ALLAHU AKBAR .. ALLAHU AKBAR .. ALLAHU AKBAR .. ALLAHU AKBAR ..
Adzan telah dikumandangkan dengan seruan SANG MAHA BESAR. Mungkinkah selama ini kita lalai ketika mendengarnya dengan hanya mengabaikan dan tidak menyegerakan untuk meninggalkan seluruh aktifitas. Adzan bukan penanda datangnya waktu sholat. Melainkan sebuah panggilan dari Rabb untuk segera menegakkan sholat...
Di waktu masyarakat Islam telah terbentuk di Madinah. Maka shalat berjama'ah mulai ditegakkan, masjid-masjid mulai dibangun, syariat-syariat dan tata cara shalat telah diajarkan Rasulullah saw setahap demi setahap. Hingga sholat itu sudah seperti yang kita kerjakan sekarang.
Seperti yang kita ketahui, sejak perintah shalat diturunkan, sampai Nabi wafat, perbaikan dilakukan sedikit demi sedikit dimulai dari sholat malam yang ditentukan dalam surat Al-Muzzammil, kemudian setelah peristiwa Isro' Mi'roj turunlah perintah sholat 5 kali sehari semalam dengan waktu yang telah ditentukan.
Diwaktu ayat-ayat puasa turun, mulailah disyariatkan shalat tarawih dan shalat Ied. Kemudian shalat Istiqarah, Dhuha, Istisqo', sholat jenazah, sholat gerhana dan shalat-shalat lainnya berikut dengan tata caranya.
Lalu ketika kaum muslimin semakin ramai melaksanakan shalat berjamaah, sering ada orang yang ketinggalan, karena jam pada waktu itu belum ada dan pengukur waktu shalat hanya dengan matahari maka timbullah permasalahan di kalangan umat Islam. Sementara itu orang Yahudi dan Nasrani dari segi ini kelihatannya jauh lebih baik, karena mereka mempunyai cara yakni orang Nasrani memakai lonceng dan orang Yahudi memakai tabuh.
Akhirnya hal ini disampaikan oleh sahabat kepada Rasulullah saw dan beliau tidak menginginkan panggilan menuju sholat sama dengan cara orang Yahudi maupun Nasrani, hingga sampailah pada keputusan untuk mensyariatkan kalimat adzan yang dikumandangkan dengan suara keras. Jadi pada prinsipnya adzan itu memang dipergunakan untuk memanggil orang untuk melaksanakan shalat berjamaah.
Sehingga Rasulullah saw dalam menerapkan adzanpun pernah mengatakan: Dari Malik bin Huwairi , Nabi saw bersabda: “Jika telah datang (waktu) shalat maka seseorang kamu adzan untuk kamu dan hendaklah yang menjadi imam yang tua diantara kamu “ (H.R. Muthafaq 'Alaihi).
Jadi menurut hadits ini adzan itu dilakukan hanya untuk orang yang akan melaksanakan shalat berjamaah, sehingga hanya dilakukan ketika hendak melaksanakan shalat berjamaah. Maka masyarakat yang tidak mengenal apa arti shalat berjamaah tidak akan mengenal pula apa arti dan pentingnya nilai adzan.
Sementara kita melihat suatu kenyataan yang salah di tengah-tengah masyarakat, dimana mereka menganggap enteng, remeh, dan tak penting shalat berjamaah. Menganggapnya suatu amalan yang boleh ditinggalkan asalkan tetap mengerjakan shalat. Berjamaah atau tidak itu tidaklah penting. Karena kenyataan akan pandangan dan cara berfikir masyarakat seperti ini, maka amalah adzan pun dianggap hanya semata-mata pem-beritahuan masuknya waktu shalat saja.
Rasulullah sering menunjuk Bilal bin Rabbah untuk melakukan adzan, sehingga banyak orang memberikan gelar sebagai mu'adzinur-Rasul. Ketika beliau saw dalam perjalanan sedang gundah beliau meminta kepada Bilal untuk adzan supaya hati beliau tenang.
Hal ini disebabkan bacaan yang dikumandangkan dalam adzan kalau diperhatikan seluruhnya adalah Pernyataan akidah atau pernyataan tauhid.
Sesorang di dalam adzan menyebutkan “Allahu Akbar, Asyhadu anlaa ilaaha illal-lah, Asyhadu anna Muhammadar-Rasulullah, Hayya 'ala sh-Shalah, Hayya 'ala l- Falah, Allahu Akbar, Laa Ilaaha Illal-lah”Itu semua adalah pernyataan-pernyataan besar. Maka hendaknya kita pahami pernyataan-pernyataan itu dengan sepenuh hati.
