Translate

Rabu, 23 Maret 2011

Selimut Kebodohan


Sebagaimana yang telah diketahui metoda Allah swt di dalam menurunkan AlQuran adalah secara berangsur-angsur, setahap demi setahap, sekelompok demi sekelompok ayat. Tidak turun secara acak, sembarangan atau kebetulan belaka, tetapi terencana  dengan penuh perhitungan. “Sesungguhnya Kami sengaja menurunkan AlQuran padamu  dengan suatu metoda (berangsur-angsur)...” Qs. Al-Insan (76):23.

Mengapa tidak diturunkan dalam satu kitab saja sekaligus? Kemudian Rasul dan para sahabat dapat mempelajarinya dan menyimpulkannya untuk selanjutnya membuat teori mengenai bagaimana menjalankan isi AlQuran. Tidak!...karena Allah swt yang Maha Tahu yang telah menciptakan manusia, tahu persis watak dan karakter jiwa manusia serta bagaimana cara mendidik dan memantapkan AlQuran ke dalam jiwa manusia.
Seperti telah dijelaskan dalam surat al-Furqon ayat  32: “Berkatalah orang-orang yang kafir: "Mengapa Al Quran itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?"; demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacakannya secara tartil (teratur dan benar).
Allah swt menjelaskan bahwa secara keseluruhan al Quran itu haruslah diterima dan diimani. Setiap ayatnya haruslah dijadikan petunjuk tidak ada yang boleh diingkari. Akan tetapi watak manusia itu selalu cenderung menolak dan hanya memilih-milih yang sesuai dengan keinginannya.
Sehingga mestilah terbukti terlebih dahulu manusia itu betul-betul menyerah dan menjadi mantap pada setiap ayat yang datang kepadanya. Itulah sebabnya kenapa al Quran diturunkan secara berangsur-angsur agar terbukti bahwa secara keseluruhan manusia itu beriman terhadap keseluruhan isi al Quran.
Pada dasarnya jiwa manusia tidak akan mampu menerima sekaligus isi AlQuran karena akan bertentangan dengan kondisi kejiwaan dan kemampuan berpikirnya.

Sehingga apabila diturunkan al Quran secara keseluruhan, manusia akan mengimaninya dengan cara yang salah. Karena manusia akan cenderung berasumsi terlebih dahulu dan mencoba berteori tentang pengertian-pengertian yang ada dalam al Quran. Pada akhirnya mereka akan menyimpulkan tanpa pernah berpengalaman dalam menjalankannya. Padahal pengertian dan pemahaman di dalam al Quran itu dibangun secara bertahap, dipahami dari pengalaman menjalankan ayat.

Seperti telah diketahui pula kelompok ayat yang pertama kali turun adalah lima ayat di awal surat al-Alaq, kemudian disusul tujuh ayat yang mengawali surat al-Muzammil, kemudian diikuti tujuh ayat pada permulaan surat al-Mudatstsir, kemudian tujuh ayat pada awal surat al-Qolam dan seterusnya. Apabila kita pelajari secara lebih mendalam dari empat kelompok ayat yang turun mengawali seluruh isi AlQuran, maka tampak dengan jelas bagaimana metoda Allah mendidik Rasulullah dan para sahabat didalam menyiapkan diri mereka untuk selalu mau dan mampu menyerahkan seluruh kehidupannya untuk sepenuhnya dikendalikan oleh wahyu. Dengan demikian semakin jelaslah oleh kita bahwa diturunkannya AlQuran setahap demi setahap menjadi bukti bahwa Rasulullah sedikitpun tidak ikut serta,  baik apakah dalam bentuk merencanakan, menteorikan, menyimpulkan, ataupun mengkonseptualkan bentuk perjuangan membangun agama ini. Beliau tidak pernah punya target yang berasal dari dirinya sendiri, semuanya semata-mata ditentukan oleh ayat yang turun kepada beliau.

Setiap kelompok ayat selalu memiliki target tertentu sebagai sebuah tahapan di dalam mempersiapkan jiwa, mental dan pemikiran untuk dapat menerima dan memahami serta memiliki kesanggupan untuk menjalankan wahyu selanjutnya. Sekaligus menumbuhkan kesadaran sebagai insan yang selalu butuh dengan petunjuk Rabbnya. Sehingga seolah-olah tidak akan diturunkan surat al-Muzammil sebelum target dari surat al-Alaq tercapai. Yakni sebelum seseorang menjadi mantap dan telah berubah pola fikirnya, berubah pandangannya tentang dirinya sebagai insan dan pemahaman terhadap Rabbnya. Yakni dengan kesadaran bahwa dirinya dengan sengaja diciptakan oleh Rabbnya untuk sebuah rencana yang pasti dan menyadari dirinya sedang disiapkan untuk rencana tersebut.
Bahwa Rabb pencipta dirinya akan selalu mempedulikannya sebagai Rabb yang sayang kepada dirinya dan berjanji akan mendidik dan mengajari apa yang tidak diketahuinya di dalam menjalankan kehidupan yang sesuai dengan rencana Rabbnya melalui wahyu. Akibatnya dia menjadi orang yang selalu menunggu-nunggu wahyu dan memiliki kesiapan di dalam menerima dan menjalankan isi surat al-Muzammil.

