Translate

Senin, 27 Juni 2011

YANG TELAH DIPERJUANGKAN (Motivasi Shalat Bagian 2)

Tak terasa Sudah tahun 1431 Hijriyah. Pernahkan kita berfikir tentang tahun baru kita itu? Tentang apa yang terjadi 1431 tahun silam? Momentum penting apakah yang membuat para sahabat mengabadikan peristiwa tersebut sebagai tahun pertama umat Islam? Seolah menandai telah terjadi sebuah peristiwa besar … sebuah tonggak paling bersejarah dalam peradaban Islam.

Pasti kita semua telah tahu bahwa saat itu telah terjadi peristiwa hijrah. Namun pernahkah terfikir mengapa peristiwa hijrah itu menjadi momen paling berkesan hingga diabadikan sebagai perhitungan tahun pertama Islam?
Marilah mencoba menembus lorong waktu dan kembali pada masa seribu empat ratus tiga puluh satu tahun silam, saat Rasulullah dan para sahabat berbondong-bondong meninggalkan Mekkah menuju Madinah.

Bayangkanlah sekiranya kita adalah salah satu dari rombongan Rasulullah dan para sahabat saat itu, dan mari kita mencoba merasakan apa yang saat itu akan kita rasakan jika kita harus tunduk para keputusan untuk hijrah. Sanggupkah kita melakukannya? Bukankah meninggalkan kampung halaman adalah sesuatu yang sangat berat dan mungkin tak pernah terfikirkan sebelumnya? Karena disana ada banyak hal yang sangat kita cintai, rumah dan harta yang nyaman, keluarga, anak, istri, suami yang kita cintai, dan pekerjaan yang mapan.

Bukankah tidak mudah meninggalkan semua kemapanan itu? Dan ketika kita harus hijrah (berpindah) ke tempat lain yang asing, yang sama sekali tidak ada janji-janji kenyamanan yang sama seperti kenyamanan di kampung halaman, maukah kita berhijrah? Terbayang betapa beratnya keputusan hijrah itu. Belum lagi ditambah bayangan-bayangan tidak jelas tentang tempat yang kita tuju. Pastilah juga terfikir dimana nanti kita akan bertempat tinggal? bagaimana kita akan bekerja untuk bertahan hidup? Pada intinya dengan segala prediksi perhitungan matematis, di sana tidak ada harapan-harapan dunia.

Rasulullah dan para sahabat adalah juga manusia biasa seperti kita. Pastilah juga memiliki ego dunia yang merasakan sedih dan berat meninggalkan keluarga dan harta. Namun nyatanya mereka mampu mengalahkan nafsu/ego dunia itu dan tanpa gentar bergerak dengan penuh keyakinan menuju Madinah. Karena memang bukan janji kemapanan dunia itu yang Rasulullah dan para sahabat tuju, bukan harapan-harapan kecemerlangan dunia. Tetapi adanya secercah harapan-harapan cerah untuk harapan yang lebih besar … harapan akhirat … Harapan untuk bisa menjalankan ketentuan Allah.

Dan perintah Allah manakah yang membuat Rasulullah dan para sahabat mampu mengambil keputusan besar meninggalkan semua kemapanan dunia? Tak lain adalah demi menjalankan perintah Shalat 5 waktu.

Bukankah peristiwa hijrah ini hanya selang 3 bulan setelah turunnya perintah shalat 5 waktu (peristiwa isra' mi'raj)? Karena memandang ketentuan risalah shalat (shalat berjamaah dan bermasjid) ini tidak mungkin bisa dilakukan di Mekkah, maka Rasulullah dan para sahabat bersepakat meninggalkan Mekkah untuk menuju Madinah, suatu tempat yang mereka anggap memungkinkan untuk menjalankan serangkaian risalah shalat tersebut yang selama ini tidak mungkin diwujudkan selama di Mekkah.
Buktinya … belumlah sampai beliau di Madinah, ketika mendapati sekelompok orang yang sudah memeluk Islam di Quba, beliau langsung memerintahkan untuk mendirikan masjid sebagai salah satu bagian dari rangkaian risalah shalat yang harus ditegakkan.

Inilah bukti tak terbantahkan yang melatar belakangi hijrah Rasulullah. Sesampainya di Madinah, yang pertama beliau kerjakan adalah juga memerintahkan orang untuk mendirikan masjid, yang sampai sekarang dikenal dengan nama masjid Nabawi. Bahkan hal itu beliau kerjakan sebelum beliau masuk di rumah yang telah disedikan oleh kaum muslimin di sana. Inilah tujuan hijrah beliau. Bukti tak terbantahkan yang melatar belakangi hijrah Rasulullah !!!

