Translate

Senin, 25 April 2011

Tentang ADZAN


ALLAHU AKBAR .. ALLAHU AKBAR .. ALLAHU AKBAR .. ALLAHU AKBAR .. 
Adzan telah dikumandangkan dengan seruan SANG MAHA BESAR. Mungkinkah selama ini kita lalai ketika mendengarnya dengan hanya mengabaikan dan tidak menyegerakan untuk meninggalkan seluruh aktifitas. Adzan bukan penanda datangnya waktu sholat. Melainkan sebuah panggilan dari Rabb untuk segera menegakkan sholat...

Di waktu masyarakat Islam telah terbentuk di Madinah. Maka shalat berjama'ah mulai ditegakkan, masjid-masjid mulai dibangun, syariat-syariat dan tata cara shalat telah diajarkan Rasulullah saw setahap demi setahap. Hingga sholat itu sudah seperti yang kita kerjakan sekarang.
Seperti yang kita ketahui, sejak perintah shalat diturunkan, sampai Nabi wafat, perbaikan dilakukan sedikit demi sedikit dimulai dari sholat malam yang ditentukan dalam surat Al-Muzzammil, kemudian setelah peristiwa Isro' Mi'roj turunlah perintah sholat 5 kali sehari semalam dengan waktu yang telah ditentukan.
Diwaktu ayat-ayat puasa turun, mulailah disyariatkan shalat tarawih dan shalat Ied. Kemudian shalat Istiqarah, Dhuha, Istisqo', sholat jenazah, sholat gerhana dan shalat-shalat lainnya berikut dengan tata caranya.
Lalu ketika kaum muslimin semakin ramai melaksanakan shalat berjamaah, sering ada orang yang ketinggalan, karena jam pada waktu itu belum ada dan pengukur waktu shalat hanya dengan matahari maka timbullah permasalahan di kalangan umat Islam. Sementara itu orang Yahudi dan Nasrani dari segi ini kelihatannya jauh lebih baik, karena mereka mempunyai cara yakni orang Nasrani memakai lonceng dan orang Yahudi memakai tabuh.
Akhirnya hal ini disampaikan oleh sahabat kepada Rasulullah saw dan beliau tidak menginginkan panggilan menuju sholat sama dengan cara orang Yahudi maupun Nasrani, hingga sampailah pada keputusan untuk mensyariatkan kalimat adzan yang dikumandangkan dengan suara keras. Jadi pada prinsipnya adzan itu memang dipergunakan untuk memanggil orang untuk melaksanakan shalat berjamaah.
Sehingga Rasulullah saw dalam menerapkan adzanpun pernah mengatakan: Dari Malik bin Huwairi , Nabi saw bersabda: “Jika telah datang (waktu) shalat maka seseorang kamu adzan untuk kamu dan hendaklah yang menjadi imam yang tua diantara kamu “ (H.R. Muthafaq 'Alaihi).
Jadi menurut hadits ini adzan itu dilakukan hanya untuk orang yang akan melaksanakan shalat berjamaah, sehingga hanya dilakukan ketika hendak melaksanakan shalat berjamaah. Maka masyarakat yang tidak mengenal apa arti shalat berjamaah tidak akan mengenal pula apa arti dan pentingnya nilai adzan.
            Sementara kita melihat suatu kenyataan yang salah di tengah-tengah masyarakat, dimana mereka menganggap enteng, remeh, dan tak penting shalat berjamaah. Menganggapnya suatu amalan yang boleh ditinggalkan asalkan tetap mengerjakan shalat. Berjamaah atau tidak itu tidaklah penting. Karena kenyataan akan pandangan dan cara berfikir masyarakat seperti ini, maka amalah adzan pun dianggap hanya semata-mata pem-beritahuan masuknya waktu shalat saja.
Rasulullah sering menunjuk Bilal bin Rabbah untuk melakukan adzan, sehingga banyak orang memberikan gelar sebagai mu'adzinur-Rasul. Ketika beliau saw dalam perjalanan sedang gundah beliau meminta kepada Bilal untuk adzan supaya hati beliau tenang.
Hal ini disebabkan bacaan yang dikumandangkan dalam adzan kalau diperhatikan seluruhnya adalah Pernyataan akidah atau pernyataan tauhid.
 Sesorang di dalam adzan menyebutkan “Allahu Akbar, Asyhadu anlaa ilaaha illal-lah, Asyhadu anna Muhammadar-Rasulullah, Hayya 'ala sh-Shalah, Hayya 'ala l- Falah, Allahu Akbar, Laa Ilaaha Illal-lah”Itu semua adalah pernyataan-pernyataan besar. Maka hendaknya kita pahami pernyataan-pernyataan itu dengan sepenuh hati.
ALLAHU AKBAR. Artinya hanya Allah yang besar. Kita serukan  pernyatan itu kepada seluruh alam, kita teriakkan bahwa tidak ada yang besar kecuali Allah. Selain dari Allah adalah kecil. Tidak ada ide yang besar kecuali ide dari Allah. Tidak ada pengaruh yang besar kecuali pengaruh Allah. Tidak ada kepentingan yang besar selain kepentingan Allah.
Kalau kita berani membuat pernyataan itu hendaknya kita hayati sampai di dalam hati, harus sesuai dengan kenyataan. Untuk apa kita meneriakkan Allah Yang Maha Besar, sementara dalam kehidupan masih menganggap bisnis lebih besar dari Allah, keinginan diri lebih besar dari Allah, pekerjaan lebih besar dari Allah, negar lebih besar dari Allah, dst.

Ingat!
Kita berani meneriakkan karena kita punya pendirian yaitu Allahu Akbar, Allah adalah yang segala-galanya. Kalau bukan orang yang berpendirian yang meneriakkan namanya orang gila karena dia berteriak tanpa keyakinan. Sebagai contoh, kapankah kita meneriakkan bahwa : “saya sarjana.” Bukankah tidak pernah?. Tapi kita meneriakkan “Allahu Akbar” karena itu konsep diri kita sebagai seorang muslim. Tapi mengapa umat ini tidak terpengaruh? Mungkin karena terbiasa bagi umat Islam menganggap adzan itu adalah pemberitahuan telah masuk waktu shalat, sehingga terasa tidak begitu terpengaruh.
Sekiranya kita tinggal di daerah non muslim tentulah kita tidak adzan karena kita tahu kalau mereka tidak terpengaruh dengan ajakan kita. Alangkah anehnya umat   sekarang   ini,  seolah-olah  mereka tidak lagi tersentuh dengan panggilan yang agung ini.
Seandainya seseorang terperosok dalam keadaan mengagungkan selain Allah, tentu dia dengan segera akan sadar bahwa dia sekarang sedang mendengar Allahu Akbar. Mendengar  Allahu Akbar itu hendaknya menggugah diri untuk mengecilkan selain Allah: Tidak ada alasan untuk ngantuk, tidak ada alasan untuk pekerjaan, tidak ada alasan untuk kesibukan, tidak ada ada lagi keasyikan, kalau Allah memanggil. Tidak ada yang lebih penting selain panggilan Allah.
Nah, itu yang seharusnya terjadi pada umat ini. Dan tulah yang pernah terjadi pada zaman Rasulullah, Khalifah Rasyidin dan umat-umat yang sesudahnya. Sehingga mereka berusaha supaya adzan itu betul-betul mencakup wilayahnya. Utsman r.a. misalnya: Beliau membuat masjid di dekat tebing, maka adzan dikumandangkan di tebing itu, bukan dalam masjid, karena mereka tahu tujuan adzan itu bukan hanya pelengkap shalat, tapi punya misi tersendiri.
Di zaman Mu'awiyah dibuatkan menara khusus yang tinggi, sehingga orang harus naik ke menara untuk mengucapkan kalimat-kalimat tauhid itu, sehingga dapat menjangkau daerah-daerah yang luas.
Sampai sekarang pun menjadi kebiasaan membuat menara. Tapi bukan lagi dengan tujuan menyampaikan kalimat-kalimat tauhid, tapi sudah menjadi model; masjid dianggap tidak bagus kalau tidak punya menara. Bahkan tidak bisa disebut masjid jika tidak ada menara. Bahkan biaya membuat menara terkadang jauh lebih besar dari pembuatan masjid. Alangkah anehnya umat yang sekarang ini !!! Kenapa terjadi hal demikian….? Padahal berbangga-bangga dengan bangunan masjid dilarang oleh Rasulullah saw.
Kalau kita bandingkan dengan zaman Rasulullah saw ternyata  masjid Beliau hanya beralaskan pasir, tidak memiliki atap, tidak menggunakan permadani, hiasan batu pualam, apalagi kubah emas, yang ada hanya dinding. Itulah masjid di zaman Rasulullah, jauh dari ide  pembuatan masjid yang dipahami orang sekarang yang hanya menekankan pada keindahan fisik belaka .
Kemudian setelah kalimat Allahu Akbar disebutkan 4 kali, kita menyebutkan syahadat: ASYHADU ANLAA ILAAHA ILLAL-LAH - ASYHADU ANNA MUHAMMADAR-RASULULLAH. Artinya pribadi saya bersaksi; menghayati sepenuhnya; bertanggung jawab bahwa tidak ada Ilah selain Allah. Kemudian diikuti dengan pernyataan yang berat lagi: Bahwa Muhammad itu Rasulullah.
Kalau kita sudah mengatakan tiada Ilah selain Allah, berarti: tiada pengarah selain Allah. Tiada pembimbing selain Allah. Tidak ada petunjuk selain Allah. Tidak ada suatu arah selain yang disebutkan Allah. Tidak ada indoktrinasi selain indoktrinasi yang diberikan Allah. Barulah sesuai ucapan dengan perbuatan.

Ingat!
Kita menyatakan pernyataan dengan suara keras. Kalau bukan dengan suatu kenyakinan penuh, tentu kita tidak berani menyebutnya keras-keras. Disaksikan oleh cacing, burung,  malaikat, manusia. Disaksikan oleh udara yang lewat, hujan yang turun, awan menggantung dan semuanya. Karena kita telah mengumandangkan dengan suara yang keras. Kita menyatakan bahwa Muhammad itu Rasul Allah. Pernyataan itu hendaknya dengan pemahaman dan kesadaran bahwa ini bukan pernyataan sejarah. Kalau pernyataan sejarah, sama dengan mengatakan  Gajah  Mada  adalah  Perdana   menteri   Majapahit.  Untuk  apa kalau hanya menyebut-nyebut begitu saja. Kalau kita menyebut bahwa Muhammad itu Rasul Allah, maka kita harus bertanggung jawab dengan pernyataan itu; bahwa risalah Islamiyah itu adalah syariat yang dibawakan Muhammad saw itulah yang harus kita ikuti. Tidak ada syariat lain selain syariat yang telah dibawa Rasulullah saw. Kita bersaksi, mau bertanggung jawab sepenuhnya. Kita hayati sepenuhnya apa yang kita nyatakan itu.   
Jika kita sebut kalimat-kalimat syahadat ini dengan lantang, maka yang mendengar adalah laki-laki, perempuan, tua muda yang semuanya itu juga disyariatkan mengucapkan kalimat-kalimat syahadat ini.
Apakah masih ada kesempatan bagi orang-orang beriman untuk berbuat kekafiran lagi !?
Kalau dalam sehari semalam dia mengucapkan syahadat berulang-ulang,  ketika adzan dia syahadat dan ketika shalatpun bersyahadat.