Begitu pula surat al-Mudatstsir seolah-olah tidak akan turun sebelum Rasulullah dan para sahabat menjalankan perintah dalam surat al-Muzammil ini, sehingga mereka memiliki kesiapan yang tinggi, kemampuan dan kemauan untuk menjalankan perintah-perintah yang ada di dalam surat al-Mudatstsir.
Setelah turunnya surat al-Alaq Beliau pun memposisikan dirinya sebagai orang yang menunggu-nunggu wahyu selanjutnya sebagai pelajaran yang dijanjikan. Tentu saja dapat kita bayangkan bagaimana seseorang yang merasa mendapat janji, menunggu datangnya janji sedangkan janji yang datang padanya itu hanya berupa garis besar. Apa perinciannya itu? Belum tahu. Sebagaimana telah dikisahkan di dalam hadits; Muhammad  menjadi bingung dan termenung-menung dengan bermacam-macam perasaan dan pemikiran yang datang pada dirinya, sehingga timbullah dalam diri Muhammad rasa cemas, takut disamping dirinya memang sudah terpengaruh oleh wahyu pertama. Yang berakibat tidak mau lagi melakukan hal-hal yang didektekan lingkungannya kepadanya. Berubah sama sekali. Dia menjadi tidak lagi percaya dengan pengetahuannya sendiri atau pengetahuan manusia yang lain, karena pemahaman tentang insan telah berubah. Dia jadi tidak mau bergaul. Kerjanya hanya tidur dan menunggu wahyu yang berikutnya, berselimut, ketakutan, kecemasan, tidak tahu apa yang bakal terjadi. 

Apabila kita pertajam kejadiannya, siapa yang menyuruh dia hanya tidur, berselimut, tidak melakukan pekerjaan-pekerjaan sebagaimana mestinya, yang jelas bukan wahyu tetapi atas inisiatifnya sendiri sebagai orang yang menunggu pengajaran, pelajaran dari Rabb. Dan menimbulkan tanda tanya dari orang-orang di sekitarnya, bahkan dinilai telah mengalami gangguan kejiwaan oleh kaumnya. Sehingga untuk memastikan apa yang terjadi pada beliau, Khadijah istrinya membawa beliau kepada sepupunya yaitu Waraqah.
Dalam melihat hal ini yang paling penting bagi kita bukanlah bentuk perubahan yang terjadi namun secara pasti telah terjadi perubahan pada diri beliau akibat turunnya wahyu pertama.  Maka turunlah surat al-Muzammil adalah wahyu berikutnya sebagai pelajaran pertama:

Yaa Ayyuhal muzammil. Qumil laila qoliila. Nisfahu awinqush minhu qoliila. Auzid ‘alaihi warottilil qur-aana tartilaa. Inna sanulqi ‘alaika qoulan tsaqiila. Inna nasyiatal lail hiya asyaddu wath’an wa aqwamu qiila. Innalaka finnahaari sabhan thowillaa.

 1. Wahai orang yang berselimut. 2. Bangun! –shalatlah– diwaktu malam, kecuali sedikit. 3. Setengah malam atau kurangilah dari setengah malam itu sedikit. 4. atau tambahkanlah setengah malam itu dan bacalah Quran dengan tartil. 5. Sesungguhnya akan kami turunkan kepadamu perkataan yang berat. 6. Sesungguhnya  tumbuh berkembang –mengerjakan shalat– diwaktu malam, hanya dia –yang mempunyai– persiapan yang sangat kuat dan mantap perkataannya. 7. Sesungguhnya bagi kamu pada siang hari pekerjaan yang sangat menyibukkan. Qs. Al-Muzammil (73) ayat 1-7)