Demikianlah perjuangan Rasulullah dan para sahabat dalam memperjuangkan ketentuan shalat itu. Tampak shalat bukanlah hal yang main-main, tapi bagi Rasulullah shalat merupakan hal yang pokok dan mendasar yang harus mendapat perhatian khusus hingga mestilah diperjuangkan dengan demikian kerasnya. Meninggalkan semua kecintaan dunia demi meraih kecintaan Allah di akhirat. Merekalah … yang berhasil membersihkan dirinya dari kepentingan-kepentingan / ego dunia demi akhirat yang disebut Allah sebagai orang yang telah menang. Sebagaimana dijelaskanNya dalam surat al A'ala (87) ayat 14-19 berikut:

“Sungguh menang orang yang telah bersih. Dan dia mengingati nama-nama Rabbnya, maka langsung shalat. Tetapi kehidupan dunia ini terlalu banyak mempengaruhi. Padahal pilihan akhirat itu lebih baik dan kekal. Sesungguhnya hal ini benar-benar telah terdapat dalam suhuf-suhuf terdahulu. (yaitu) suhuf-suhuf Ibrahim dan Musa.”

Sungguh menang orang yang telah bersih.
Begitulah Allah menyebut hambanya sebagai “Sang Pemenang”. Ketika kita telah mampu membersihkan fikiran dan konsepsi kehidupan dari perolehan-perolehan duniawi dan ketika kita telah mengambil keputusan untuk tidak mau dipengaruhi oleh perolehan dunia maka kitalah Sang Pemenang itu.
Dan inilah petunjuk yang diberikan Allah kepada kita, sebagaimana telah dibuktikan oleh Rasulullah dan para sahabat dalam peristiwa hijrah. Mereka telah mampu membersihkan diri dari janji-janji kenikmatan dunia sekaligus menyingkirkan ketakutan-ketakutan kehilangan perolehan dunia. Mereka juga telah mampu menyingkirkan kecemasan pada keselamatan keluarga yang telah mereka tinggalkan di Mekkah.

Mereka juga telah mampu membuktikan ketidakbergantungan mereka akan harta yang di tinggalkannya di Mekkah, juga menyingkirkan ketakutan-ketakutan kesulitan mendapatkan harta lagi di tempat hijrah mereka. Begitulah keimanan orang-orang terdahulu … orang-orang yang telah berhasil membuktikan dirinya sebagai Pemenang Sejati. Dan dia mengingati nama-nama Rabbnya, maka langsung shalat.
Ketika kita mengambil keputusan untuk tidak mau dipengaruhi dunia maka fikiran kita akan bersih dari keinginan-keinginan hawa nafsu yang cenderung pada kekotoran dunia. Bukankah memang cinta dunia, nafsu dan syahwat adalah identik dengan kekotoran?

Dan ketika kita mampu menyingkirkan itu semua maka hal ini akan membawa jiwa dan fikiran kepada kebesaran dan keagunan Rabb, sehingga timbullah kesadan betapa kecil dan tidak berdayanya diri kita di hadapan Rabb, sehingga hilanglah kesombongan diri.

Hal inilah yang akan menimbulkan keinginan kita untuk melakukan shalat, sebuah bentuk kedekatan sekaligus penghambaan diri pada Kebesaran dan Keagungan namaNya atas kelemahan serta kerendahan diri kita sebagai seorang hamba. Demikian itulah fithrah manusia.

Tetapi kehidupan dunia ini terlalu banyak mempengaruhi. Padahal pilihan akhirat itu lebih baik dan kekal.

Inilah watak dari kehidupan dunia. Ia adalah musuh yang menghalangi kita dari kemenangan. Seharusnya kita bisa menjadi orang-orang yang menang, namun pengaruh dunia sangat kuat mempengaruhi fikiran dan jiwa kita.
Maka tiada lain yang harus kita lakukan kecuali menahan diri dari keinginan mendapatkan perolehan-perolehan duniawi, dengan mempertimbangkan janji perolehan akhirat yang lebih baik dan lebih kekal. Mengutamakan tujuan akhirat dan mengesampingkan nafsu dunia.