Apakah masih ada kesempatan bagi orang mukmin lari dari pernyataan itu !?
Berpuluh kali dia mengucapkannya sehari semalam. Kemudian sampailah kepada ajakan “HAYYA 'ALA SH-SHALAH”, artinya: Marilah, beranjak kita untuk melakukan shalat. Kalimat ini memang bernadakan panggilan, karena ada kata Hayya. Tapi pengertian Hayya ini bukan hanya sekedar 'mari!'. Kalau pengertiannya hanya 'kesinilah!', tentu tidak akan dipakai oleh Rasulullah saw kata-kata Hayya, tentu Beliau akan memilih kata Ta'al. Ta'allau ila shalah. Tapi Beliau memakai kata Hayya, dengan pengertian: tingkatkan-hidupkan-agungkan shalat ini. Jadi bukanlah sekedar untuk memanggil orang yang kelupaan, tapi lebih dari itu, yaitu menyadarkan.
Banyak orang yang mendengar adzan, tapi belum tentu mereka harus pergi sholat berjamaah karena ada orang-orang yang diizinkan oleh Rasulullah saw untuk tidak pergi memenuhi panggilan adzan seperti wanita, orang sakit dan orang-orang yang mempunyai udzur yang diizinkan Rasulullah seperti safar, dll. Tapi orang-orang ini harus juga ikut mengagungkan pernyataan itu dengan cara menirukan ucapan muadzin tersebut. Jadi jangan sampai terfikir olehnya untuk tidak mendatangi shalat berjamaah. Karena ucapan muadzin adalah sebuah pernyataan yang besar yang juga harus ia tirukan. Jadi baik muadzin maupun orang yang mendengarnya sama-sama telah membuat pernyataan yang sangat besar ini. Pernyataan yang besar itu harus dibuat berulang-ulang yang telah diatur oleh Rasulullah untuk  dilakukan pada waktu-waktu shalat. Oleh karena itu harus bersama-sama kita hidupkan dan kita agungkan shalat ini. Dan hal ini tidak akan mungkin dapat difahami kalau mereka tidak mengerti apa itu shalat.
Setelah melakukan adzan  Rasulullah mensyariatkan untuk membaca doa. Diantara doa yang dibaca itu adalah Wash sholaati qoo imah,  shalat yang betul-betul tegak  dalam diri.
Bukanlah dengan pengertian orang yang sudah shalat itu tegak. Tapi  shalat itu betul-betul tegak. Shalat yang mempengaruhi manusia ini.
Iitulah arah yang dituju oleh Hayya ala Shalah. Orang yang shalat adalah orang yang disiplin. Orang yang shalat dirinya dipengaruhi oleh ketentuan-ketentuan; perangkat-perangkat, perangai-perangai, dan perbuatan-perbuatan shalat secara terus-menerus. Bukan hanya pada waktu  shalat  saja.  Tapi  di  luar  shalatpun  seluruh dirinya dipengaruhi oleh shalat. Seperti di dalam surat Al-Israa' (17) ayat 78: Aqimish-shalata lidulukus sy-syamsi ilaa gha saqi l-layl. Artinya:“Tegakkanlah shalat sedari terbit matahari sampai datangnya malam”. Terus menerus dari pagi sampai malam, selalu dipengaruhi oleh shalat. Itulah orang yang menegakkan shalat. Itulah yang dikumandangkan dengan Hayya 'ala sh-Shalah.
Dengan demikian menjadi keniscayaan untuk mengajak pada kemenangan dengan mengumandang-kan HAYYA 'ALA L-FALAH, karena tegaknya sholat adalah sebab dari kemenangan. Inilah orang yang bakal menjadi menang. Kita ini bukanlah orang yang gila, yang hanya asal meneriakkan kata-kata “menang” dan mengajak orang pada kemenangan padahal secara duniawi kita ini tidak memiliki apa-apa. Sekali lagi hal ini hanya akan bisa dimengerti oleh orang-orang yang memahami apa itu shalat. Orang yang bersyahadat serta menegakkan shalat ini; itulah orang yang menang. Oleh sebab itu marilah kita menuju kemenangan. Menang menurut pengertian Allah, kemenangan hakiki, bukan pengertian  kemenangan   semu  yang diatur oleh manusia.  Sebagaimana Allah memberikan perinciannya  dalam  surat  Al-Mukminun  ayat  1,2  & 9:
Qad aflaha l-Mukminuun. Alladzi nahum fii shalaatihim khaasyi'uun....... Alladzi nahum 'alaa shalawaatihim yuhaafizhuun.
 Artinya: “Selalu menang orang mukmin itu (1); orang yang dalam shalatnya khusyuk (2) ..... Orang yang selalu menjadikan shalat itu pemelihara dirinya (9)”

Itulah yang dikumandangkan, kepada shalatlah orang diarahkan dan iitulah dia orang yang menang. Itu adalah pernyataan, bukan panggilan-panggilan biasa saja. Bukan sekedar ajakan  pergi ke masjid untuk shalat, tapi ini ajakan untuk menang.

Kemenangan dalam bentuk apa yang ada dalam masjid?
Yang jelas itu adalah suatu pernyataan; bahwa umat yang shalat adalah umat yang pasti menang, umat yang mampu mengalahkan keinginan dirinya dan mengorbankan segala waktu yang dimilikinya demi melaksanakan perintah Allah.
Kalau kita menyatakan bahwa kita menang, hendaknya orang lain harus merasa kalah, kalah dalam akidah, kalah dalam akhlak, kalah dalam syariat, kalah dalam ide, kalah dalam segala-galanya, dan tidak mungkin orang lain merasa kalah kalau kita tidak lebih dari orang itu.
Sesudah itu kita mengucapkan Allahu Akbar. Dan ditutup dengan Laa ilaaha illallah. Betul-betul ucapan yang berat yang dikumandangkan oleh muadzin yang diucapkan oleh seluruh umat.
Kalau sekarang masjid sudah banyak, menara sudah tidak diperlukan lagi karena sudah diganti dengan mikrofon. Jangkauan sudah begitu jauh. Kita jumpai dari timur sampai ke barat tidak putus-putusnya orang beradzan, sehingga kalau kita berada di kota besar, sekali adzan ada  200 masjid yang mengumandangkan adzan. Rasa-rasanya udara ini sudah tidak kuat lagi memikul pernyataan-pernyataan yang berat itu, rasa-rasanya masyarakat ini tidak mungkin tidak akan bangkit dengan adzan ini. Tapi kenyataannya masyarakat benar-benar tidak bangkit karena mereka tidak memahaminya. Sehingga kalau mereka mendengar, bukannya menggugah, malah merasa terganggu. Maka Rasulullah saw setelah adzan selalu berdoa: ALLAHUMMA RABBA HADZIHI DA'WATIT TAAMMAH WASH-SHALAATI L QOOIMAH.
Allah, Rabb yang peduli, memelihara seruan yang sempurna ini dan yang memelihara shalat yang kokoh ini. Lalu kita meminta -AATI MUHAMMADANIL WASHIILAH WAL FADHIILAH-. Ada orang yang mengatakan washiilah itu adalah tempat yang mulia di surga. Sedangkan fadhiilah artinya keutamaan.
Apakah Muhammad saw tidak mendapatkan washiilah dan fadhiilah dari Allah? Tanpa doa kita pun Beliau tetap mendapatkan itu dari Allah. Kita berdoa itu bukan untuk Muhammad saw, tapi berdoa untuk diri kita sendiri.
Dengan berdoa kita telah melakukan ketentuan dari Rasulullah. Juga dalam shalat kita mengucapkan shalawat atas beliau. Apakah beliau saw butuh shalawat dari  kita?
Justru kita ucapkan doa dan shalawat adalah untuk lebih memantapkannya ke dalam diri dan untuk mendekatkan beliau saw kepada diri kita. Kita mengucapkan: WAB-'ATSHU MAQAA MA M-MAHMUUDA (dan tempatkan dia pada posisi yang mulia).

Kurang muliakah Beliau  saw?
Apakah perlu pernyataan dari kita  baru Beliau saw mendapatkan kemuliaan? Tidak ada artinya kita ini.
Tapi kita dituntun untuk mengucapkan hal yang demikian. Kita adalah umat Muhammad saw, hendaknya merasa bahwa Beliau saw itu sudah tinggi.

Lalu kita umatnya ini bagaimana?
Rasul saw itu sudah punya posisi yang sangat tinggi. Kita mendoakan Beliau supaya kita pun mendapatkan posisi yang tinggi karena kita ini adalah ummatnya. Itulah yang sebenarnya kita minta.
Apakah Allah akan memungkiri janjiNya? Muhammad tanpa kita pun tetap Muhammad. Allah telah menjanjikan posisi yang tinggi buat beliau saw. Kenapa kita harus mengungkit-ungkit seolah-olah Allah tidak menepati janjiNya. Kita ucapkan doa itu justru untuk kita sendiri. Supaya kita yakin bahwa, “Kita umat Muhammad saw yang punya posisi yang amat tinggi di mata Allah.“ Allah sudah menjanjikan posisi yang tinggi kepadanya yang Allah pasti menepatinya. Sebagaimana karakter beliau, maka seperti itu jugalah seharusnya karakter kita. Itulah gunanya kita mengucapkan doa sesudah adzan.
Jadi ucapan-ucapan yang dilakukan dalam adzan adalah pernyataan-pernyataan yang berat. Kalau kita memilih mu'adzin pilihlah yang faham dan memiliki suara yang  lantang.
Pernyataan adzan ini diikuti dengan iqaa matii sh-shalah sebelum kita melakukan shalat. Semua kata-kata itu diulang kembali dan bersambung dengan shalat. Disitulah baru dinyatakan hubungan shalat dengan adzan: Qad Qaa matish shalah; shalat yang dikerjakan itu tegak mengokohkan!
Hendaknya mulai sekarang kita harus mengetahui syariat adzan itu bagaimana dan apa tujuannya. Apa pengaruh yang harus tumbuh dalam diri kita. Bukan hanya sekedar protokoler. Tetapi itu adalah pernyataan-pernyataan berat yang harus kita pertanggung jawabkan. Begitu juga akibat berikutnya. Memang pada awalnya terbayang syariat adzan itu hanya ditujukan untuk memanggil orang untuk shalat, tapi kalau kita pelajari lebih lanjut seperti hadist yang kita kemukakan di atas,  ternyata  jauh  lebih   dari   itu.
Kalau mendirikan shalat berjama'ah, hendaklah adzan. Jadi kalau kita artikan adzan itu dengan memanggi orang untuk sholat berjamaah, maka itu hanya bagi orang yang terlupa. Jadi bukan datang ke masjid itu setelah adzan. Di zaman Rasulullah saw orang sudah datang ke masjid sebelum adzan. Mereka bersama-sama melakukan shalat tahyatul masjid  baru  setelah itu  adzan.
Jadi dibutuhkan penghayatan lebih mendalam dari sekedar memahami adzan sebagai pemberitahuan masuknya waktu shalat, atau hanya sekedar panggilan untuk shalat, tapi kita harus menghayatinya sebagaimana Rasulullah dan para sahabat telah menghayati dan memahaminya supaya shalat benar-benar menjadi tegak dan mampu mempengaruhi diri kita secara terus-menerus yang akan menjadikan diri kita sebagai orang-orang yang menang.