Adalah menjadi kebiasaan di dalam AlQuran Apabila Allah hendak mengajar kepada seseorang, maka diawali dengan sesuatu yang menarik perhatian apakah dengan sumpah atau hal-hal lain sehingga orang itu menjadi tersentak dan mau serius memperhatikannya. Seperti itulah metoda Allah dalam menurunkan pelajaranNya kepada kita. Pada surat al-Alaq Allah menurunkan malaikat Jibril dan berkata Iqra' (bacalah), sehingga Muhammad kaget dan langsung sadar dengan kondisi yang ada pada dirinya dan berkata ”ma ana biqori” (aku tidak dapat membaca). Begitu  pula dengan pengawalan surat al-Muzammil ini, Allah mengatakan dengan sebuah sentuhan yang menyentakkan:
“Wahai orang yang berselimut!” (1)
            Sebuah panggilan langsung yang menunjukkan akan jati diri seseorang dalam bentuk ungkapan yang menyentakkan perasaan kepada seseorang yang sedang dipanggilNya. “Wahai orang yang berselimut!” sebuah gambaran tentang seseorang yang sedang diselubungi oleh sesuatu untuk menyembunyikan dirinya atau menyerahkan dirinya kepada selimut sebagai upaya untuk menghindar atau melindungi diri dari pengaruh luar yang datang kepada dirinya. Apabila seseorang tidak dipanggil dengan namanya, maka dipanggilah dia dengan apa yang melekat pada dirinya. Bila dia berambut ikal, maka dipanggilah “hai yang berambut ikal!”, kalau sedang memakai baju warna merah, maka dipanggilah “hai yang berbaju merah!”.
Terkejut! Itulah yang dirasakan oleh Muhammad saw, sadar dengan kondisi yang ada pada dirinya. Pastilah diri ini sedang berselimut, kalau tidak pastilah bingung mengapa dipanggil dengan sebutan yang demikian. Apapun yang ada padanya, fikiran, jiwa, tubuh dan segala sesuatu tentang dirinya sedang terselimuti, tertutup dan terhalang oleh sebuah selubung. 

Mungkin selubung itu adalah selimut kebodohan, mungkin selimut kemalasan, mungkin selimut keangkuhan, mungkin selimut kesombongan atau memang dalam keadaan tidur? Panggilan yang demikian membuatnya menjadi sadar tentang dirinya saat itu dan tentang apa yang akan dilakukannya. Apabila dirinya dalam keadaan berselimut (berselubung) seperti itu atau dalam keadaan tidur,  maka akan menjadi sulit pelajaran yang akan diajarkan kepadanya. Karena orang yang tidur tidak mungkin dapat diajari. Bisa saja selubung itu akan menghalangi pelajaran yang datang kepadanya atau justru selimut itu digunakan untuk bersembunyi dari wahyu yang akan datang kepadanya. 

            Apa yang dirasakan oleh Muhammad saw ini seharusnya terjadi pula pada diri kita. Maka kenalilah dahulu diri kita, mungkin kita adalah orang yang selama ini masih diselubungi oleh selimut  tersebut. Sehingga selimut itu menjadi penghalang bagi diri kita, untuk mampu menerima dan memahami setiap wahyu yang datang kepada kita.

Bahkan mungkin akan kita jadikan pelindung terhadap ayat yang datang kepada kita. Selimut itu dengan  yakinnya sering dijadikan sebagai sebuah ketetapan dalam bentuk “demi intelektualisme, demi kebenaran ilmiah, demi universalisme, demi idealisme, demi ego dan kepentingan pribadi bahkan demi agama sekalipun”. Itulah berbagai alasan sebagai bentuk kebodohan yang menyelubungi diri seseorang ketika menghadapi wahyu yang berasal dari Yang Maha Tahu dan Maha Berkuasa atas segala sesuatu.
Selimut dimana kita berlindung itulah tabir penghalang  untuk mampu menjalankan ketentuan Allah. Intinya adalah kita menjadi orang-orang yang menolak ayat sepenuhnya. Tidak dapat menerima wahyu secara utuh sebagaimana pelajaran itu turun dan datang kepada kita.  Apabila ternyata kita tidak menyadari hal tersebut alangkah sombongnya diri ini, betapa naifnya, begitu besar keangkuhan yang melekat. Sehingga pelajaran atau panggilan Rabb yang Maha Pemurah, Maha Mengetahui pencipta diri kita sendiri tidak diindahkan. Muhammad saw sadar betul kondisi dirinya dan kitapun harusnya juga sadar betul akan kondisi itu bahwa ada selimut yang melekat pada diri ini. Allah pun memerintahkan:
“Bangun! –shalatlah- di waktu malam...”(2)
            Inilah perintah yang mesti dilakukan sebagai cara untuk mencampakkan selimut itu, menjadi insan yang siap bangun dan bangkit. Satu hal keunikan dalam AlQuran dan penafsirannya. Kata “Qum” adalah bentuk kata-kata dalam bahasa Arab yang sudah sangat dikenal pada waktu itu. Yaitu berdiri tegak, berdiri kokoh, bangun atau bangkit dari seseorang yang tidur kemudian terjaga, dari keadaan duduk kemudian berdiri, dari kemalasan kemudian beraktifitas bekerja.
Apabila penafsiran AlQuran diserahkan kepada setiap diri yang menerima perintah ini, maka akan menjadi kacau pelaksanaannya. Kata “Qum” banyak dipahami orang dengan bangun terjaga dari tidur kemudian duduk diam menahan rasa kantuk atau duduk dan bercanda di warung kopi (begadang).
Namun Allah sudah mempersiapkan seseorang yang memang mau dan tahu kehendakNya untuk dapat menafsirkan, memahami dan melaksanakan kata-kata yang diajarkan Allah. Kata “Qum” dipahami oleh Muhammad saw sebagai pelaksanaan shalat dan dikerjakan di waktu malam hari. Sungguhpun shalat yang dikerjakan pada saat itu belum seperti shalat yang disempurnakan kemudian. Bilangan rakaatnya-pun tidak dijelaskan berapa rakaat dia kerjakan. Muhammad saw dikala itu benar-benar membabi buta dalam pelaksanaannya sebagai upaya semata-mata untuk mampu membongkar selimut yang ada pada dirinya, sehingga tidak dipanggil lagi dengan sebutan orang yang berselimut.