“Sesungguhnya hal ini benar-benar telah terdapat dalam suhuf-suhuf terdahulu. (yaitu) suhuf-suhuf Ibrahim dan Musa”

Pengaruh dunia yang begitu besar yang mampu menghalangi diri dari menjalankan ketentuan-ketentuan agama itu telah terdapat pada suhuf-suhuf terdahulu dan telah dibuktikan oleh nabi-nabi terdahulu. Ibrahim dan Musa. Itulah yang menjadi keyakinan sekaligus ketakutan nabi Ibrahim.
Bahwa kekuatan dunia akan mampu mengalahkan kemauan diri untuk menjalankan petunjuk. Kesadaran itulah yang akhirnya membuat Ibrahim melakukan hijrah (pindah) dari tempat yang subur makmur dan bergelimangan dunia ke tempat yang tandus lagi kering, yang sama sekali tak menjanjikan kemakmuran dunia. Semata-mata agar dirinya dan keluarganya memiliki kekuatan untuk menjalankan petunjuk.
Suhuf Ibrahim ini difirmankan dalam surat Ibrahim (14) ayat 37 :
Ya Rabb kami, sesungguhnya (sengaja) aku telah dari menempatkan keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, Ya Rabb Kami (semua itu hanya) untuk menegakkan shalat. (Jika shalat telah tegak) maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan berilah rezeki kepada mereka dari buah-buahan, agar mereka bersyukur.

Inilah yang dikerjakan oleh Ibrahim dalam rangka menegakkan shalat, hijrah dari tempat yang subur menuju lembah yang gersang lagi kering dan tak bertanam-tanaman, semata-mata tidak ada tujuan dan motivasi lain kecuali demi tegaknya shalat. Terlihat perjuangan beliau membersihkan dirinya dari segala bentuk pengaruh dunia dengan tujuan yang sangat jelas : “Ya Rabb kami, semua itu hanya untuk menegakkan shalat”. Begitulah al-Quran menjelaskan kepada kita tentang doa Ibrahim sebagai orang yang telah berhasil menegakkan shalat. Sebagaimana beliau adalah seorang imam yang berusaha mendidik dan mengarahkan keluarganya agar hal pertama yang harus dicapai dalam hidup adalah menegakkan shalat. Beginilah semestinya setiap diri menghadapi dan menyikapi ketentuan shalat.

Hal demikian beliau lakukan karena pemahaman yang begitu mendalam tentang dunia dan pentingnya. Beliau sangat paham bahwa dunia memiliki kekuatan yang sangat besar untuk memalingkan manusia dari menjalankan petunjuk. Disinilah letak pentingnya kedudukan shalat. Ia adalah modal besar yang harus ditegakkan, perlindungan diri dari ancaman dunia, sekaligus modal utama untuk menjalankan ketentuan-ketentuan Allah yang lain. Maka shalat adalah hal pertama harus diperjuangkan agar terlebih dahulu tegak di dalam diri. Dan inilah bentuk perjuangan Ibrahim untuk mendirikan shalat. Ia benar-benar menyingkirkan segala hal yang ia yakini dapat menghalanginya untuk menjalankan ketentuan shalat tersebut.

Doa beliau selanjutnya setelah dirinya dan keluarganya menjadi orang yang muqimushsholah (menegakkan shalat) adalah meminta rizki kepada Allah. Mengapa hal demikian beliau lakukan? Tiada lain karena kefahaman yang mendalam tentang dua hal yang sangat berlawanan. Tentang shalat yang menguatkan dan tentang dunia yang melenakan. Beliau sangat khawatir kalau rizki yang beliau minta terlebih dahulu tanpa tegaknya shalat, maka rizki justru itu akan memalingkan dirinya dari ketentuan-ketentuan Allah. Inilah motivasi beliau dalam berhijrah dan memperjuangkan tegaknya shalat.

Inilah prestasi Ibrahim, beliau telah berhasil menegakkan ketentuan shalat. Ketika beliau telah berhasil menegakkan shalat, maka barulah beliau merasa layak meminta sesuatu (rizki) kepada Allah. Beliau menjadikan prestasi shalat itu sebagai perantara untuk berdoa memohon sesuatu kepada Allah.
Inilah yang selama ini kita kenal dengan istilah wasilah. Perantara itu bukanlah amal shaleh orang lain (para kyai, wali atau ulama) apalagi karomah orang-orang yang telah mati, namun Ia adalah sesuatu yang kita usahakan sendiri dan memiliki nilai di hadapan Allah.