Jumat, 22 April 2011

Adakah Yang Lebih Baik Dari Al Quran ?



Sungguh…suatu nikmat yang besar bagi orang-orang yang beriman yaitu nikmat hidup yang selalu berlandaskan kepada petunjuk (al-Quran). 

Allah menganugerahkan kepada kita suatu pedoman jalan hidup yang sempurna. Allah juga memberi bukti keberhasilan dan keindahan suatu kaum yang telah menjalankan al-Quran sebagai pedoman hidup. Bagaimana mereka hidup dalam keteraturan dan keselarasan. Itulah masa Rasulullah dan para sahabat. Rasul diutus menjadi pembawa risalah dan bukti kesempurnaan al-Quran. Bila kemudian ada yang mengelak dan beralasan bahwa tidak mungkin lagi ber al-Quran seperti Rasulullah dan para sahabat dahulu karena perkembangan zaman, bukankah al-Quran diturunkan untuk seluruh manusia sampai akhir zaman!! Bukan Muhammad yang luar biasa, tetapi al-Quranlah yang membuatnya luar biasa. 
          Sehingga munculnya pribadi seperti Rasulullah adalah dikarenakan beliau telah menjalankan al-Quran, beliau bukanlah manusia yang dibentuk oleh lingkungan dan zamannya. Jadi dengan tidak adanya Muhammad sekarang, tidak ada alasan bagi kita untuk tidak menjalankan al-Quran sebagaimana yang telah beliau contohkan. Jika kita menjalankan al-Quran seperti halnya Rasul menjalankan al-Quran, kita pun akan bisa mewujudkan maunya Allah terhadap diri kita. Rasulullah diutus ke dunia sebagai contoh bagi seluruh umat manusia bagaimana semestinya berpetunjuk dengan al-Quran itu. Tetapi, meskipun petunjuk yang sempurna itu ada beserta bukti-buktinya dengan jelas, masih banyak manusia yang ragu menggunakan al-Quran sebagai pedoman hidup. Sehingga mempergunakan yang lainnya sebagai petunjuk selain al-Quran. Maka hendaklah kita perlu mengoreksi, meneliti, dan menilai diri berkaitan dengan penjelasan dan peringatan Allah dalam surat Luqman 1 - 7 berikut ini :
Alif lam mim (1) tilka ayatulkitaabil hakiim (2) Hudan waromatan lil’aalamiin (3) alladziina yuqiimuunasholaata wayu’tuunaz zakaata wahum bil aakhirotihum yuuqinuun (4) ulaa-ika ‘alaa hudan min robbihim wa-ulaaika humul muflihuun (5) waminan naasi man yasytarii lahwal hadiitsi liyudlilla ‘an sabiilillahir bighoiri ‘ilmi wayattakhidahaa huzuwaa. Ulaaika lahum ‘adzaabun muhiin. (6) wa-idzaa tutlaa ‘alaihi ayaatinaa wallaa mustakbiron ka-anlam yasma’haa ka-anna udzunaihi waqroo, fabashirhu bi’adzaabin aliim (7)

“Alif laam miim (1). Itulah ayat-ayat al-Kitab (yang telah ditetapkan) dengan sangat bijaksana (2) Merupakan petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang ihsan. (3) Yaitu orang-orang yang menegakkan sholat, mendatangkan zakat dan mereka itu dengan akhirat meyakininya. (4) Mereka itulah orang-orang yang berada di atas petunjuk dari Rabb-nya dan mereka itulah orang-orang yang menang. (5) Dan di antara manusia ada orang yang mengada-adakan perkataan yang tidak bermutu (bernilai) untuk menyesatkan dari jalan Allah tanpa ilmu dan menjadikan ayat-ayat itu sebagai olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan. (6) Dan apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat Kami, dia berpaling dengan menyombongkan diri seolah-olah dia belum mendengarnya, seakan-akan ada sumbatan di kedua telinganya, maka gembirakanlah dia dengan azab yang pedih (7)

(1) ALIF LAAM MIIM -
(2) ITULAH AYAT-AYAT AL-KITAB (YANG TELAH DITETAPKAN) DENGAN SANGAT BIJAKSANA - Kata itulah dalam ayat tersebut menunjukkan kepada apa-apa yang diwahyukan Allah yaitu al-Quran, suatu kitab yang berisi ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan yang diturunkan secara tepat dan terukur sebagai bentuk keMahabijaksanaan-Nya dan keMahatahuan-Nya. Berarti, apa pun yang diturunkan adalah benar-benar yang terbaik bagi seluruh manusia. Begitulah kesadaran yang mesti muncul dari setiap diri, ketika membaca ayat-ayat atau wahyu.

(3) SEBAGAI PETUNJUK DAN RAHMAT BAGI ORANG-ORANG YANG IHSAN - Petunjuk adalah hakekat al-Quran, petunjuk adalah cirinya, eksistensinya, cahaya, pengarah yang gamblang dan jelas. Rahmat Allah sebagai bukti kasih sayang kepada hamba yang diberiNya gelar muhsinin. Orang-orang yang perbuatannya bernilai baik (ihsan) di mata Allah. Orang-orang yang selalu merasa bahwa Allah melihat setiap apa yang dia dikerjakan. Selalu merasakan pengawasan dari Allah. Allah selalu hadir dalam setiap gerak dan keputusannya. Hanya orang-orang muhsininlah yang akan mau dan mampu untuk berpetunjuk dengan al-Quran. Lalu siapakah orang-orang muhsinin itu?

(4) YAITU ORANG-ORANG YANG MENEGAKKAN SHALAT, MENDATANGKAN ZAKAT DAN MEREKA ITU DENGAN AKHIRAT MEYAKININYA - Allah menyebutkan beberapa ciri perbuatan yang melekat pada diri muhsinin. Pertama, menegakkan shalat. Menegakkan shalat disini, bukan hanya melaksanakan rukun dan syarat shalat saja. Tetapi, menjadikan apa-apa yang ada dalam shalat, hadir dan wujud dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga akan tergambar dan nampak akibat dari shalat tersebut, menjadikan diri tunduk, patuh, dan mau menjalankan ketentuan-ketentuan Allah, sehingga shalat itu mampu mencegah dari perbuatan keji dan munkar. Kedua, mendatangkan zakat. Zakat adalah wujud dari gambaran diri yang sadar bahwa harta yang dimilikinya merupakan rezki yang datangnya dari Allah. Sehingga muncul kesadaran dalam membelanjakan hartanya sesuai dengan petunjuk dan ketentuan Allah. Zakat dapat mensucikan/membersihkan pandangan jiwanya terhadap harta. Membersihkan hatinya dari sifat bakhil, sombong dan dapat meneguhkan hubungan antar sesama. Memberikan dengan rela sebagian harta, baik di waktu lapang maupun sempit. Tahu bahwa ada hak orang lain yang harus dikeluarkan dari harta itu. Ketiga yaitu meyakini akan hari akhir. Yakin akan ada hari berhisab dan tahu persis apa yang akan dinilai pada hari berhisab itu. Penilaian atas segala perbuatan yang dilakukan di dunia adalah penguat paling penting (motivasi) dalam berbuat.  Keyakinan  hari  akhir  telah menjadi suatu metode  dalam menilai  semua  hasil   yang   telah   dicapai.  Segala   sesuatu akan disebut “bernilai” (bermanfaat) kalau sekiranya menghasilkan penilaian baik di hari akhir. Sehingga penilaian hari akhirlah yang menjadi dasarnya dalam berbuat dan berfikir.

(5) MEREKA ITULAH ORANG-ORANG YANG BERADA DI ATAS PETUNJUK DARI RABB-NYA DAN MEREKA ITULAH ORANG-ORANG YANG MENANG -  Ketika shalat tidak lagi sekedar memenuhi rukun dan syaratnya saja, ketika sholat tidak hanya gerakan-gerakan yang tak bermakna, tetapi telah berubah menjadi sesuatu yang muncul dan tegak dalam diri seperti yang digambarkan oleh Rasulullah sebagai tegaknya Dinn pada diri seseorang. Ketika infaq dan zakat menjadi karakter diri, dengan membelanjakan harta demi mencari keridhaan Allah, ketika perbuatan-perbuatan ihsan telah menjadi sesuatu yang diamalkan dan mereka percaya bahwa hari berhisablah yang merupakan ciri penutup yang menghubungkan dunia dengan akhirat, mengaitkan pangkal dengan ujung, perbuatan dengan ganjaran, ciri yang mengingatkan manusia bahwa ia tidak dilepaskan begitu saja, bahwa ia tidak diciptakan percuma, ditinggalkan begitu saja. Sehingga jika setiap diri mampu melakukan semua hal tersebut, merupakan suatu kemenanganlah yang mereka dapatkan menurut penilaian Allah.

(6) DAN DI ANTARA MANUSIA ADA ORANG YANG MENGADA-ADAKAN PERKATAAN YANG TIDAK BERMUTU (BERNILAI) UNTUK MENYESATKAN DARI JALAN ALLAH TANPA ILMU DAN MENJADIKAN AYAT-AYAT ITU SEBAGAI OLOK-OLOKAN. MEREKA ITU AKAN MEMPEROLEH AZAB YANG MENGHINAKAN - Begitu jelasnya petunjuk Allah yang Maha Tahu, Maha Perkasa, Maha Bijaksana, yang mengarahkan manusia kepada kebenaran, kebaikan, dan kemaslahatan hidup. Namun masih ada orang yang menganggap ada yang lebih baik dari petunjuk Allah (al-Quran), yaitu sesuatu yang berasal dari teori dan pemikiran manusia. Inilah sebodoh-bodoh manusia. Jenis yang oleh al-Quran disebut punya akal tapi tidak digunakan untuk berfikir, punya mata tapi tidak digunakan untuk melihat, punya telinga tapi tidak digunakan untuk mendengar, punya hati tapi tidak digunakan untuk merasakan. Sudah tahu bahwa itu adalah ayat dari Allah yang Maha Tahu, tetapi masih memilih dan mengikuti pemikiran manusia yang bodoh. Bagaikan orang yang tak mampu membedakan antara emas dan tembaga, bau harum dan bau busuk. Ayat ini mengancam bagi orang-orang yang sudah tahu dengan ayat, tetapi masih mencoba mengarahkan manusia dengan yang selain ayat. Dan mengancam pula bagi orang-orang yang mengatakan bahwa al-Quran adalah petunjuk yang diturunkan Allah, tetapi pada kenyataannya mereka tidak pernah mau menggunakan ayat dalam menyelesaikan segala persoalan hidup, serta tidak mau bersungguh-sungguh. Mereka tahu al-Quran adalah petunjuk, tetapi tidak berpetunjuk dengannya.