Kata “Qum” yang berarti shalat pada ayat-ayat  selanjutnya yang turun akan berkembang menjadi kalimat "Aqimus shalah” ialah mendirikan shalat, menegakkan shalat atau mengokohkan sesuatu dalam segala hal tentang shalat yang disandarkan pada perbuatan karena perintah Allah untuk dapat menilai perbuatan-perbuatan yang lainnya. Shalat malam adalah perintah pertama kali untuk melaksanakan shalat. Prinsip shalat malam ini tidak pernah berubah walaupun sudah datang perintah shalat lima waktu atau shalat-shalat sunnah lainnya. Yaitu sebagai metoda Allah untuk membongkar selimut yang melekat pada diri kita sebagai upaya untuk mampu menjalankan isi di dalam AlQuran.
“...kecuali sedikit” (2)  
Apa yang dimaksud ayat ini? sebuah perintah yang sulit diterima oleh logika berfikir kita. Bahwa yang dimaksud 'sesuatu yang tidak sedikit' itu berarti dari malam yang panjang itu sebagian besar waktu yang digunakan adalah untuk shalat, sedangkan tidurnya hanyalah sedikit. Sungguh sangat ditolak oleh logika dan badani kita dalam konsep lingkungan hidup kita. Akan tetapi, apakah Muhammad saw kemudian tidak mengerjakannya? Tidak, justru Muhammad saw melakukannya dengan membabi buta. Satu hal lagi yang perlu kita ketahui akibat dari perintah ini, apakah beliau tidak menyadari bahwa cara hidupnya akan berubah, sekiranya perintah ini beliau jalankan? Malamnya yang seharusnya tidur ia jadikan shalat, tak peduli dengan keesokan harinya. Suatu perubahan frontal dalam mengatur ulang waktunya dari mengurangi jatah tidur di waktu malam hari demi menjalankan perintah ini. Tak peduli lagi esok pagi hingga siangnya sebagai rutinitas kesehariannya dalam mencari materi.
Semua telah berubah, semua telah menjadi fokus, dan semua telah membabi buta demi “Qum” di malam hari. Meskipun sebahagian orang kebanyakan ayat ini dipahami oleh kita bahwasanya yang  di maksud “Qum” dan “sesuatu yang tidak sedikit” itu adalah mengerjakan rakaatnya yang sedikit di waktu malam lantaran ketidakharusan melaksanakan shalat malam. Bukanlah demikian! Tetapi sedikit kita tidur dan lebih banyak kita shalat. Inilah wahyu! Sebagai gaya pola fikir Rabb yang berbeda dengan pola fikir manusia. Inilah metoda Al Quran di dalam menyerabut sisa pemikiran manusia sebelumnya sampai akar-akarnya setelah sebelumnya dibongkar habis oleh surat al-Alaq. Kemudian di tata ulang lagi dengan cara dibenturkan oleh perintah ayat. Demikianlah cara berfikir yang dikehendaki Allah swt yaitu selalu membenarkan dan memenangkan ayat.
Seolah ada rahasia malam yang jika tersingkap dari gelap yang menyapa sunyi dimana sebahagian manusia terlepas dari semua kebisingan dan aktivitasnya. Allah menyibakkan malam ini seolah sebagai waktu yang tepat untuk mendidik manusia dan mengokohkannya. Sebuah perhitungan diluar nalar kita yang secara matematis waktu selama enam sampai delapan jam adalah waktu yang cukup baik guna mengistirahatkan tubuh kita dengan tidur, dengan harapan seluruh energi dapat kembali lagi untuk beraktivitas esok hari dan dari segi kesehatan sangatlah baik.