Merujuk pada tauladan Ibrahim tersebut, maka shalatlah perantara kita yang sebenarnya untuk memohon pada Allah. Bukankah al-Quran telah menegaskan bahwa beliau adalah uswatun hasanah? kepada beliaulah kita mencari contoh perilaku, konsep pemikiran juga belajar tentang kekuatan keyakinan.

Lihatlah bagaimana pola pikir beliau ... sangat berbeda dengan pola pikir kita. Ketika kita berpikir mustahil dapat hidup di ladang gersang, namun tidak demikian dengan pemahaman beliau. Ibrahim telah membuktikan bahwa dengan menegakkan shalat maka kesulitan dunia tidak akan pernah menjadi masalah besar untuk kita cemaskan. Dan sekarang kita telah menyaksikan sendiri buah dari keyakinan Ibrahim itu, bagaimana Allah nyatanya telah mengubah ladang tandus kering itu menjadi kota yang begitu makmur dan kaya hanya dengan shalat.
Kota Mekkah saat inilah bukti dari keyakinan Ibrahim tersebut. Bahwa dunia akan mengikuti kita ketika kita telah mampu menjalankan ketentuan-ketentuan agama dengan konsisten. Demikianlah gambaran sekaligus bukti keyakinan dari orang-orang yang memiliki keyakinan yang mantap.

Allah juga menjelaskan kepada kita hal yang sama mengenai ketetapanNya tentang shalat kepada Musa dalam surat Thoha (20) ayat 14. Dikisahkan pada ayat sebelumnya bahwa dalam suatu perjalanan malam yang gelap gulita, Musa dan keluarganya sedang mengalami kebingungan tentang arah perjalanan. Kemudian tampak oleh Musa api di kejauhan.

Maka ia datangi api tersebut dengan harapan dapat membawa sebuah suluh api pada keluarganya agar ia dan keluarganya mampu melihat jalan dengan terang. Atau dia berharap agar bertemu seseorang disana yang dapat menunjukinya arah yang benar. Namun ternyata disanalah wahyu pertama turun pada Musa :
“Sesungguhnya aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, Maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingatKu.”

Demikianlah wahyu pertama yang turun kepada Nabi Musa. Sama halnya dengan Nabi Ibrahim dan Rasulullah, yaitu perintah untuk mendirikan/menegakkan shalat. Tujuannya adalah untuk mengingat Allah. Begitulah Allah menetapkan perintah shalat untuk menjaga hambaNya agar tetap mengingat kebesaranNya.
Demikian jugalah reaksi (respon) dari para Rasul Allah itu menanggapi perintah shalat. Hijrah yang mereka lakukan adalah semata-mata agar mampu menegakkan perintah shalat tersebut. Dan itulah jalan yang mereka tempuh. Itulah sabilillah, jalan-jalan yang telah dilalui oleh para nabi dan Rasul Allah. Jalan yang telah dijamin kebenarannya oleh Allah.
Keputusan berhijrah bukanlah keputusan dan pekerjaan yang mudah. Bukankah hijrah Ibrahim ke padang kering dan gersang membutuhkan sebuah keberanian? Begitupun hijrah Rasulullah Muhammad, bukankah meninggalkan segala kemapanan di Mekkah juga membutuhkan sebuah keberanian dan keyakinan menjalankan perintah?
Tampaklah bahwa shalat inilah hal yang pertama-tama harus diurus, dan perintah yang teramat penting untuk difikirkan dengan sangat serius dan dilaksanakan dengan penuh kesungguhan.

Maka ketika mereka begitu besar berkorban dan berjuang memperjuangkan perintah shalat, bagaimana dengan kita? Ketika keputusan hijrah itu dihadapkan kepada kita, mampukah kita ikut dalam perjalanan berat itu? Sungguh mental kita tidak sebanding dengan mereka ... pola pikir kita sangat berkebalikan dengan pola pikir para Rasullah dan para sahabat itu.

Namun apakah yang membuat kita berbeda dan tampak begitu lemah? Bukankah al-Quran yang sampai kepada kita sama, bukankah Rasul kita juga sama? Tak lain karena keberadaan dunia masih bergelayut dan memberatkan langkah kita. Itulah sebabnya kita tidak kunjung menjadi ummat yang mau dan mampu memperjuangkan perintah shalat ini.

Mampukah kita mengalahkan ego dunia kita, meninggalkan pekerjaan atau saat-saat hangat bersama keluarga untuk konsisten memenuhi seruan shalat berjamaah?
Padahal Allah telah terang-terang mengumbar janji-janji kemenangan itu ... setidaknya lima kali sehari telah diteriakkan para muadzin ke telinga-telinga kita “Hayya 'alash shalah ... hayya alal falah (mari di atas shalat, mari di atas kemenangan)”.