ALLAHU AKBAR. Artinya hanya Allah yang besar. Kita serukan pernyatan itu kepada seluruh alam, kita teriakkan bahwa tidak ada yang besar kecuali Allah. Selain dari Allah adalah kecil. Tidak ada ide yang besar kecuali ide dari Allah. Tidak ada pengaruh yang besar kecuali pengaruh Allah. Tidak ada kepentingan yang besar selain kepentingan Allah.
Kalau kita berani membuat pernyataan itu hendaknya kita hayati sampai di dalam hati, harus sesuai dengan kenyataan. Untuk apa kita meneriakkan Allah Yang Maha Besar, sementara dalam kehidupan masih menganggap bisnis lebih besar dari Allah, keinginan diri lebih besar dari Allah, pekerjaan lebih besar dari Allah, negar lebih besar dari Allah, dst.
Ingat!
Kita berani meneriakkan karena kita punya pendirian yaitu Allahu Akbar, Allah adalah yang segala-galanya. Kalau bukan orang yang berpendirian yang meneriakkan namanya orang gila karena dia berteriak tanpa keyakinan. Sebagai contoh, kapankah kita meneriakkan bahwa : “saya sarjana.” Bukankah tidak pernah?. Tapi kita meneriakkan “Allahu Akbar” karena itu konsep diri kita sebagai seorang muslim. Tapi mengapa umat ini tidak terpengaruh? Mungkin karena terbiasa bagi umat Islam menganggap adzan itu adalah pemberitahuan telah masuk waktu shalat, sehingga terasa tidak begitu terpengaruh.
Sekiranya kita tinggal di daerah non muslim tentulah kita tidak adzan karena kita tahu kalau mereka tidak terpengaruh dengan ajakan kita. Alangkah anehnya umat sekarang ini, seolah-olah mereka tidak lagi tersentuh dengan panggilan yang agung ini.
Seandainya seseorang terperosok dalam keadaan mengagungkan selain Allah, tentu dia dengan segera akan sadar bahwa dia sekarang sedang mendengar Allahu Akbar. Mendengar Allahu Akbar itu hendaknya menggugah diri untuk mengecilkan selain Allah: Tidak ada alasan untuk ngantuk, tidak ada alasan untuk pekerjaan, tidak ada alasan untuk kesibukan, tidak ada ada lagi keasyikan, kalau Allah memanggil. Tidak ada yang lebih penting selain panggilan Allah.
Nah, itu yang seharusnya terjadi pada umat ini. Dan tulah yang pernah terjadi pada zaman Rasulullah, Khalifah Rasyidin dan umat-umat yang sesudahnya. Sehingga mereka berusaha supaya adzan itu betul-betul mencakup wilayahnya. Utsman r.a. misalnya: Beliau membuat masjid di dekat tebing, maka adzan dikumandangkan di tebing itu, bukan dalam masjid, karena mereka tahu tujuan adzan itu bukan hanya pelengkap shalat, tapi punya misi tersendiri.
Di zaman Mu'awiyah dibuatkan menara khusus yang tinggi, sehingga orang harus naik ke menara untuk mengucapkan kalimat-kalimat tauhid itu, sehingga dapat menjangkau daerah-daerah yang luas.
Sampai sekarang pun menjadi kebiasaan membuat menara. Tapi bukan lagi dengan tujuan menyampaikan kalimat-kalimat tauhid, tapi sudah menjadi model; masjid dianggap tidak bagus kalau tidak punya menara. Bahkan tidak bisa disebut masjid jika tidak ada menara. Bahkan biaya membuat menara terkadang jauh lebih besar dari pembuatan masjid. Alangkah anehnya umat yang sekarang ini !!! Kenapa terjadi hal demikian….? Padahal berbangga-bangga dengan bangunan masjid dilarang oleh Rasulullah saw.
Kalau kita bandingkan dengan zaman Rasulullah saw ternyata masjid Beliau hanya beralaskan pasir, tidak memiliki atap, tidak menggunakan permadani, hiasan batu pualam, apalagi kubah emas, yang ada hanya dinding. Itulah masjid di zaman Rasulullah, jauh dari ide pembuatan masjid yang dipahami orang sekarang yang hanya menekankan pada keindahan fisik belaka .
Kemudian setelah kalimat Allahu Akbar disebutkan 4 kali, kita menyebutkan syahadat: ASYHADU ANLAA ILAAHA ILLAL-LAH - ASYHADU ANNA MUHAMMADAR-RASULULLAH. Artinya pribadi saya bersaksi; menghayati sepenuhnya; bertanggung jawab bahwa tidak ada Ilah selain Allah. Kemudian diikuti dengan pernyataan yang berat lagi: Bahwa Muhammad itu Rasulullah.