(7) DAN APABILA DIBACAKAN KEPADANYA  AYAT-AYAT KAMI,  DIA BERPALING DENGAN MENYOM-BONGKAN DIRI SEOLAH-OLAH DIA BELUM MENDENGARNYA, SEAKAN-AKAN ADA SUMBATAN DI KEDUA TELINGANYA, MAKA GEMBIRAKANLAH DIA DENGAN AZAB YANG PEDIH. - Beginilah gambaran yang diungkapkan Allah tentang makna beriman, bahwa keimanan seseorang itu tidak diukur dari segala macam asesoris jasad yang ia kenakan  seperti  baju,   atribut, dan  simbol ke-Islaman lainnya. Tidak juga dari  asesoris  gelar seperti haji, ustadz, kyai, Cendikiawan   muslim,   atau   yang  lainnya. Tetapi Allah melihat dari bentuk yang paling nyata dari adanya iman dalam diri seseorang, yaitu sikap dan tanggapannya terhadap ayat yang telah diturunkan. Sekiranya apa yang dia perbuat tidak seperti apa yang menjadi maunya ayat, maka nilai dirinya tidak lebih dari orang yang MENDUSTAKAN. Jadi alangkah ironinya menjadi seorang muslim tapi tidak tahu apa-apa tentang al-Quran, terlanjur diberi gelar ustadz, cendikiawan muslim tapi tidak tahu ayat, lebih mengerikan lagi orang yang tahu al-Quran, tetapi tidak pernah muncul dari dirinya gambaran dari pengamalan ayat. Yang terjadi justru apabila dibacakan ayat-ayat Allah maka mereka berpaling dari mendengarkannya seraya bersikap takabur, seakan dia tidak mendengarkan dan seakan pada kedua telinganya terdapat sumbatan sehingga ia tidak dapat mendengarkannya dan lebih-lebih untuk menangkap dan merenung-kan maknanya. Allah sangat murka jika sudah dibacakan ayat tapi acuh tak acuh menanggapinya seolah-olah dia tuli, tidak mau menjadikannya sebagai jalan keluar atas permasalahan. Sehingga Allah pun  memperolok-olok mereka dan akan meng-gembirakannya dengan azab yang pedih. Itulah balasan bagi orang-orang yang tidak menjadikan al-Quran sebagai pedoman dan  petunjuk hidupnya.
               Sebagai makhluk, manusia diciptakan dalam kondisi lemah dan tak berilmu, serta tak tahu menahu (buta dan tuli) tentang peta hidup yang akan ditempuhnya. Namun Rabb Yang Maha Tahu dan Maha Bijaksana telah membekalinya dengan petunjuk penuh hikmah. Sebuah petunjuk yang dengan pasti akan mengantarkannya pada kemenangan dan menyelamatkannya dari siksa yang menghinakan. Maka kenikmatan apalagi yang akan kita cari selain kenikmatan hidup di atas petunjuk yang telah diwahyukan oleh Sang Maha Hidup? Namun, sungguh kesombongan makhluk bernama manusia itu telah melampaui batas. Sudah jelas dia hanyalah makhluk lemah yang bergantung sepenuhnya pada petunjuk Penciptanya, namun ketika petunjuk dari Rabb itu datang kepadanya dia justru mengolok-olok petunjuk itu dan berpaling pada petunjuk lain. Petunjuk yang hanya akan menyesatkan dirinya dari tujuan hidup yang sebenarnya, yaitu jalan hidup yang dibangun dengan keyakinan pada datangnya hari berhisab. BAGAIMANA MUNGKIN PETUNJUK SEJATI YANG TELAH PASTI DARI SISI RABB TIDAK DIAMBIL DAN DIMILIKI SEBAGAI PILIHAN HIDUP dan justru mengambil petunjuk lain yang datangnya dari makhluk? Lalu bagaimana mungkin makhluk buta tak berilmu bertanya pada makhluk lain yang ternyata juga tuli dan bisu? Dan bagaimana mungkin “kedua” makhluk tak berpetunjuk itu bisa saling memberikan petunjuk?

Senin, 18 April 2011

Apa-Apa yang telah Mereka Gariskan


            Allah telah mendidik Rasulullah dan umat bermula dengan suatu metoda yang sangat sempurna. Suatu metoda yang telah berhasil melahirkan sekelompok manusia yang bersedia untuk menjadikan hanya al Quran saja sebagai satu-satunya sumber petunjuk dalam segala segi kehidupan mereka. umat yang belum pernah tampil kembali setelahnya. Suatu umat yang telah mendapat pendidikan langsung dari Rabb mereka, sehingga jadilah mereka manusia yang berbeda, yaitu umat yang kemudian menyerahkan sepenuhnya segala urusan mereka kepada wahyu.
            Suatu metoda yang dapat kita lihat dengan jelas bagaimana Allah telah mendidik dan mengarahkan hamba-hambaNya untuk sanggup menerima serta menjalankan kehidupan ini hanya berdasarkan apa yang telah digariskan Allah bagi mereka. kalau kita renungkan secara mendalam mengenai hal ini, tentulah bgi kita tiada lagi metoda pendidikan yang lebih sempurna di dalam mendidik manusia daripada metoda yang telah dibuat dan dipakai Allah di dalam mendidikn Rasulullah dan para sahabat yakni umat bermula.
Di dalam mendidik Rasululllah dan para sahabat Allah memulai dengan menurunkan wahyu pertama yaitu surat al ‘Alaq,  dimana surat ini akan menyiapkan manusia untuk mau menerima wahyu sebagai petunjuk dan pengajaran dari Rabb pencipta dirinya.  Dengan menumbuhkan kesadaran bahwa dirinya adalah makhluk yang sengaja diciptakan dengan segala keterbatasan di dalam mengetahui hakekat kehidupannya.
Sehingga menjadikan dirinya sangat tergantung pada pengajaran dari Rabbnya untuk mengetahui apa-apa yang sebenarnya menjadi sesuatu yang Ghaib bagi dirinya.  Selanjutnya dia akan selalu memposisikan dirinya untuk bersedia dan bersiap menjadi orang yang mau diajari oleh Rabb Penciptanya, dan jadilah dirinya sebagai orang yang selalu menunggu-nunggu wahyu.
Tidak akan mampu menjalankan wahyu selanjutnya sebelum ayat ini menjadi mantap di dalam dirinya dan telah merubah cara berpikirnya secara mendasar hingga sampailah pada satu kesimpulan bahwa tiada lagi petunjuk yang mesti diikutinya kecuali apa-apa yang diajarkan Rabb-Nya Yang Maha Tahu segalanya dan bagaimana dia harus meletakkan logikannya ketika berhadapan dengan wahyu. Sehingga ketika surat al Muzammil yang merupakan wahyu kedua ini turun, beliau telah mempunyai kesadaran bahwa yang dihadapinya adalah wahyu dari Yang Maha Tahu.
Dalam surat al Muzammil, Allah mendidik Rasulullah dengan shalat malam. Hal ini bertujuan untuk mengokohkan dirinya, sehingga mampu dan punya kesiapan yang tinggi di dalam menjalankan tugas-tugas berat yang akan turun selanjutnya. Allah menyatakan berat berarti apa yang akan dihadapi adalah hal yang memang benar-benar berat, berat dalam pelaksanaan, berat dari akibat yang akan ditimbulkan, berat pula di dalam perasaannya.
Dalam berbagai riwayat dapat kita bayangkan betapa beratnya Rasulullah saat menerima wahyu. Bagaimana beliau dilanda ketakutan, kecemasan, dan kondisi fisik yang memperlihatkan beratnya menerima wahyu. Untuk menerima saja begitu berat apalagi menjalankan wahyu tersebut. Dan kesiapan menyongsong tugas berat itu tidak lain hanya bisa ditumbuhkan dengan jalan membina diri dengan shalat malam.
Sedemikian rupa rencana Allah dalam menyiapkan seorang hambaNya untuk sanggup menerima tugas berat yang Allah maksudkan dalam wahyu keduaNya, “sanggup” menerima dan menjalankan wahyu selanjutnya yaitu surat al Mudatstsir yang memerintahkan untuk andzir. Dengan turunnya perintah ini maka mulailah beliau membuat garis antara dirinya dengan masyarakat sekitar. Sehingga timbullah gesekan, benturan bahkan reaksi keras dikarenakan apa yang telah beliau andzirkan.
Kalau kita perhatikan tahapan-tahapan yang dilalui dari metoda Allah di dalam menurunkan al Quran secara berangsur-angsur, bahwasanya sejak diturunkannya surat al ‘Alaq sampai al Muzammil dan menyuruh beliau melakukan pembinaan diri dengan shalat malam. Belum akan timbul masalah-masalah berat. Tetapi setelah turunnya surat al Mudatstsir yang memerintahkan beliau untuk menyampaikan dan membawa misi Allah untuk semua manusia, barulah timbul benturan dengan masyarakat. Inilah titik awal seseorang masuk dalam persoalan-persoalan agama ini. Dan dari sini barulah segala persoalan dalam agama ini bermula.
Garisan yang lurus yang berasal dari RAbb Yang Maha Tinggi ini terasa bertentangan di hadapan masyarakat  jahiliyah. Ajakan untuk kembali kepada ajaran yang hanif ini berbenturan dengan tradisi jahiliyah yang telah mengakar kuat sebagai agama di lingkungannya yang telah diwariskan secara turun temurun.
Apa yang beliau sampaikan itu akan menghancurleburkan segala keyakinan dan tradisi nenek moyang yang selama ini telah menjadi agama bagi mereka. maka memerangi apa yang dibawa Muhammad adalah sesuatu yang pasti mereka lakukan.
Sungguh ironi apabila melihat latar belakang beliau. Sosok Muhammad yang sebelumnya dikalangannya dianggap sebagai sosok yang dapat dipercaya bahkan gelar al amin mereka sematkan kepada beliau, bahwa apapun yang dikatakan Muhammad pasti benar dan mereka percayai sepenuhnya. Bahkan, banyak orang yang mempercayakan hartanya untuk dititipkan kepada beliau. Akan tetapi segala kepercayaan itu ternyata semua tidak berguna ketika beliau menyampaikan tentang kebenaran ayat kepada kaumnya.
Hal ini dapat dilihat dalam suatu riwayat menceritakan, Muhammad berada di tengah-tengah kaumnya berbicara dengan lantang “apakah kamu percaya apabila aku kabarkan bahwa dibelakang gunung ada sepasukan kuda musuh yang datang akan menyerang?” dan serempak mereka menjawab “ya kami percaya”. Begitu percayanya mereka pada perkataan Muhammad. Akan tetapi, saat Muhammad menyatakan dirinya Rasul Allah, serempak mereka tidak mempercayainya.
Hal ini mengajarkan kepada kita bahwa cara berpikir manusia pada umumnya akan membelenggu dan mengungkungi jiwa dan hati manusia dalam menerima kebenaran. Sungguh pun jiwa dan logika manusia sebenarnya mengenali bukti kebenaran itu.
Hal ini juga mengajarkan kepada kita bahwa segala macam gelar keilmuan dan berbagai atribut keduniawian sebenarnya juga tidak akan berguna untuk meyakinkan manusia tentang kebenaran yang sesungguhnya yang berasal dari Rabb yang Maha Tahun. Nampak bahasanya yang terjadi apabila konsep berpikir yang sudah mentradisi atau turun-menurun telah mengakar dalam diri manusia apabila dibenturkan dengan kebenaran wahyu dari Rabb Pencipta mereka sendiri tetap saja mereka secara terang-terangan akan menolaknya.
Hal ini disebabkan karena konsep berpikir semacam ini hanya berorientasi kepada dunia saja dan hanya melihat segala sesuatu secara lahiriyah saja dan tak mampu melihat kehidupan ini secara utuh bahwa dibalik hal-hal nyata yang dilihatnya ada sesuatu yang tak dapat diindra dan dijangkau oleh akalnya sehingga tidak pernah memberikan kesadaran mengenai arti dan tujuan kehidupan.
Demikianlah, penolakan demi penolakan datang bertubi-tubi dialami Rasululullah. Sempat terjadi kebingungan yang mempengaruhi diri beliau karena reaksi yang timbul itu terjadi secara terus-menerus. Belaiu mencoba memahamid an menghayati atas sikap-sikap penolakan itu.
Apakah ada sesuatu yang salah pada yang beliau kerjakan atau yang beliau sampaikan itu? bukankah pelajaran yang disampaikannya adalah sesuatu yang diturunkan oleh Rabb pecipta mereka sendiri yang akan mengajarkan bagaimana seharusnya mereka membentuk dan menjalani kehidupan dimuka bumi ini!! Disaat beliau mencoba memahami dan menghayati atas sikap-sikap penolakan itu, Allah menurunkan surat Al-Qalam ayat 1 s/d 7, dimana Allah memberikan pengarahan kepada Rasulullah dalam menghadapi hambatan dan kenyataan yang sedang dihadapinya itu. Menyiapkan mental beliau dalam menghadapi akibat menjalankan surat al Mudatstsir.
Jadi hal ini sekaligus menjawab pendapat beberapa riwayat yang menyatakan bahwa surat ini adalah surat yang kedua turun sesudah surat Al-Alaq, padahal apabila kita perhatikan persoalan yang tersebut dalam surat ini, dapat kita perkirakan bahwa surat ini diturunkan setelah Rasulullah berdakwah secara terang-terangan kepada masyarakatnya (kaum Quraisy), yaitu setelah turunnya surat Al-Mudatstsir. Berikut isi surat Al-Qalam ayat 1 s/d 7 tersebut :