Layaknya sebuah kompetisi... Allah telah mengumumkah hadiah kemenangan tersebut. Di sampaikannya di seluruh penjuru bumi oleh para muadzin dari desa terpencil yang tak tampak dalam peta, hingga kota besar yang terkenal dan sering dikunjungi manusia. Namun begitu sepi kompetisi ini ... tak banyak yang mau beranjak memenuhi seruannya. Bukankah sebuah kemenangan atas shalat yang mampu kita tegakkan adalah kompensasi yang sangat besar? Dan untuk itulah kita seharusnya memperjuangkannya? Namun dari ummat yang besar ini, dimanakah orang-orang yang terpanggil untuk berlomba menyongsong janji kemenangan itu? Apakah janji itu tidak pernah sampai ke telinga kita? Atau nalar kita terlalu bodoh untuk mengerti arti kemenangan yang dimaksud oleh Allah? Atau perhitungan matematis kita telalu payah untuk menghargai arti kemenangan yang tak ternilai itu?

Maka janganlah sampai kita bernasib sama seperti nasib bani Israil sepeninggal nabi Musa, ketika Allah mengadzab mereka dikarenakan mereka telah meremehkan shalatnya. Lalu bagaimanakah dengan kita? Benarkah shalat itu telah menjadi sesuatu yang kita perjuangkan? Benarkah kita tidak meremehkannya jika nyatanya dalam shalat pun kita tidak pernah menyelipkan doa seperti yang dilakukan nabi Ibrahim. Pernahkah dalam shalat kita berdoa “Ya Allah ... jadikanlah aku termasuk orang-orang yang menegakkan shalat ” Lalu ketika kita tidak serius memperjuangkan shalat, masihkan kita merasa pantas berdoa memohon “Rabbana atina fiddunya hasanah wafil akhirati khasanah waqina adza bannar”. Pantaskah untuk menukar shalat yang tidak seberapa ini dengan doa yang terlalu banyak itu? Pantaskah …

Selasa, 21 Juni 2011

Dari Takbir Hingga Salam (Motivasi Shalat Bagian 1)

Di dalam syurga, mereka terheran-heran, mengenai orang-orang yang divonis berdosa. "Apa yang menyebabkan kamu dimasukkan ke dalam Saqar (neraka)?" Mereka menjawab: "Karena kami tidak termasuk dari golongan mushallin”

Demikianlah bunyi Surat Mudatstsir ayat 40-42, seolah membuat ilustrasi yang mengungkapkan tentang keheranan para penghuni surga. Mereka, para penghuni surga yang pasti adalah orang-orang yang beriman dan berilmu, yang tahu dengan pasti alasan apa yang membuat mereka dimasukkan dalam surga.

Sebaliknya, mereka pun tahu alasan-asalan apa yang membuat seseorang dimasukkan ke dalam neraka. Namun mereka tetap saja keheranan dengan para penghuni saqar itu. Kalaulah penghuni saqar adalah orang-orang yang tidak melakukan shalat atau lalai dengan shalatnya, tentulah mereka tidak akan keheranan, karena mereka tahu bahwa konsekuensi meninggalkan shalat adalah neraka. Tapi penguhi surga merasa sangat mengenal para penguhi saqar itu. Menurut penilaian mereka, penghuni saqar bukanlah orang-orang yang tidak melakukan shalat ... mereka adalah orang-orang yang juga mengerjakan shalat selama di dunia. Tapi mengapa Allah menempatkan mereka di dalam saqar? Itulah letak keheranan mereka. Dan inilah ayat yang mengungkap tentang penilaian manusia yang telah tertipu itu, yang menganggap mereka (penduduk saqar) adalah orang-orang yang shalat, tapi apa daya jika ternyata Allah sama sekali tidak memasukkan mereka dalam golongan orang-orang yang shalat (mushollin).
Inilah arti dari lam naku minal mushalliin ... Secara lahiriah mereka memang melakukan shalat tapi Allah sama sekali tidak menganggap bahwa mereka telah melakukan shalat, sehingga Allah pun memperlakukan mereka selayaknya orang-orang yang tidak pernah melakukan shalat dan memasukkannya ke dalam saqar! Itulah orang-orang yang membangun motivasi yang salah dalam shalatnya. Motivasi mereka bukanlah karena menjalankan ketaatan, namun semata hanya mencari penilaian manusia.