Sekali lagi tidak bagi Allah justru di malam harilah Allah menetapkan malam yang tepat untuk memberikan pelajarannya. Analisis perhitungan manusia dengan dalil apapun berdasarkan riset ilmiah, demi ilmu teknologi dan pengetahuan atau demi kesehatan sekalipun dibatalkan oleh wahyu yang menyuruh lebih banyak shalat dari pada tidur diwaktu malam hari. Rabb lebih tahu dan paham betul tentang manusia sebab Dialah penciptanya, tidak mungkin menyuruh sesuatu sedangkan yang disuruh tidak mampu untuk melaksanakannya. Seolah Rabb hanya ingin tahu seberapa besar keinginan dan kesiapan insan ciptaannya itu untuk mau melaksanakan perintah dan pelajaran Rabb ini.
            Terbukti pada Muhammad saw dan para sahabatnya adalah orang-orang yang terbina dengan shalatnya. Mereka adalah umat yang bermula, umat yang hebat dalam menjalankan perintah Rabb ini tanpa mempertanyakan baik pada Nabinya atau pada dirinya sendiri tentang kesanggupan menjalankan perintah shalat malam. Mereka ikuti Muhammad saw seperti membabi butanya dalam pelaksanaan perintah ini tanpa memperdulikan apa yang menjadi kepentingan diri mereka sendiri. Hingga  datang akhirnya perintah pada ayat ke 20 pada surat al-Muzammil suatu perintah yang memberi keringanan dalam pelaksanaan shalat malam dan memperhatikan keadaan diri mereka baik kesehatannya, masa bekerja dan perjuangannya di jalan Allah pada siang harinya.
“Setengah malam atau kurangilah dari setengah malam itu sedikit. Atau tambahkanlah dari setengah malam itu...” (3-4)
             Sebuah ketidakjelasan akan waktu shalat malam yang harus dikerjakan. Namun tetap saja dikerjakan oleh Rasulullah dan para sahabat dengan membabi buta tanpa mempedulikan seabrek aktifitas esok harinya. Walaupun mereka sendiri bingung atas isi perintah tersebut. Tetapi ini adalah wahyu dan ini adalah perintah.  Dan Allah pun tahu bahwa manusia akan bingung dengan perintah itu (QS 73:20) “Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwasanya kamu berdiri (sembahyang) kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari orang-orang yang bersama kamu. dan Allah menetapkan ukuran malam dan siang. Allah mengetahui bahwa kamu sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas waktu-waktu itu...”.
Justru bagi Allah disinilah nilai perintah yang dikerjakan di atas kebingungan mereka. Dengan waktu yang tidak ditentukan secara pasti apakah itu setengah malam, sepertiga malam, ataupun tiga perempat malam menjadi suatu hal yang membingungkan, semua pada batas kira-kira. Seolah-olah yang dituju dalam perintah ini yang terpenting adalah setengah malam dan mengenai batas waktunya diserahkan kepada perkiraan saja. Sekali lagi Allah swt membenturkan akal fikiran kita ini dengan wahyu. Sebagaimana kita ketahui  pola kebiasaan manusia yang selama ini di dalam melangkah dan berbuat selalu menelaah terlebih dahulu dengan akal fikirannya.

Begitu wahyu datang dan menghantam tradisi berpikir maka menjadi kacau-balau konsep berfikir manusia itu. Inilah metoda Allah swt dalam mendidik, seolah-olah Allah swt menunjukkan bahwa betapa tidak pentingnya logika manusia itu dalam mencapai kebenaran. Suatu pengajaran Allah swt yang menuntut manusia untuk sepenuhnya menyerah dan membuang ketidakberartian pemikirannya sepenuhnya untuk tunduk dengan membenarkan ayat.
Hal tersebut memang sangat sulit  dipahami oleh diri apabila kita tidak mengerti apa maksud dari wahyu Allah swt yang turun sebelumnya yaitu al-Alaq ayat ke tiga: “Bacalah dengan nama Rabb-mu Yang Maha Pemurah” dan ayat ke lima: “Yang mengajari insan itu apa-apa yang tidak (bisa) dia ketahui”. Inilah bentuk kepastian dari Rabb yang membimbing kita jauh lebih tahu dan mempunyai maksud/tujuan melebihi apa yang manusia fikirkan. Jelaslah pada ayat ini bahwasanya mengerjakan shalat malam itu dikerjakan selama kira-kira setengah malam dan hal itulah yang penting.
Terbayang selama tiga sampai empat jam pelaksanaannya dan selama itu Muhammad saw beserta para sahabatnya terbukti berhasil melaksanakannya, dan menurut riwayat hadits cara shalat malam seperti ini dilakukan kurang lebih selama satu tahun. Sungguh menjadi malam-malam yang berat dan nyaris mata tak terpejam padahal keesokan harinya sudah terbayang banyaknya aktifitas yang dengannya mungkin kita akan mengalami kepayahan dan menurunnya stamina yang tak dipungkiri berimbas pada menurun pula pendapatan pada hari itu. Sebuah resiko yang harus siap diambil, sebuah waktu yang siap dikorbankan, sebuah energi yang harus siap ditukar dan semua itu ternyata telah berhasil dibuktikan oleh Muhammad saw beserta para sahabatnya tanpa perhitungan.
Mereka harus mau dan mampu untuk berubah dan berbeda dari kebiasaan di lingkungannya. Mereka menjadi mau kehidupannya diatur oleh Rabbnya. Mereka harus menanggalkan untuk tidak peduli akan kepentingan dirinya.  Tidak peduli 'apa kata orang', tidak peduli 'apa kata keluarganya' dan benar-benar tidak peduli 'apa kata dunia'.  Itulah yang disebut dengan kesungguhan dalam beriman, ketundukan mutlak pada diri kita atas semua perintah dari Rabb. 
Bagaimana dengan diri kita, apakah kita telah sanggup melakukan itu? Atau masih pada batas awang-awang belaka dan untuk melangkah terasa berat dan melihat kanan-kiri. Bukankah bukti telah terjadi pada Rasulullah dan sahabatnya?  Mengapa mereka sanggup melakukan semua itu, sedangkan kita tidak? Karena apa yang ada dalam diri mereka itulah yang tidak kita miliki.  Yang demikian itu mampu mereka lakukan tersebabkan kefahaman yang begitu dalam dan telah menancap kuat dalam jiwa mereka akan isi wahyu sebelumnya (al-Alaq). 