Kalau kita sudah mengatakan tiada Ilah selain Allah, berarti: tiada pengarah selain Allah. Tiada pembimbing selain Allah. Tidak ada petunjuk selain Allah. Tidak ada suatu arah selain yang disebutkan Allah. Tidak ada indoktrinasi selain indoktrinasi yang diberikan Allah. Barulah sesuai ucapan dengan perbuatan.
Ingat!
Kita menyatakan pernyataan dengan suara keras. Kalau bukan dengan suatu kenyakinan penuh, tentu kita tidak berani menyebutnya keras-keras. Disaksikan oleh cacing, burung, malaikat, manusia. Disaksikan oleh udara yang lewat, hujan yang turun, awan menggantung dan semuanya. Karena kita telah mengumandangkan dengan suara yang keras. Kita menyatakan bahwa Muhammad itu Rasul Allah. Pernyataan itu hendaknya dengan pemahaman dan kesadaran bahwa ini bukan pernyataan sejarah. Kalau pernyataan sejarah, sama dengan mengatakan Gajah Mada adalah Perdana menteri Majapahit. Untuk apa kalau hanya menyebut-nyebut begitu saja. Kalau kita menyebut bahwa Muhammad itu Rasul Allah, maka kita harus bertanggung jawab dengan pernyataan itu; bahwa risalah Islamiyah itu adalah syariat yang dibawakan Muhammad saw itulah yang harus kita ikuti. Tidak ada syariat lain selain syariat yang telah dibawa Rasulullah saw. Kita bersaksi, mau bertanggung jawab sepenuhnya. Kita hayati sepenuhnya apa yang kita nyatakan itu.
Jika kita sebut kalimat-kalimat syahadat ini dengan lantang, maka yang mendengar adalah laki-laki, perempuan, tua muda yang semuanya itu juga disyariatkan mengucapkan kalimat-kalimat syahadat ini.
Apakah masih ada kesempatan bagi orang-orang beriman untuk berbuat kekafiran lagi !?
Kalau dalam sehari semalam dia mengucapkan syahadat berulang-ulang, ketika adzan dia syahadat dan ketika shalatpun bersyahadat.
Apakah masih ada kesempatan bagi orang mukmin lari dari pernyataan itu !?
Berpuluh kali dia mengucapkannya sehari semalam. Kemudian sampailah kepada ajakan “HAYYA 'ALA SH-SHALAH”, artinya: Marilah, beranjak kita untuk melakukan shalat. Kalimat ini memang bernadakan panggilan, karena ada kata Hayya. Tapi pengertian Hayya ini bukan hanya sekedar 'mari!'. Kalau pengertiannya hanya 'kesinilah!', tentu tidak akan dipakai oleh Rasulullah saw kata-kata Hayya, tentu Beliau akan memilih kata Ta'al. Ta'allau ila shalah. Tapi Beliau memakai kata Hayya, dengan pengertian: tingkatkan-hidupkan-agungkan shalat ini. Jadi bukanlah sekedar untuk memanggil orang yang kelupaan, tapi lebih dari itu, yaitu menyadarkan.
Banyak orang yang mendengar adzan, tapi belum tentu mereka harus pergi sholat berjamaah karena ada orang-orang yang diizinkan oleh Rasulullah saw untuk tidak pergi memenuhi panggilan adzan seperti wanita, orang sakit dan orang-orang yang mempunyai udzur yang diizinkan Rasulullah seperti safar, dll. Tapi orang-orang ini harus juga ikut mengagungkan pernyataan itu dengan cara menirukan ucapan muadzin tersebut. Jadi jangan sampai terfikir olehnya untuk tidak mendatangi shalat berjamaah. Karena ucapan muadzin adalah sebuah pernyataan yang besar yang juga harus ia tirukan. Jadi baik muadzin maupun orang yang mendengarnya sama-sama telah membuat pernyataan yang sangat besar ini. Pernyataan yang besar itu harus dibuat berulang-ulang yang telah diatur oleh Rasulullah untuk dilakukan pada waktu-waktu shalat. Oleh karena itu harus bersama-sama kita hidupkan dan kita agungkan shalat ini. Dan hal ini tidak akan mungkin dapat difahami kalau mereka tidak mengerti apa itu shalat.
Setelah melakukan adzan Rasulullah mensyariatkan untuk membaca doa. Diantara doa yang dibaca itu adalah Wash sholaati qoo imah, shalat yang betul-betul tegak dalam diri.