Maka inilah petunjuk yang harus kita renungkan secara mendalam! Bahwa sangatlah penting bagi kita untuk mendapatkan gelar mushallin, sehingga shalat yang kita kerjakan di dunia kelak juga diakui oleh Allah di akhirat. Maka mulailah kita berfikir dan memperhatikan dengan cermat shalat yang telah kita kerjakan apakah sudah sesuai dengan petunjuk Allah dan tuntunan Rasulullah? Apakah motivasi shalat kita benar-benar untuk membuktikan ketaatan kita pada ketentuanNya? Sebab kalau tidak maka nasib shalat kita pun akan sama seperti para penghuni saqar itu. Merasa sudah melakukan shalat tapi ternyata tidak pernah dimasukkan Allah dalam golongan mushallin.

Sebagaimana diceritakan dalam sebuah hadits ketika Rasulullah sedang duduk-duduk bersama sahabat, ada seorang yang datang dengan menaiki ontanya, kemudian dia turun dan masuk ke dalam masjid. Sebelum dia duduk, dia kerjakan shalat tahiyatul masjid. Begitu selesai, dia hendak duduk bersama Rasulullah. Tetapi tiba-tiba Rasulullah melarang dia duduk dan menyuruhnya shalat lagi, kemudian dia lakukan shalatnya lagi hingga selesai. Kemudian dia hendak duduk lagi. Tetapi, seketika itu pula Rasulullah melarang dia duduk lagi, lalu menyuruhnya shalat lagi.

Hingga pada akhirnya seorang tersebut bertanya kepada Rasulullah “Saya tidak tahu lagi ya Rasulullah, apa yang harus kulakukan! Bukankah jelas-jelas saya sudah shalat?. Namun jawab Rasulullah “Tidak, kamu belum shalat !”. Dan terkejutlah seorang tersebut “lantas bagaimana seharusnya saya shalat ya Rasulullah?” tanyanya kembali kepada Nabi. Kemudian Nabi mengajarinya shalat. Begitulah hadits tersebut memberi penjelasan betapa tidak berharganya shalat yang tidak sesuai dengan ketentuan dan contoh Nabi ... sama sekali tidak dianggap telah melakukan shalat. Maka bagaimanakah shalat yang dituntun oleh Rasulullah dan kelak mendapat pengakuan dari Allah?
Miftahus sholaatith thuhuuru, wa tahriimuhaat takbiiru watahliiluhat tasliimu... Inilah definisi (pengertian) shalat yang dijelaskan Rasulullah, bahwa Kunci shalat adalah bersuci, pengharamannya dimulai dengan takbir dan penghalalannya dengan salam. Inilah ketentuan shalat itu, kita dilarang melakukan aktivitas apapun ketika shalat sudah dimulai (ditandai dengan takbir) hingga shalat kita selesai (ditandai dengan salam), kecuali aktivitas shalat yang telah diperintahkan.

Begitulah Rasulullah memberi ketentuan kaifiyat (tata cara) shalat dengan detil dan hati-hati, maka janganlah sampai shalat kita berbeda dengan yang telah beliau ajarkan!
Sebagaimana kita ketahui, shalat merupakan sebuah perintah ibadah pertama, diawali dari perintah menjalankan shalat malam yang dijelaskan dalam surat muzammil. Selama 13 tahun perjalanan dakwah di Mekkah tidak ada perintah melakukan ibadah lain, selain perintah shalat. Namun ketika masih di Mekkah masalah waktu, tatacara, dan tempat belumlah menjadi persoalan yang ditekankan, hingga pada peristiwa Isra' Mi'raj saat diturunkannya perintah shalat 5 waktu. Saat itu telah ditentukan jumlah rakaat dan waktu mengerjakannya. Untuk selanjutnya perintah shalat ini pun berkembang menjadi shalat berjamaah, shalat Jum'at hingga shalat Ied.
Namun, secara keseluruhan risalah shalat itu tidaklah mungkin dapat dikerjakan di Mekkah, dikarenakan kondisi dan posisi umat Islam yang masih lemah dan tertindas. Tetapi perintah shalat itu harus tetap dijalankan. Maka demi merealisasikan perintah shalat tersebut, Rasulullah mengambil keputusan untuk melakukan hijrah ke Madinah. Peristiwa hijrah ini terjadi selang 3 bulan dari perintah Isra' Mi'raj.