 Nuun, Walqolami wamaa yasturuun (1) maa anta bini'mati robbika bimajnuun (2) wa-inna laka la ajron ghoiro mamnuun (3) wa innaka la'alaa khuluqin 'adziim (4) fasatubshiru wayubshiruu (5) biayyikumul maftuun (6) inna robbaka huwa a'lamu biman dholla 'an sabiilihi wahuwa a'lamu bilmuhtadiin (7)

nuun, demi al qolam dan apa-apa yang mereka gariskan (1) tidaklah kamu dengan nikmat Rabb-mu ini kamu menjadi gila (2) dan sesungguhnya bagi kamu benar-benar balasan yang tidak ter-angan-kan (3) dan sesungguhnya kamu benar-benar berakhlak yang agung (4) maka kelak kamu akan melihat dan mereka (orang-orang kafir)pun akan melihat (5) siapa di antara kamu yang gila (6) sesungguhnya Tuhanmu, dia-lah yang paling mengetahui siapa yang sesat dari jalan-nya; dan dia-lah yang paling mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk (7)

1. NUUN
Surat ini dimulai dengan huruf Nun, yang dibaca panjang. Seolah-olah apabila kita baca akan menggambarkan suatu raut muka orang yang sedang bingung, dan apabila kita coba  untuk mencari pengertian dari huruf Nun ini juga akan menimbulkan kebingungan pula bagi pembacanya, karena ini hanya berupa huruf yang tidak memiliki pengertian. Mengapa memilih huruf Nun, tidak huruf hijaiyah yang lain?
Kita tidak tahu pasti tetapi kita yakin pastilah Allah tidak memilih huruf ini secara acak tanpa suatu rencana, tentulah ada maksud dibalik Allah menurunkan huruf Nun ini mengawali surat al Qolam.
   Bukankah gambaran ini seperti keadaan yang juga terjadi dalam diri Rasulullah saat menerima wahyu ini? Kebingungan!. Seolah-olah ada keterkaitan antara keduanya, mengartikan suatu simbol kebingungan Rasulullah. Seolah-olah Sang penerima wahyu sedang dalam kebingungan.
   Akan tetapi bukankah tidak penting mengartikan huruf Nun ini, sebab nanti di surat-surat yang lain kita juga akan temui huruf-huruf yang di awal ayat dimulai dengan huruf seperti Ali Lam Miim, Tho Ha, 'Ain Siin Qoof dan masih ada yang lainnya. Sebuah keunikan dari metoda Allah swt dalam menurunkan wahyunya, seolah-olah melalui rangkaian huruf-huruf yang tak memiliki arti ini, targetnya hanya untuk memunculkan ketertarikan 'rasa ingin tahu lebih' daripada satu huruf nun.
Demikianlah salah satu metoda Allah dalam menarik perhatian seseorang. Kalau didalam menurunkan surat Al-Alaq digunakan cara mempertemukan beliau dengan malaikat Jibril, agar perhatian beliau tertuju sepenuhnya terhadap apa yang disampaikan malaikat Jibril. Kemudian tertarik kepada apa yang diperintahkan kepadanya. Sehingga ada kesiapan dalam dirinya menerima wahyu.
Cara lainnya adalah dengan menyentakkan suatu sebutan dikaitkan dengan keadaan atau ciri yang melekat pada dirinya. Sebagaimana yang kita lihat dari surat  Al-Muzammil dan Al-Mudatstsir, dimana beliau dipanggil dengan “Yaa ayyuhal Muzammil” ataupun “Yaa ayyuhal Mudatstsir” yang artinya berkemul atau berselimut. Semua cara atau metoda itu bertujuan sama yaitu untuk menarik perhatian, membuat orang berkonsentrasi dengan apa yang akan disampaikan.
WAL QOLAAMI WA MAA YASTHURUUN-DEMI AL QOLAM DAN APA-APA YANG MEREKA GARISKAN,-
Allah bersumpah dengan al-Qalam dan demi apa-apa yang mereka gariskan. Arti Qalam disini secara bahasa berarti pena atau sesuatu yang diruncingkan ujungnya. Tetapi sungguh pun al Quran turun dalam bahasa Arab namun istilah ini telah menjadi istilah al Quran, dengan definisinya sendiri pula. Jadi tidaklah tepat kalau kita mengartikan pena ini diartikan secara pengertian bahasa. Dan bagi Rasululllah dimana beliau sudah menghayati pengertian al Qalam ini sejak turunnya wahyu pertama surat al Alaq ayat ke-4, Allah berfirman “alladzi 'allamal bil qalam”.
Maka jelaslah arti qalam itu sendiri menurut ayat ini adalah sesuatu yang dijadikan Allah untuk mengajar. Dan ketika al qalam ini dijadikan sumpah oleh Allah maka semakin jelaslah artinya bukan pena. Tetapi maksudnya adalah wahyu yang kemudian tertulis secara abadi di dalam kitab yaitu al Quran.
Sedangkan Maa Yasturuun adalah apa-apa yang mereka gariskan, yasturuun merupakan kata kerja yang berarti 'menggaris'. Apa yang dimaksud dengan 'garisan' disini? yaitu sikap di dalam menanggapi dakwah yang disampaikan oleh Rasulullah dengan segala rencana yang disusun dan dibuat manusia untuk melumpuhkan atau bahkan menghancurkan dakwah beliau. Jika fakta sejarah mengungkap tradisi kaum musyrikin Mekkah dalam menanggapi dakwah nabi dihadapi secara bersama-sama, yaitu selalu mengadakan rapat-rapat. Dan dalam pertemuan rapat itu menghasilkan garisan-garisan berupa rencana-rencana, kemudian dari rencana tersebut menghasilkan suatu keputusan. Hasil keputusan itu kemudian dituangkan dalam bentuk tulisan, tiada lain isinya berisi segala strategi untuk menyerang dakwah. Tulisan itulah yang disebut maa yasturuun. Jika manusia mampu membuat garisan, tentulah Allah pun juga lebih mampu membuat garisan. Inilah 'garisan' yang akhirnya menunjukkan satu sikap penolakan atau penerimaan terhadap wahyu. Inilah yang dimaksud ma yasturuun suatu garisan yang membedakan apa yang berasal dari Rabb dan apa-apa yang direkayasa manusia untuk menolak akan ayat.
Bukankah yang dilakukan orang-orang tersebut tidak hanya terjadi dijaman Rasulullah saja? Bukankah sampai saat ini hal itu juga terjadi pada semua manusia yang mencoba menolak apa-apa yang berasal dari Rabb? Mereka menyusun rencana-rencana yang tertuang didalam suatu keputusan yang tertulis pula. Allah bersumpah dengan Al-Qalam yaitu apa-apa yang diwahyukan-Nya dengan membandingkan apa-apa yang berasal dari manusia. Sebuah perbandingan yang kontras, membandingkan yang berasal dari Rabb dengan sesuatu yang berasal dari manusia (yang merupakan ciptaan-Nya). Jadi dengan persumpahan ini dimaksudkan untuk menjawab segala kebingungan Rasulullah.