Terasalah betapa besarnya pengaruh surat al-Alaq sebagai permulaan Allah dalam mempondasi jiwa-jiwa manusia ciptaanNya yang cenderung rapuh dan rentan.  Bersyukurlah wahyu pertama adalah suatu nikmat yang teramat besar yang menjadikan sebuah kekuatan mutlak pada keimanan seseorang.
“...dan bacalah Quran dengan tartil” (4)
            Inilah isi di dalam shalat itu, membaca Quran dengan tartil. Bacaan atau Quran yang mana? Yang jelas pada saat itu hanya al-Alaq dan surat inilah yang menjadi bacaan dia, pelajaran yang diajarkan Allah melalui wahyuNya dengan mengurutkannya (membaca) sebagai sesuatu yang berurutan, satu demi satu, kata demi kata, ayat demi ayat dan perlahan-lahan, berulang-ulang dia lakukan untuk menghabiskan waktu malam yang panjang itu karena pasti ada sesuatu yang harus dipahami dan dimengerti dari isinya. Inilah metoda Allah didalam menajamkan dan mengokohkan surat al-Alaq, surat al-Muzammil dan surat-surat yang berikutnya ke dalam jiwa beliau dengan dibaca berulang perlahan dan berulang sambil membayangkan isi.
Maka isi ayat-ayat tersebut akan menjadi tajam pengertiannya dan menghunjam dengan kuatnya ke dalam jiwa. Beginilah cara Al Quran masuk ke dalam diri seseorang. Dengan demikian perintah untuk bangun di waktu malam hanya ada dua yaitu shalat dan mentartil Quran.
“Sesungguhnya akan kami turunkan kepadamu perkataan yang berat” (5)
            Inilah penegasan dari Allah, mengapa harus shalat malam dan mentartil Quran tiada lain dalam rangka menyiapkan diri mereka karena setelah ini turun perintah yang berat. Akan ada beban diletakkan pada pundak Muhammad saw yang harus dipikul ”perintah yang berat”, tugas berat yang akan diemban, berat masalahnya, berat pelaksanaannya, berat pula diperasaan. Kalau Allah sudah mengatakan berat berarti benar-benar berat, tetapi apabila tidak berarti ringan. Sebuah persoalan yang disebutkan selanjutnya sangat membutuhkan kesiapan yang tinggi untuk mengangkatnya (perjuangan). Maka dibutuhkan kesadaran bahwa yang dihadapinya adalah sesuatu yang berat sehingga harus ada persiapan yang cukup untuk dapat melaksanakan tugas berat itu.
            Beberapa mufassirin menyatakan bahwa perkataan/tugas yang berat itu adalah isi keseluruhan kitab Allah yaitu AlQuran yang merupakan ketentuan Allah kepada manusia. Tetapi garis besarnya perkataan/tugas yang berat itu adalah turunnya surat al-Mudatstsir, surat dimana Muhammad saw diperintahkan untuk berandzir, memberikan pelajaran/peringatan Rabb yang menciptakan manusia kepada orang-orang di lingkungannya. Inilah motivasi selanjutnya dalam melaksanakan shalat di malam hari, merasakan adanya sebuah ketakutan pada dirinya, yaitu ketidakmampuan menerima dan melaksanakan tugas berat yang turun selanjutnya atau semua isi di dalam AlQuran jika tidak menjalankan shalat malam.