Ketika perjalanan hijrah hampir sampai ke Madinah, Rasulullah sampai di sebuah daerah bernama Kuba (suatu daerah dekat madinah) dan menjumpai sekelompok orang Islam disana. Rasulullah langsung memerintahkan agar didirikan masjid sebagai tempat melaksanakan shalat berjamaah di sana. Itulah masjid Kuba, masjid pertama umat Islam. Begitupun yang Beliau lakukan ketika sampai di Madinah. Hal pertama yang Beliau lakukan adalah mencari lokasi dan memerintahkan untuk mendirikan masjid. Itulah masjid pertama di Madinah yang sekarang kita kenal sebagai masjid Nabawi. Itulah hal pertama-tama yang dilakukan oleh Rasulullah, yaitu mendirikan masjid. Itulah bukti betapa pentingnya keberadaan masjid bagi Rasulullah dan para sahabat. Karena perintah shalat ... shalat berjamaah ... dan bermasjid adalah rangkaian risalah yang tidak dapat dipisahkan.

Inilah yang harus kita pahami tentang latar belakang Rasulullah melakukan hijrah ke Madinah dipandang dari sisi shalat. Karena tidak mungkin menjalankan keseluruhan risalah shalat tersebut di Mekkah, maka haruslah pergi ke tempat lain yang lebih kondusif dan memungkinkan untuk menjalankan keseluruhan risalah tersebut.

Begitulah perjuangan Rasulullah mempersiapkan umat ini. Hal yang pertama dikerjakan haruslah dipersiapkan masjid sebagai tempat untuk membina pribadi para sahabat guna membangun masyarakat Islam. Dan untuk mewujudkannya, hal pertama yang mesti dibenahi adalah kualitas shalat dari masing-masing pribadi haruslah sesuai dengan petunjuk.

Maka mulailah Rasulullah mengajarkan dan memberikan contoh secara langsung tentang tatacara shalat, ... satu demi satu gerakan-gerakannya dengan sangat detail dan hati-hati.
Shollu kamaa roaitu munii usholli” (shalatlah kalian sebagaimana melihat aku shalat), itulah yang selalu beliau katakan kepada sahabat dan pengikutnya. Maka para sahabat pun shalat dengan mencontoh shalat Rasulullah. Ketika beliau khawatir para sahabat tidak mengetahui dengan benar tatacara shalat seperti yang beliau lakukan, maka tidak segan-segan beliau memberikan contoh dengan shalat di atas mimbar (dalam satu riwayat disebut tinggi mimbarnya 3 anak tangga) agar dapat disaksikan oleh seluruh kaum muslimin.

Diriwayatkan dalam sebuah hadits bahwa Rasulullah shalat dengan berdiri di atas mimbar, kemudian beliau bertakbir, lalu para makmum bertakbir (sedang beliau tetap berada di atas mimbar), kemudian bangkit dari ruku', lalu mundur, turun dari mimbar, kemudian bersujud ke tanah. Beliau mengulanginya lagi dan terus melakukannya sampai selesai shalat. Kemudian beliau menghadap makmum dan berkata “wahai manusia, saya melakukan hal itu tadi supaya kalian dapat mengikuti aku dan kalian dapat mempelajari shalatku” (HR. Abu Dawud, Nasa'i & Ibnu Khuzaimah).

Tergambar ketelitian dan kehati-hatian Rasulullah menjelaskan tentang shalat, berharap jangan sampai umatnya melakukan kekeliruan dalam tata cara tersebut. Nampak bahwa benar-benar shalat kita tidak boleh berbeda dengan yang telah beliau ajarkan.

Rasulullah selalu memperhatikan shalat para sahabatnya. Ketika beliau melihat shalat para sahabat ada yang salah (tak sesuai dengan ketentuan) maka seketika itu beliau langsung menegur dan membenarkan cara shalatnya. Seperti ketika beliau melihat para sahabat ada yang salah cara ruku' dan sujudnya atau arah pandangan mata yang tidak melihat ke tempat sujud, beliau ancamkan sebagai sebuah bentuk pencurian. Sebagaimana dinyatakan dalam sebuah hadist : “Pencurian yang paling jahat adalah pencuri yang mencuri dari shalatnya, yaitu orang yang tidak sempurna ruku' dan sujudnya dalam shalat”. Begitulah ketatnya “peraturan” tentang shalat ini, benar-benar tak ada tempat untuk ide dan pemikiran kita untuk ikut campur tangan dengan ketentuan kaifiyah shalat ini.
Begitu teliti dan hati-hatinya Rasulullah dalam memperhatikan masalah shalat hingga ketika Beliau menjumpai masih saja ada yang mencoba shalat dengan caranya sendiri, beliau pun mengancam “jangan macam-macam aku bisa melihat kamu-kamu sekalian dari balik punggungku”. Begitu tegas Rasulullah dalam hal shalat ini, menandakan bahwa shalat itu tidak boleh asal-asalan sedikitpun tidak boleh beda, haruslah cermat sebagaimana beliau shalat.