2.  MA ANTA BINI'MATI RABBIKA BI MAJNUUN -TIDAKLAH KAMU DENGAN NIKMAT RABB-MU INI KAMU MENJADI GILA.-
Kata “ma anta...”(tidaklah kamu...) jelas menunjukkan bahwa beliau telah terpengaruh dengan tuduhan orang kafir  terhadap dirinya bahwasannya beliau majnun.  Penegasan kalimat 'tidaklah kamu' suatu bentuk penafian Allah swt kepada diri nabi bahwa apa yang telah beliau kerjakan di mata Allah sudah benar.
      Sedangkan kata Majnuun harfiahnya berarti gila yaitu adanya kerusakan pada syarafnya. Padahal sesungguhnya kondisi Rasulullah secara lahir ataupun pikiran tidaklah demikian. Inilah tuduhan yang dilemparkan orang kafir kepada beliau, sebagai salah satu strategi yang dilancarkan oleh orang kafir untuk menghambat dakwah Rasulullah.
Hal tersebut hanyalah sebagai upaya mereka didalam usahanya membendung atau menghambat dakwah Rasulullah. Apalagi ketika itu misi dakwah beliau mulai disampaikan tidak hanya dikalangan kaumnya saja tetapi lebih meluas sampai kepada para jamaah haji yang datang ke Mekkah. Dimana Haji pada waktu itu adalah tradisi turun-temurun yang merupakan peninggalan ajaran nabi Ibrahim. Sedemikian takutnya mereka terhadap dakwah Rasulullah jika berhasil mempengaruhi orang-orang tersebut.
Maka mulailah disebarkan fitnah untuk membunuh karakter beliau yaitu dengan melontarkan isu bahwa Muhammad adalah “orang gila”, dan ternyata cara itu sedikit banyak mempengaruhi pendapat masyarakat tentang sosok Muhammad.
     Walaupun pada akhirnya apapun cara mereka untuk menghambat dakwah terbukti gagal. Mereka tidak mampu membendung hakekat kebenaran yang dibawa Rasulullah dalam dakwahnya.  
     Walaupun masyarakat disekitarnya menganggap bahwa apa yang diperbuatnya adalah suatu kegilaan, namun tidaklah demikian menurut Rabb-nya. Melalui ayat ini Allah mengingatkan bahwa apa-apa yang telah diterima Rasulullah berupa pengajaran pada hakekatnya adalah nikmat.
        Allah memberikan kepastian bahwa apa yang diajarkan dan diterima Rasulullah dari Rabb-nya merupakan sesuatu yang haq, dan beliau bukanlah orang seperti apa yang mereka tuduhkan. Allah menjamin dengan pasti bahwa beliau adalah orang yang berada pada garis lurus kebenaran dan tidak sekalipun berada di garis yang menyimpang!!!
Maka terbayang oleh kita alangkah bodohnya manusia dengan segala pengetahuan pada sisi mereka ketika menyikapi suatu hakekat kebenaran. Ketika manusia dengan segala  pengetahuannya mencoba untuk menilai apa-apa yang telah diturunkan Allah.
Alhasil mereka menganggap apa yang hakekatnya benar, justru dianggap salah. Beginilah tradisi berfikir manusia, sebenarnya apa yang mereka sebut sebagai metodologi ilmiah, bukti empiris, logika, dan teori, yang telah menghasilkan ilmu pengetahuan dan teknologi, pada dasarnya sama sekali tidak bermanfaat untuk mencapai hakekat kebenaran, akibatnya justru kesalahan dan kesesatan yang terjadi.
Sebenarnya secara logika berpikir manusia, apabila begitu banyak orang yang menyebut bahwa seseorang itu gila, tetapi hanya satu pendapat saja yang menyatakan bahwa dia itu tidak gila, maka pendapat satu orang tersebut tidaklah dapat dipercayai. Namun bagaimana jika yang menyatakan itu adalah suara Wahyu..!!!
Maka tentulah pernyataan itu tidak perlu diragukan atau dipertanyakan lagi oleh kita.
Jadi tuduhan-tuduhan yang ditujukan kepada Rasulullah yang menyatakan bahwa beliau gila hanyalah semata-mata keterbatasan pengetahuan mereka yang tidak mampu untuk melihat hakekat kebenaran. Pemikiran inilah yang sempat ada dibenak Rasulullah ketika menjalankan perintah anzir tersebut. Padahal beliau sebenarnya telah mendapatkan nikmat dari Rabb-nya.
Bukankah kita manusia yang serba terbatas... yang seringkali kita menilai sesuatu dari akibat yang diterima karena suatu perbuatan dengan melupakan nikmat yang diperoleh. Seperti seorang petani yang berdoa memohon agar tanamannya tumbuh subur dan berbuah lebat dan ketika tanamannya telah tumbuh subur dan berbuah lebat ternyata harganya jatuh, dan ia pun merasa rugi padahal dia sudah menerima nikmat karena doanya terkabul. Karena buah yang lebat adalah nikmat, sedangkan harga yang jatuh adalah hal yang lain lagi. Beginilah kita sering lupa telah menerima nikmat. Jadi bisa direnungkan betapa terbatasnya pengetahuan manusia itu. Sehingga ayat inilah yang menjadi jawaban atas keraguan dan kegelisahan beliau bahwa... Allah telah membenarkan segala apa yang telah diperbuatnya. 

3. WA INNAKA LA AJRON GHOIRO MAMNUUN -DAN SESUNGGUHNYA BAGI KAMU BENAR-BENAR MENDAPAT BALASAN YANG TIDAK TER-ANGAN-KAN (TERPUTUS).
Demikianlah ayat ini menjelaskan bahwa apa yang beliau lakukan, semenjak turunnya wahyu yang dimulai dari surat al 'alaq, kemudian al muzammil hingga al mudatstsir bukanlah suatu perbuatan yang sia-sia. Sebab menurut sudut pandang manusia bahwasanya perbuatan yang tidak menghasilkan perolehan materi adalah sesuatu yang sia-sia. Sesungguhnya  apa yang telah dilakukan oleh Rasulullah seperti mengerjakan shalat malam, kemudian berdakwah merupakan sesuatu yang justru dinilai tinggi oleh Allah dan akan memperoleh balasan atau upah yang tinggi pula.
Allah menjanjikan sesuatu yang pasti kepada Rasulullah yaitu jaminan akan mendapatkan upah atau balasan yang tidak terbayangkan banyaknya, dikarenakan Rasulullah telah menjalankan perintah dari Rabb-nya dan bersabar atas segala hambatan dan tantangan yang muncul diakibatkan menjalankan perintah tersebut.Upah atau balasan yang dijanjikan Allah tersebut tidak selalu hanya berupa materi saja, tetapi dapat berupa nikmat yang tiada terputus-putus, tidak terbayangkan betapa banyaknya nikmat yang diterima itu, baik nikmat yang diberikan pada jiwa (perasaan bahagia, kesenangan atau ketentraman) dan raga (kesehatan), baik di dunia maupun di akhirat.
Tiada satupun yang dapat menandingi nikmat yang diberikan Allah, sebagai sesuatu yang dijanjikan dan Allah tidak akan mengingkari janjiNya.
    Hal ini telah dibuktikan, sebagaimana diriwayatkan bahwa bagaimana kehidupan Rasulullah dan para sahabat yang berjuang bersama beliau dijalan-Nya, didunia ini yang diliputi kebahagiaan dan kenikmatan. Walaupun Rasulullah hidup dalam kesederhanaan, dengan makan dan tidur dengan keadaan yang serba sederhana. Tetapi beliau berani memberikan apapun yang ada pada dirinya untuk menjalankan wahyu, dikarenakan keyakinan beliau bahwasanya semua itu akan diganti Allah. Tiada beda pula dengan apa yang dilakukan para sahabat.
Disamping itu pengertian upah diperluas tidak hanya diterima didunia tetapi diperluas sampai ke akhirat sebagaimana ditegaskan dalam QS.Yusuf ayat 57 : “Dan upah (pahala) akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang beriman, sedangkan mereka bertakwa” dan QS.An Nahl ayat 41 : “Dan sungguh upah (pahala) akhirat itu lebih besar, kalau mereka mengetahui”. Jadi bukankah janji Allah untuk memberi upah tersebut sebenarnya tiada pernah akan terputus, yang diperuntukkan bagi Rasulullah dan orang-orang yang mengikutinya. Jadi tidaklah perlu ada keraguan dalam menjalankan perintah-Nya seperti apa yang telah dicontohkan oleh Rasulullah. Itupun jikalau manusia mau berpikir lebih mendalam. Sungguh Allah tidak akan pernah mengingkari janji-Nya.

4. WA INNAKA LA'ALAA KHULUQIN 'ADZIIM -DAN SESUNGGUHNYA KAMU BENAR-BENAR BERAKHLAK YANG AGUNG.-
    Inilah pengakuan atau pujian Allah terhadap diri Rasulullah, bahwa beliau telah menjalankan segala apa yang diperintah Allah dengan benar dan sempurna. Tentulah yang dimaksud adalah sikap dan perbuatan yang beliau tunjukkan didalam menanggapi wahyu-wahyu yang turun sebelumnya. Yaitu bagaimana beliau merubah total cara berpikir dan pandangan hidupnya didalam menanggapi turunnya surat Al-Alaq. Sehingga tumbuh didalam dirinya kesiapan dan kemauan untuk menerima dan menjalankan ayat. Sebagaimana beliau melakukan shalat malam secara membabi buta tanpa memperdulikan ekses yang timbul dan berubah pula cara hidupnya. Terbukti dari dimulai dari malam yang seharusnya tidur justru beliau gunakan untuk shalat malam tanpa peduli sedikitpun apa yang akan terjadi pada keesokan harinya. Begitupula dengan jatuh bangunnya beliau didalam menjalankan perintah inzar dikarenakan turunnya surat Al-Mudatstsir dimana beliau menjalankan perintah tersebut dengan penuh kesabaran didalam menghadapi beratnya  cobaan di medan dakwah.
Inilah contoh nyata yang beliau tunjukkan dan diakui benarnya oleh Allah. Beginilah seharusnya seorang mahluk semestinya bersikap dan membina suatu hubungan kepada Khalik Penciptanya. Inilah akhlak yang agung itu! tidak hanya sebatas membangun hubungan baik antara sesama mahluk atau insan, baik kepada keluarga, orangtua, tetangga, maupun masyarakatnya. Justru Yang terpenting  hubungan antara dirinya sebagai mahluk dengan khaliknya yang mesti tegak terlebih dahulu, karena akhlak kepada mahluk itu hanya merupakan cerminan dari akhlak kepada khaliknya. Beginilah akhlak itu semestinya dipahami, tidak sebatas nilai-nilai moral, etika atau budi pekerti yang terlepas dari nilai-nilai yang telah ditetapkan oleh Rabb pencipta seluruh manusia.
Jadi dapat kita tarik kesimpulan bahwa apa yang beliau lakukan itu telah benar. Tidak ada yang perlu dirubah dengan membuat strategi, kiat, siasat atau teori sebagai konsep-konsep dari diri sendiri didalam menanggapi dan menyelesaikan masalah yang timbul sebagai akibat menjalankan wahyu. Nampak terjadi peperangan didalam jiwa Rasulullah, disatu sisi beliau telah menjalankan perintah Rabbnya. Sedangkan disisi lain timbulnya tanggapan dari masyarakat yang begitu keras akan dakwah beliau.
Tetapi karena Rabbnya telah meyakinkan bahwa yang telah dilakukan beliau telah sesuai dengan petunjukNya, bahwa pikiran ataupun tindakan merekalah yang salah. Maka timbullah kembali kepercayaan diri beliau untuk terus berbuat sesuai apa yang diperintahkan-Nya yaitu dengan hanya menunggu instruksi melalui wahyu yang datang selanjutnya.
Sebagaimana diriwayatkan ketika Aisyah ditanya tentang akhlak Rasulullah, jawabnya adalah akhlak beliau adalah Al-Qur'an.
Sebab Aisyah hanya melihat bahwasanya apa yang ada dalam diri Rasulullah segala ide, cara berpikir, tata nilai, tingkah laku yang dikerjakan Rasulullah hanya dipengaruhi oleh wahyu. Beliau sedikitpun tidak dipengaruhi atau mengambil dari nilai-nilai tradisi lingkungan Arabnya. Seseorang itu tidak akan mencapai akhlak yang sebenarnya kecuali segala sisi kehidupannya dipengaruhi dan dibentuk oleh al Quran saja.
Jadi hal ini menegaskan bahwa tidak ada yang dapat membentuk akhlak yang agung kecuali Al-Qur'an. Walaupun sebelum turunnya wahyu Muhammad telah diakui mempunyai kemuliaan akhlak menurut penilaian manusia, tetapi bukan itu yang dimaksud dengan akhlak yang agung. Beliau dianggap sebagai orang yang “dholam” yang artinya tak bernilai (QS. Adh-Dhuha:7) sebelum turunnya wahyu.     

