
Ketika manusia menilai beliau memiliki akhlak yang buruk dikarenakan berani melawan tradisi dan agama para leluhur, tetapi lain dengan  Allah yang  justru menilai bahwasanya apa yang telah beliau lakukan didalam rangka membenarkan ayat melalui wahyu-wahyu yang sebelumnya walaupun harus berbenturan dengan siapapun justru merupakan sikap dan tindakan yang benar yang ditunjukkan seorang makhluk  kepada khalik penciptanya dengan menyebutnya sebagai manusia yang berakhlak agung.  Dengan demikian tidak ada yang perlu dirubah lagi dari cara beliau menjalankan wahyu. Semuanya itu sudah benar, tak perlu ada strategi, tak perlu ada siasat dan tak perlu ada inovasi dalam konsep berbuat. Demikianlah pesan-pesan penting dalam surat al-Qalam memberikan kepada beliau arahan-arahan yang jelas bagaimana beliau memandang dan menyelesaikan masalah-masalah yang timbul dan mengembalikan kembali kesadaran beliau sebagai orang yang menerima pengajaran dari Rabbnya.
Inilah bukti bagaimana beliau telah mencontohkan kepada kita bagaimana semestinya beriman dan membenarkan ayat. Dengan demikian inilah yang dapat kita ambil sebagai pelajaran didalam mempelajari kelompok-kelompok ayat yang turun mengawali isi al-Quran.Maka kemana lagi kita akan bercermin tentang akhlak kita? MENJADI “YANG SESAT” dengan berpegang pada yang digariskan manusia (mastur) atau MENJADI “YANG BERPETUNJUK” dengan berpegang pada yang digariskan Allah (Al Qolam/Al Quran) ADALAH SEBUAH PILIHAN. Bukankah Allah telah memberikan jaminan kepada setiap jiwa yang memilih untuk berpegang teguh pada petunjuk, berupa balasan yang tiada pernah putus dan datangnya masa yang akan membuktikan semua kebenaran petunjukNya.
Lalu masihkah kita berpikir tentang pilihan yang sudah jelas balasannya dihadapan Allah tersebut? Bukankah memilih menjadi yang berpetunjuk adalah sebuah keniscayaan bagi setiap jiwa yang bersyukur atas datangnya nikmat? Sungguh, Allah Maha Mengetahui siapa yang sesat dan siapa yang berpetunjuk.