“Sesungguhnya tumbuh berkembang –mengerjakan shalat– diwaktu malam, hanya dia –yang mempunyai– persiapan yang sangat kuat dan mantap perkataannya.” (6)
            Kata 'nasyiah' yang berarti bermula, bertunas, tumbuh dan berkembang. Tumbuh dan berkembang di waktu malam yaitu dengan mengerjakan shalat malam. Bukanlah tumbuh dikarenakan pendidikan sekolah, bukan tumbuh karena didikan dari lingkungannya. Seseorang yang mengerjakan shalat malam adalah orang yang mau dan mempersiapkan diri untuk menjadi orang yang besar, kuat dan mantap dalam segala hal tentang pelajaran dari Rabb (wahyu). Kuat dan mantap dalam menjalani kehidupannya sesuai kemauan Rabb.
Selalu optimis tidak ada kata putus harapan dan selalu bergerak maju. Bagai awal tumbuhnya tunas kemudian menjadi besar, berakar kuat ke dalam mencengkeram bumi, berdahan dan beranting kuat, berdaun lebat dan rindang serta berbunga indah dan berbuah besar.  Tinggi  dan berdiri kokoh walau badai menerpa. Itulah gambaran dari ayat ini. Sebagaimana Allah menjelaskan pada surat al-Fath (48) ayat 29 tentang sifat-sifat Muhammad saw, para sahabatnya dan orang-orang berikutnya yang bersama mereka : “...yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya, maka tunas itu menjadikan tanaman itu menjadi kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati para penanam-penanamnya...”
            Semua aktivitas yang akan dijalani oleh Muhammad saw berawal pada malam hari, awal dimana seseorang mempunyai persiapan yang kuat dengan motivasi berbuat yang didasari dari penilaian Rabbnya. Cara berfikir yang terencana, jiwa dan mental yang kokoh, fisik yang kuat sebagaimana Rasulullah berkata: “Siapapun yang bangun shalat di malam hari, maka esok hari dia akan terhindar dari kemalasan”.
            Jiwa dan mental yang sabar dan kokoh, kemantapan diri, kekuatan diri, keteguhan dalam menyakini dan menjalani kehidupan menurut kehendak Allah yang dikatakan sebagai tugas yang berat sangat diperlukan dan itu tidak dapat kita peroleh dari indoktrinasi, psikiater, pendidikan sekolah, bimbingan belajar ataupun training-training motivasi yang banyak diadakan, tetapi dapat kita peroleh dari shalat di malam hari sebagaimana firman Allah di surat al-Isra' (17) ayat 79: “dan dari sebagian malam bertahajjudlah sebagai tambahan kekuatan bagimu...”.
Tugas selanjutnya yang akan diemban oleh Muhammad saw adalah menjadi seorang pemberi peringatan (wahyu ke tiga surat al-Mudatstsir), peringatan dari Rabb dan yang dibutuhkan adalah kemampuan berucap serta mempunyai kekuatan berbicara tentang perintah Allah yang diberikan kepadanya. Sehingga perkataannya menjadi mantap dan tegas.