[5] FASATUBSHIRU WA YUBSHIRUUN, [6] BIAYYIKUMUL MAFTUUN -MAKA KAMU AKAN MELIHAT DAN MEREKA PUN AKAN MELIHAT, SIAPA DI ANTARA KAMU YANG GILA -
    Maftuun adalah Gila karena Fitnahan atau tuduhan, sedangkan Beliau merasa tidak melihat ciri-ciri Gila pada dirinya.
Dan Kaum Musyrikin dengan melontarkan tuduhan terbut bermaksud agar membuat masyarakat menjauh dan tidak mempedulikan apapun yang berasal dari Muhammad. Kondisi terfitnah seperti inilah yang dirasakan Rasulullah saat itu.
Maka pada ayat ini Allah menyuruh nabi untuk melihat bukti yang akan terjadi, siapakah sebenarnya yang akan merasakan akibat dari fitnahan tersebut, dimana orang-orang kafir akan termakan oleh strategi dan rencana-rencana mereka sendiri. Sehingga dari ayat ini seakan-akan menertawakan segala macam strategi yang telah mereka buat tersebut sebagai bentuk perbuatan yang bertentangan dengan kenyataan yang ada.
Tentulah, dalam hal ini posisi Nabi adalah hanya menjadi orang yang menunggu dan menyerahkan masalah ini pada wahyu selanjutnya yang akan digunakannya sebagai petunjuk. Tanpa perlu membuat strategi dan siasat yang berasal dari diri ini sendiri. Sebab, Allah telah berjanji dan sudah punya rencana dan strategi sendiri yang akan mengarahkan beliau dalam menghadapi segala masalah yang timbul.
    Sehingga amatlah tidak perlu mencari cara sendiri dalam menghadapi benturan dari kaum Musyrikin Mekkah karena rencana Allah sudah pasti bahwa agamaNya pasti wujud di muka bumi. Dan tentunya bagi kita yang hidup sekarang ini dapat melihat bukti kebenaran dari pada ayat ini di mana kita pun telah mengetahui apa yang kemudian terjadi pada diri nabi dan apa pula yang terjadi pada orang-orang yang menentang dakwah beliau.
Maka tergambarlah oleh kita bagaimana beliau telah dididik dan diarahkan untuk hanya berpetunjuk pada ayat saja tanpa yang lainnya. Dan beginilah cara beliau beriman terhadap al-Quran.
7) INNA ROBBAKA HUWA A'LAMU BIMAN DHOLLA 'AN SABIILIIH, WAHUWA A'LAMU BIL MUHTADIIN -SESUNGGUHNYA RABB KAMU, DIA-LAH YANG LEBIH MENGETAHUI SIAPA YANG SESAT DARI JALAN-NYA; DAN DIA-LAH YANG LEBIH MENGETAHUI ORANG-ORANG YANG BERPETUNJUK.
   Ukuran yang menyatakan bahwa seseorang itu sesat ataukah berpetunjuk adalah berasal dari Allah, bukan dari penilaian manusia. Berarti Allah juga yang akan mengajarkan atau memberi tahu bagaimana ciri-ciri orang yang sesat dan berpetunjuk. Jadi demikianlah Allah menegaskan kepada Rasulullah yang mencoba membawa manusia kearah petunjuk.
Bahwa di medan dakwah akan banyak ditemui hambatan, rintangan dan perlawanan yang juga mengatasnamakan kebenaran, yang mungkin akan menggoyahkan keyakinan. Jadi mestilah diyakinkan terlebih dahulu apakah dirinya telah berada dijalan Rabb, dasar berbuat adalah ayat, dan yang disampaikan juga haruslah ayat yang telah diturunkan Rabb.
Dan dalam hal ini hendaklah kita mengetahui bahwasanya janganlah menjadi merasa dipusingkan atas hambatan, rintangan dan masalah yang dihadapi didalam berdakwah. Allah punya rencana dan Allah pasti tahu segala reaksi yang akan timbul. Allah-lah yang lebih tahu. Tugas kita hanya menyampaikannya.
Inilah wahyu keempat yang turun kepada Nabi, berisi pengarahan-pengarahan Allah kepada Rasul berkenaan dengan masalah-masalah yang timbul sebagai akibat beliau melakukan indzar dikarenakan  menjalankan perintah surat al-Mudatsir. Dimulai dengan persumpahan yang membandingkan apa yang berasal dari Allah dan apa yang dibuat oleh manusia. Perbandingan yang demikian kontras, dimana ilmu Allah diperbandingkan dengan ilmu manusia. Sehingga dengan cara ini Rasulullah kembali sadar dengan hakekat persoalan yang sedang terjadi. Beliau yang sebelumnya menjadi goyah oleh penilaian manusia yang menyatakan dirinya gila, mulai dapat menghayati mengapa mereka menilai demikian.. hal ini tidak lain dikarenakan begitu dangkalnya pengetahuan yang dimiliki manusia. Sehingga beliau mulai dapat merasakan bahwasanya dirinya sesungguhnya adalah orang yang telah menerima nikmat.
Ketika manusia menilai beliau memiliki akhlak yang buruk dikarenakan berani melawan tradisi dan agama para leluhur, tetapi lain dengan  Allah yang  justru menilai bahwasanya apa yang telah beliau lakukan didalam rangka membenarkan ayat melalui wahyu-wahyu yang sebelumnya walaupun harus berbenturan dengan siapapun justru merupakan sikap dan tindakan yang benar yang ditunjukkan seorang makhluk  kepada khalik penciptanya dengan menyebutnya sebagai manusia yang berakhlak agung.  Dengan demikian tidak ada yang perlu dirubah lagi dari cara beliau menjalankan wahyu. Semuanya itu sudah benar, tak perlu ada strategi, tak perlu ada siasat dan tak perlu ada inovasi dalam konsep berbuat. Demikianlah pesan-pesan penting dalam surat al-Qalam memberikan kepada beliau arahan-arahan yang jelas bagaimana beliau memandang dan menyelesaikan masalah-masalah yang timbul dan mengembalikan kembali kesadaran beliau sebagai orang yang menerima pengajaran dari Rabbnya.
Inilah bukti bagaimana beliau telah mencontohkan kepada kita bagaimana semestinya beriman dan membenarkan ayat. Dengan demikian inilah yang dapat kita ambil sebagai pelajaran didalam mempelajari kelompok-kelompok ayat yang turun mengawali isi al-Quran.Maka kemana lagi kita akan bercermin tentang akhlak kita? MENJADI “YANG SESAT” dengan berpegang pada yang digariskan manusia (mastur) atau MENJADI “YANG BERPETUNJUK” dengan berpegang pada yang digariskan Allah (Al Qolam/Al Quran) ADALAH SEBUAH PILIHAN. Bukankah Allah telah memberikan jaminan kepada setiap jiwa yang memilih untuk berpegang teguh pada petunjuk, berupa balasan yang tiada pernah putus dan datangnya masa yang akan membuktikan semua kebenaran petunjukNya.
Lalu masihkah kita berpikir tentang pilihan yang sudah jelas balasannya dihadapan Allah tersebut? Bukankah memilih menjadi yang berpetunjuk adalah sebuah keniscayaan bagi setiap jiwa yang bersyukur atas datangnya nikmat? Sungguh, Allah Maha Mengetahui siapa yang sesat dan siapa yang berpetunjuk.