Bukanlah dengan pengertian orang yang sudah shalat itu tegak. Tapi shalat itu betul-betul tegak. Shalat yang mempengaruhi manusia ini.
Iitulah arah yang dituju oleh Hayya ala Shalah. Orang yang shalat adalah orang yang disiplin. Orang yang shalat dirinya dipengaruhi oleh ketentuan-ketentuan; perangkat-perangkat, perangai-perangai, dan perbuatan-perbuatan shalat secara terus-menerus. Bukan hanya pada waktu shalat saja. Tapi di luar shalatpun seluruh dirinya dipengaruhi oleh shalat. Seperti di dalam surat Al-Israa' (17) ayat 78: Aqimish-shalata lidulukus sy-syamsi ilaa gha saqi l-layl. Artinya:“Tegakkanlah shalat sedari terbit matahari sampai datangnya malam”. Terus menerus dari pagi sampai malam, selalu dipengaruhi oleh shalat. Itulah orang yang menegakkan shalat. Itulah yang dikumandangkan dengan Hayya 'ala sh-Shalah.
Dengan demikian menjadi keniscayaan untuk mengajak pada kemenangan dengan mengumandang-kan HAYYA 'ALA L-FALAH, karena tegaknya sholat adalah sebab dari kemenangan. Inilah orang yang bakal menjadi menang. Kita ini bukanlah orang yang gila, yang hanya asal meneriakkan kata-kata “menang” dan mengajak orang pada kemenangan padahal secara duniawi kita ini tidak memiliki apa-apa. Sekali lagi hal ini hanya akan bisa dimengerti oleh orang-orang yang memahami apa itu shalat. Orang yang bersyahadat serta menegakkan shalat ini; itulah orang yang menang. Oleh sebab itu marilah kita menuju kemenangan. Menang menurut pengertian Allah, kemenangan hakiki, bukan pengertian kemenangan semu yang diatur oleh manusia. Sebagaimana Allah memberikan perinciannya dalam surat Al-Mukminun ayat 1,2 & 9:
Qad aflaha l-Mukminuun. Alladzi nahum fii shalaatihim khaasyi'uun....... Alladzi nahum 'alaa shalawaatihim yuhaafizhuun.
Artinya: “Selalu menang orang mukmin itu (1); orang yang dalam shalatnya khusyuk (2) ..... Orang yang selalu menjadikan shalat itu pemelihara dirinya (9)”
Itulah yang dikumandangkan, kepada shalatlah orang diarahkan dan iitulah dia orang yang menang. Itu adalah pernyataan, bukan panggilan-panggilan biasa saja. Bukan sekedar ajakan pergi ke masjid untuk shalat, tapi ini ajakan untuk menang.
Kemenangan dalam bentuk apa yang ada dalam masjid?
Yang jelas itu adalah suatu pernyataan; bahwa umat yang shalat adalah umat yang pasti menang, umat yang mampu mengalahkan keinginan dirinya dan mengorbankan segala waktu yang dimilikinya demi melaksanakan perintah Allah.
Kalau kita menyatakan bahwa kita menang, hendaknya orang lain harus merasa kalah, kalah dalam akidah, kalah dalam akhlak, kalah dalam syariat, kalah dalam ide, kalah dalam segala-galanya, dan tidak mungkin orang lain merasa kalah kalau kita tidak lebih dari orang itu.
Sesudah itu kita mengucapkan Allahu Akbar. Dan ditutup dengan Laa ilaaha illallah. Betul-betul ucapan yang berat yang dikumandangkan oleh muadzin yang diucapkan oleh seluruh umat.
Kalau sekarang masjid sudah banyak, menara sudah tidak diperlukan lagi karena sudah diganti dengan mikrofon. Jangkauan sudah begitu jauh. Kita jumpai dari timur sampai ke barat tidak putus-putusnya orang beradzan, sehingga kalau kita berada di kota besar, sekali adzan ada 200 masjid yang mengumandangkan adzan. Rasa-rasanya udara ini sudah tidak kuat lagi memikul pernyataan-pernyataan yang berat itu, rasa-rasanya masyarakat ini tidak mungkin tidak akan bangkit dengan adzan ini. Tapi kenyataannya masyarakat benar-benar tidak bangkit karena mereka tidak memahaminya. Sehingga kalau mereka mendengar, bukannya menggugah, malah merasa terganggu. Maka Rasulullah saw setelah adzan selalu berdoa: ALLAHUMMA RABBA HADZIHI DA'WATIT TAAMMAH WASH-SHALAATI L QOOIMAH.