Bukannya harus pandai berpidato atau berorasi tetapi apa yang diucapkannya itu dapat dipertanggung jawabkan, benar ucapannya, benar pula isinya. Hal inipun hanya didapatkan dengan shalat di waktu malam dan tidak ada metoda yang lain.
“Sesungguhnya bagi kamu pada siang hari pekerjaan yang sangat menyibukkan” (7)
Secara wajar manusia berfikir, apabila pada siangnya ia ada pekerjaan yang menyibukkan, maka sudah seharusnya pada malamnya akan digunakan untuk beristirahat. Namun ayat berkata lain bahwasannya pada malam yang panjang justru harus melakukan shalat malam agar dapat menguatkan jiwanya, karena hal tersebut adalah bagian yang paling penting dari perintah Allah yang hanya dapat dilaksanakan oleh jiwa yang mantap.
Ayat ini menjelaskan mengenai kedudukan wahyu pada diri manusia, akal manusia, metodalogi berfikir manusia dan rasa. Seolah-olah keseluruhan isi ayat yang turun berbenturan dengan logika dan pemikiran, seakan-akan otak manusia disuruh untuk berfikir terbalik dari semua pola yang sudah berkembang sebelumnya. Demikianlah dirubah tradisi berfikir di dalam menghadapi dan menerima perintah Allah swt, sungguhpun pada awalnya belum mampu untuk memahaminya atau bingung. 
“Sesungguhnya bagi kamu...” berarti ada tugas yang akan dikerjakan khusus kepada kamu, bukan untuk orang lain. Tidak peduli apa yang akan dilakukan orang lain terhadap diri mereka pada siang hari, hanya peduli kepada diri kita sendiri dan tugas yang dibebankan kepada kita.  Hanya dengan shalat malam  dapat mempersiapkan diri ini untuk melaksanakan tugas yang akan dibebankan kepada kita pada siang hari. Sehingga kita mampu melaksanakannya dengan hati dan jiwa yang mantap.
Metoda Allah dalam mengajar hambaNya tampak terlihat sangatlah terencana dan terarah, mengajarkan insan yang dikatakanNya dengan sebutan “orang yang berselimut” dengan dipersiapkan terlebih dahulu adanya manusia yang mau untuk diajar dengan kesadaran penuh bahwa dirinya memang butuh pengajaran itu. Surat al-Alaq diturunkanNya sebagai wahyu pertama dengan maksud yang sudah terencana dengan begitu sempurna. Bila kita fahami sebagaimana Muhammad saw beserta para sahabatnya memahaminya, maka akan kita temukan adanya simpul yang membelenggu kuat pada jiwa kita, sehingga kita tidak mampu untuk menemukan hakekat hidup serta adanya selimut yang menutupi diri kita, sehingga tidak mampu menerima pengetahuan dari Allah yang merupakan petunjuk untuk menjalankannya. Surat al-Alaq itulah kunci pembuka simpul yang mengikat dan surat al-Muzammil beserta surat-surat yang turun berikutnya adalah cara untuk mencampakkan setiap selimut yang berlapis-lapis yang menutupi kita.
Surat al-Muzammil adalah surat yang mendasari kita untuk menjalankan ibadah shalat malam.

Shalat malam adalah salah satu metoda/cara tepat dan pasti yang Allah berikan sebagai jalan melepaskan selimut diri untuk dapat menerima dan memahami pengajaran Rabb dan pembuktian dari seseorang yang akan mampu melaksanakan pengajaran ini.
Lebih tepatnya bahwa kuat tidaknya seorang itu dalam beraqidah adalah berawal dari pembuktian untuk mau tidaknya mereka menjalankan perintah Allah. Sehingga nantinya insan ini mampu untuk dapat mengarahkan dirinya sesuai apa yang dikehendaki oleh Rabb yang Maha Pemurah.
Shalat malam yang didasari oleh motivasi berbuat berdasarkan surat al-Muzammil ini menjadi tolok ukur seorang hamba dalam berpegangnya dia pada petunjuk Allah Yang Maha Pemurah. Tumbuh berkembang juga merupakan bentuk bermula dari suatu pekerjaan yang akan dijalankan dan dihadapinya. Bukankah hal ini mengajarkan kepada kita bahwa segala sesuatu itu harus bermula dengan shalat dan sesuatu yang besar itu berawal dari sesuatu yang mendasar. Maksudnya dasar atau tahapan pertama untuk melakukan hal-hal besar yang kelak akan dijelaskan pada ayat-ayat berikutnya. Jadi sangatlah tepat kelompok ayat ini turun pada permulaan kenabian Muhammad dan pembentukan pribadi-pribadi para sahabatnya yang terkemudian mereka disebut sebagai manusia-manusia percontohan, yang oleh Allah namakan sebagai ummat bermula, ummat terbaik yang pernah dilahirkan di dunia ini, yang bersungguh-sungguh dengan kemantapan hati, kebulatan tekad dan kebesaran keyakinan mereka dalam melaksanakan perintah/tugas yang berat.
Mari kita renungkan sekali lagi penuturan dari seorang sahabat, al-Mughiroh bin Syu'bah r.a. tentang pentingnya diperjuangkan dengan sungguh-sungguh perintah pada surat al-Muzammil ini oleh Muhammad,  'manusia biasa' sama dengan kita yang kelak dengan shalat malam akan mampu menjalankan perintah-perintah yang sangat berat dengan kemantapan jiwa, keteguhan hati, dan rasa lapang dada seorang hamba yang bersyukur. “Nabi saw berdiri -sangat lama- dalam shalat di malam hari sehingga kedua telapak kakinya atau kedua betisnya bengkak.” Kemudian dia ditanya “Mengapa Anda masih juga beribadah seperti itu padahal Allah sudah menjamin Anda dengan surga”. Maka  dia menjawab “Apakah tidak pantas aku menjadi hamba yang bersyukur?”.
Begitulah Muhammad, dijalankannya perintah shalat malam tersebut tanpa memperhatikan kondisi dirinya untuk beristirahat yang cukup dan tanpa berfikir tentang akibat pada dirinya apa yang akan terjadi esok hari. Dengan kesadaran sebagai insan yang berpetunjuk, dia katakan kepada istrinya: “Wahai Khadijah...! Masa untuk tidur berlalu sudah...!”