Kamis, 14 April 2011

Tipu Daya Zionis dan Salibis


Pada kenyataannya, ada keraguan yang besar, apakah orang-orang ateis itu melakukan semua perbuatan mereka secara jujur karena dorongan pribadi mereka? Karena berdasarkan fakta, gerakan ateisme itu dimulai dengan memerangi kekuasaan gereja. Kemudian hal itu dimanfaatkan oleh orang Yahudi untuk kepentingan mereka. Yaitu, untuk menghancurkan fondasi dasar kehidupan mausia. Sehingga, di atas bumi ini tidak ada umat manusia yang memiliki fondasi dasar yang kuat ini selain mereka -seperti yang mereka katakan dalam Protokol-protokol Pemimpin Zionis. Akibatnya, runtuhlah kemanusiaan itu dan akhirnya mereka bertekuk lutut di bawah kekuasaan zionis. Karena hanya orang-orang zionis itulah pada akhirnya yang tetap berdiri di atas sumber kekuatan hakiki, yang diberikan oleh akidah itu!
Secanggih apa pun kemampuan tipu daya dan konspirasi orang-orang Yahudi, mereka tetap tidak mampu mengalahkan fitrah manusia. yakni, fitrah yang didalamnya terdapat keimanan terhadap keberadaan tuhan, meskipun kadang tidak dapat mencapai pengetahuan tentang Tuhan yang Haq dengan sifat-sifatNya yang Haq. Juga kadang tersesat karena tidak mentauhidkan kekuasaan Tuhan dalam kehidupannya. Sehingga, ia pun mendapatkan status musyrik dan kafir karenanya.
Namun, sebagian orang ada yang rusak fitrahnya, dan perangkat penerimaan serta tanggapan fitrahnya telah rusak pula. Jiwa-jiwa seperti ini sajalah yang dapat dipengaruhi oleh tipu daya Yahudi, yang bertujuan menghapuskan keberadaan Allah dari diri mereka. Tapi, jiwa-jiwa yang rusak fitrahnya ini, tetaplah akan menjadi barang langka dalam lingkup umat manusia secara keseluruhan sepanjang sejarah. Orang-orang ateis  yang sebenarnya, di atas muka bumi, saat ini hanyalah berjumlah beberapa juta orang saja- di Rusia maupun Cina dari ratusan juta orang rakyat mereka yang dipimpin dengan tangan besi. Padahal, mereka telah berusaha keras selama lebih dari empat puluh tahun untuk mencabut keimanan ratusan rakyat mereka dengan segenap perangkat pendidikan dan media massa.
Orang-orang Yahudi hanya berhasil dalam bidang lain. Yaitu, mengubah agama menjadi hanya sekedar spiritualitas dan ritual kosong. Mereka mencampakkan ajaran-ajaran agama dari realitas kehidupan. Sambil memberi kesan kepada orang-orang yang mempercayai agama bahwa mereka tetap berada dalam keimanan kepada Allah, meksipun ada tuhan-tuhan kecil yang menyusun aturan bagi kehidupan mereka, selain Allah! usaha mereka itu akhirnya benar-benar dapat menghancurkan kemanusiaan, meskipun manusia tetap menyangka  bahwa mereka masih beriman kepada Allah.
Mereka terutama membidikkan rencana jelas itu kepada Islam, sebelum seluruh agama lainnya. Pasalnya, mereka  mengetahui dari sejarah mereka seluruhnya bahwa mereka hanya dapat dikalahkan oleh agama Islam, ketika agama ini aktif mengatur kehidupan. Sementara mereka dapat mengalahkan dan memperdayakan pemeluk Islam, selama kaum muslimin tidak menjalankan ajaran Islam dalam kehidupan mereka, meskipun mereka tetap merasa sebagai orang Islam yang beriman kepada Allah. Upaya membius manusia dari keberadaan agama ini, dengan mengatakannya bahwa agama pada dasarnya tidak ada dalam kehidupan manusia, adalah sesuatu yang menjadi keniscayaan agar konspirasi kotor mereka itu berhasil. Sehingga Allah membangkitkan manusia dari keterbiasaan mereka!
Orang-orang Yahudi-Zionis dan orang-orang Nasrani-Salibis telah kehilangan akal menghadap agama kita di wilayah Islam yang luas ini, baik di Afrika, Asia dan Eropa. Mereka telah berputus asa untuk mengubah pemeluk agama ini menjadi ateis, melalui pelbagai aliran materialis. Mereka juga telah berputus asa untuk mengubah kaum muslimin menjadi pemeluk agama lain, melalui jalan misionarisme maupun kolonialisme. Karena fitrah manusia itu sendiri merasa asing dan menolak ateisme, bahkan di kalangan orang-orang pagan sendiri, apalagi kaum muslimin. Agama manapun tidak ada yang dapat merebut hati seseorang yang telah mengenal Islam, meskipun itu hati orang yang mengenal Islam melalui warisan nenek moyang.
Akibat keputusasaan mereka terhadap agama ini, maka orang-orang Yahudi-Zionis dam Nasrani-Salibis mengubah taktik mereka dalam menghadapi Islam. Jika dulu mereka menghadapi Islam melalui konfrontasi langsung melalui jalan komunisme atau misionarisme, kini mereka menggunakan cara lain yang lebih keji dan taktik lain yang lebih canggih. Yaitu mereka mendirikan pelbagai lembaga dan LSM di wilayah-wilayah Islam yang menampilkan simbol-simbol Islam, mengakui akidahnya, dan tidak menolak agama Islam ini secara total. Kemudian, dengan tampilan yang menipu itu, lembaga-lembaga tersebut menjalankan seluruh program yang dirancang oleh konferensi-konferensi misionaris dan protokol-protokol Zionis, yang sebelumnya tidak dapat dilakukan oleh mereka secara langsung, dalam waktu yang lama sekali.
Lembaga-lembaga atau LSM itu menampilkan diri dengan mengangkat bendera Islam, atau setidaknya mengatakan penghormatan mereka terhadap agama. Padahal, kenyataannya mereka mengkampanyekan ajaran yang bertentangan dengan agama Allah. mereka mencampakkan syariat Allah dari kehidupan, menghalalkan apa yang diharamkan Allah, menyebarkan pola pandang dan nilai-nilai materialisme tentang kehidupan dan akhlak yang tidak islami, menggerakkan seluruh media massa untuk menghancurkan nilai-nilai akhlak Islam, dan mencampakkan segenap ajaran dan kecenderungan agamis.
Selain itu, mereka menjalankan seluruh program yang digariskan konferensi-konferensi misionaris dan protokol-protokol para pemimpin zionis. Yaitu, keharusan mengeluarkan wanita muslimah dari rumah ke jalan-jalan. Kemudian menjadikannya sebagai fitnah bagi masyarakat, dengan slogan perkembangan, kemodernan, dan produktifitas. Sementara itu, jutaan tangan pekerja di negara-negara tersebut menjadi pengangguran dan tidak mendapatkan pekerjaan yang layak! Kemudian mereka mempermudah perangkat perusak moral, serta mendorong kaum pria dan wanita untuk berbaur dalam lapangan pekerjaan dan perkumpulan.
Semua itu mereka lakukan tetapi, mereka tetap mengklaim diri mereka sebagai umat Islam dan menghormati akidah Islam! Sementara masyarakat umum pun menyangka bahwa para pendusta hidup dalam masyarakat muslim, dan mereka juga masih menjadi orang Islam! Pasalnya, dalam pikiran masyarakat itu, bukanlah orang-orang yang saleh dari mereka tetap menjalankan shalat dan shaum? Sedangkan, tentang apakah haakimiah hanya bagi Allah atau bagi pelbagai macam tuhan, maka masyarakat telah tertipu oleh gerakan salibis, zionis, misionaris, kolonialis, oritentalis, dan pelbagai media massa propagandis, yang menyatakan bahwa hal itu tidak ada hubungannya sama sekali dengan agama. Selain itu, kaum muslimin juga tertipu dengan pendapat bahwa mereka tetap terus menjadi muslim dan berada dalam naungan agama Allah, meskipun seluruh kehidupan mereka dilakukan berdasarkan pola pandang, nilai, hukum, dan aturan-aturan yang bukan berasal dari agama Islam!
Untuk memperhebat tipuan dan penyesatan mereka itu, dan untuk makin menutupi peran Zionisme Internasiolisme dan Salibisme Internasional dalam konspirasi ini, maka mereka pun menciptakan pelbagai peperangan da permusuhan dalam pelbagai bentuk, antara mereka dan lembaga atau LSM-LSM yang mereka dirikan itu. LSM-LSM itu mereka jamin keberlangsungan hidupnya dengan cara sokongan materiil dan immateriil. Mereka jaga dengan kekuatan yang terang-terangan maupun tersembunyi. Mereka siapkan pena-pena para pakar mereka untuk membantu dan menjaganya secara langsung!
Perang buatan dan permusuhan teatrikal itu mereka lakukan agar tipuan mereka makin halus tak kentara. Juga untuk menjauhkan kecurigaan masyarakat umum dari para agen mereka yang menjalankan program-program jahat yang sebelumnya tidak dapat mereka lakukan sendiri selama tiga abad atau lebih. Misalnya, program penghancuran nilai-nilai dan akhlak serta mencampakkan akidah dan pola pandang Islam. Mereka menelanjangi umat Islam di wilayah yang amat luas ini, dari sumber kekuatannya yang utama. Yaitu, berjalannya kehidupan mereka berdasarkan ajaran dan syariat Islam. Mereka menjalankan rencana-rencana besar dan jahat yang telah digariskan oleh protokol-protokol zionis dan hasil konferensi-konferensi misionaris. Semua itu mereka lakukan di tengah kealpaan masyarakat muslim!
Jika setelah itu ada suatu wilayah yang tetap bertahan dan tidak jatuh dalam tipuan kotor mereka-tidak tunduk terhadap biusan agama palsu dan perangkat-perangkat keagamaan yang digunakan untuk mengubah-ubah ajaran Islam itu sendiri, menolak penamaan kekafiran sebagai Islam dan menolak penamaan kefasikan, kebejatan, dan amoralitas sebagai perkembangan, kemajuan dan pembaruan-maka segera mereka ciptakan perang fisik yang hebat di wilayah tersebut. Mereka lontarkan segenap tuduhan kotor kepada wilayah itu, dan mereka lumat wilayah itu sehancur-hancurnya. Sementara kantor berita internasional dan media massa internasional diam seribu bahasa, seperti orang bisu, tuli dan buta!
Sementara orang-orang Islam yang saleh namun picik pandangannya, melihat peperangan itu sebagai peperangan pribadi atau suku, yang tidak ada hubungannya dengan peperangan kekuatan luar terhadap agama Islam. Sehingga, mereka –bagi mereka yang memiliki fanatisme agama dan akhlak Islam- menyibukkan diri dalam kebodohan mereka dengan mengingatkan masyarakat terhadap pelanggaran dan kemungkaran-kemungkaran kecil. Setelah itu, mereka menyangka telah melaksanakan kewajiban mereka secara sempurna, dengan bermodal teriakan-teriakan parau mereka itu. Padahal, pada realitasnya, agama secara keseluruhan sedang dilumat habis-habisan dan dihancurkan dari dasarnya. Sementara kekuasaan Allah sedang dirampok total oleh para pencoleng, dan para taghut ‘tiran’- yang Allah perintahkan agar kita kafir terhadap mereka-menjadi penguasaan kehidupan manusia secara total tanpa tanding!
Melihat kebehasilan strategi dan taktik mereka itu, orang-orang Yahudi-Zionis dan Nasrani-Salibis akan bertepuk tangan dengan keras dalam kegembiraan. Padahal, sebelumnya mereka berputus asa dan kehilangan akal untuk menghabisi agama ini dengan gelombang ateisme atau gerakan misionaris, dalam waktu yang lama.
Namun, harapan kita kepada pertolongan Allah lebih besar. Keyakinan kita kepada agama ini lebih mendalam. Mereka boleh saja membuat strategi, tipu daya, dan konspirasi yang canggih, namun Allah akan mengalahkan semua strategi, tipu daya, dan konspirasi mereka itu. Allah berfirman:
“dan Sesungguhnya mereka telah membuat makar yang besar Padahal di sisi Allah-lah (balasan) makar mereka itu. dan Sesungguhnya makar mereka itu (amat besar) sehingga gunung-gunung dapat lenyap Karenanya. karena itu janganlah sekali-kali kamu mengira Allah akan menyalahi janji-Nya kepada rasul-raaul-Nya; Sesungguhnya Allah Maha perkasa, lagi mempunyai pembalasan. (Ibrahim: 46-47)

by : Sayyid Quthb Fii Dzilalil Quran