Allah, Rabb yang peduli, memelihara seruan yang sempurna ini dan yang memelihara shalat yang kokoh ini. Lalu kita meminta -AATI MUHAMMADANIL WASHIILAH WAL FADHIILAH-. Ada orang yang mengatakan washiilah itu adalah tempat yang mulia di surga. Sedangkan fadhiilah artinya keutamaan.
Apakah Muhammad saw tidak mendapatkan washiilah dan fadhiilah dari Allah? Tanpa doa kita pun Beliau tetap mendapatkan itu dari Allah. Kita berdoa itu bukan untuk Muhammad saw, tapi berdoa untuk diri kita sendiri.
Dengan berdoa kita telah melakukan ketentuan dari Rasulullah. Juga dalam shalat kita mengucapkan shalawat atas beliau. Apakah beliau saw butuh shalawat dari kita?
Justru kita ucapkan doa dan shalawat adalah untuk lebih memantapkannya ke dalam diri dan untuk mendekatkan beliau saw kepada diri kita. Kita mengucapkan: WAB-'ATSHU MAQAA MA M-MAHMUUDA (dan tempatkan dia pada posisi yang mulia).
Kurang muliakah Beliau saw?
Apakah perlu pernyataan dari kita baru Beliau saw mendapatkan kemuliaan? Tidak ada artinya kita ini.
Tapi kita dituntun untuk mengucapkan hal yang demikian. Kita adalah umat Muhammad saw, hendaknya merasa bahwa Beliau saw itu sudah tinggi.
Lalu kita umatnya ini bagaimana?
Rasul saw itu sudah punya posisi yang sangat tinggi. Kita mendoakan Beliau supaya kita pun mendapatkan posisi yang tinggi karena kita ini adalah ummatnya. Itulah yang sebenarnya kita minta.
Apakah Allah akan memungkiri janjiNya? Muhammad tanpa kita pun tetap Muhammad. Allah telah menjanjikan posisi yang tinggi buat beliau saw. Kenapa kita harus mengungkit-ungkit seolah-olah Allah tidak menepati janjiNya. Kita ucapkan doa itu justru untuk kita sendiri. Supaya kita yakin bahwa, “Kita umat Muhammad saw yang punya posisi yang amat tinggi di mata Allah.“ Allah sudah menjanjikan posisi yang tinggi kepadanya yang Allah pasti menepatinya. Sebagaimana karakter beliau, maka seperti itu jugalah seharusnya karakter kita. Itulah gunanya kita mengucapkan doa sesudah adzan.
Jadi ucapan-ucapan yang dilakukan dalam adzan adalah pernyataan-pernyataan yang berat. Kalau kita memilih mu'adzin pilihlah yang faham dan memiliki suara yang lantang.
Pernyataan adzan ini diikuti dengan iqaa matii sh-shalah sebelum kita melakukan shalat. Semua kata-kata itu diulang kembali dan bersambung dengan shalat. Disitulah baru dinyatakan hubungan shalat dengan adzan: Qad Qaa matish shalah; shalat yang dikerjakan itu tegak mengokohkan!
Hendaknya mulai sekarang kita harus mengetahui syariat adzan itu bagaimana dan apa tujuannya. Apa pengaruh yang harus tumbuh dalam diri kita. Bukan hanya sekedar protokoler. Tetapi itu adalah pernyataan-pernyataan berat yang harus kita pertanggung jawabkan. Begitu juga akibat berikutnya. Memang pada awalnya terbayang syariat adzan itu hanya ditujukan untuk memanggil orang untuk shalat, tapi kalau kita pelajari lebih lanjut seperti hadist yang kita kemukakan di atas, ternyata jauh lebih dari itu.
Kalau mendirikan shalat berjama'ah, hendaklah adzan. Jadi kalau kita artikan adzan itu dengan memanggi orang untuk sholat berjamaah, maka itu hanya bagi orang yang terlupa. Jadi bukan datang ke masjid itu setelah adzan. Di zaman Rasulullah saw orang sudah datang ke masjid sebelum adzan. Mereka bersama-sama melakukan shalat tahyatul masjid baru setelah itu adzan.
Jadi dibutuhkan penghayatan lebih mendalam dari sekedar memahami adzan sebagai pemberitahuan masuknya waktu shalat, atau hanya sekedar panggilan untuk shalat, tapi kita harus menghayatinya sebagaimana Rasulullah dan para sahabat telah menghayati dan memahaminya supaya shalat benar-benar menjadi tegak dan mampu mempengaruhi diri kita secara terus-menerus yang akan menjadikan diri kita sebagai orang-orang yang menang.