Terlihatlah oleh kita betapa serius dan sungguh-sungguhnya Rasulullah mengatur tentang masalah shalat ini. Tampaklah bahwa shalat adalah sesuatu hal yang sangat penting dan mendasar, sehingga para sahabat pun mulai mencontoh dan tidak ada yang berani mencari-cari cara lain dalam shalat.
Maka tampak dengan jelas bahwasanya tidaklah mereka takbir, bersedekap, ruku', sujud, dan duduk dalam shalat, terkecuali semata-mata karena rasa patuh dan tunduk terhadap ketentuan Rasulullah. Tidak ada keinginan dan keberanian untuk berbeda dari Rasulullah. Iman di dalam dada mereka mengatakan apabila mereka tidak mematuhi Rasulullah maka hati mereka serasa berontak, merasa durhaka dan berdosa karena telah menyalahi ketentuan Rasulullah. Inilah motivasi shalat para sahabat, bahwasanya gerakan-gerakan yang dilakukan dalam shalat tidak lain adalah kepatuhan menjalankan serangkaian perintah. Begitulah sifat patuh dan tunduk pada Rasulullah mulai dibangun dan dilatih dari ketundukan dalam shalat.

Demikianlah metoda Rasulullah mendidik jiwa-jiwa patuh para sahabatnya, sehingga melahirkan jiwa yang konsisten dan kuat menjalankan perintah. Karena jika terbiasa patuh dalam shalat maka akan kita dapatkan sebuah atmosfer jiwa yang merayapi seluruh anggota tubuh kita dari kepala, mata, tangan, hingga kaki, menjadikannya sebagai anggota-anggota tubuh yang terbiasa dan terlatih untuk patuh. Akibatnya, jiwa pun terdidik menjadi patuh melakukan ketentuan apapun di luar shalat.
Namun tidak semua orang-orang yang ada disekitar Rasulullah mau bershalat dengan cara seperti itu. Ada diantara mereka yang disebut al-Quran sebagai golongan orang-orang munafik yang keberadaannya ditunjukkan dari tata cara shalat dan motivasi mereka dalam shalat. Hal ini seperti yang digambarkan dalam surat An-Nisa' 142 :
Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. dan apabila mereka mengerjakan shalat mereka mengerjakan dengan malas atau asal-asalan. mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. dan tidaklah mereka mengingat allah kecuali sedikit sekali.

Orang-orang munafiq itu sudah terbiasa menipu, biasa menipu Rasulullah, dan biasa menipu orang-orang beriman. Namun Allah tidak mungkin bisa mereka permainkan, sebaliknya Allah membongkar sifat-sifat munafik mereka dalam Surat An-Nisa' di atas dengan menunjukkan ciri yang paling menonjol yaitu dari shalat yang mereka kerjakan, yang tidak mungkin dapat mereka sembunyikan. “Apabila mereka mengerjakan shalat mereka berdiri dengan malas atau asal-asalan”.
Demikianlah ciri orang munafik yang terlihat dari shalat yang malas-malasan dan akibatnya shalat yang mereka kerjakan hanyalah asal-asalan. Tidak sesuai dengan petunjuk. Mereka tahu ketika takbir haruslah mengangkat kedua tangan sejajar telinga atau bahu sebagaimana yang dicontohkan Rasullah. Namun, jiwa taat pada Rasullah ini yang tidak ada dalam jiwa mereka sehingga mereka tidak mau melakukannya dengan benar. Orang-orang munafiq hanya mengangkat sekedarnya saja, hanya sebagai isyarat. Ketika ruku' harus meluruskan tulang punggung, mereka hanya menunduk sedikit saja, ketika harus duduk di atas kaki kiri dan menegakkan kaki kanan, mereka justru duduk di kedua kakinya. Begitulah gambaran shalat orang-orang munafik.
Mereka tahu apa yang sebenarnya harus mereka lakukan dalam shalat, tapi karena jiwa patuh itu tidak pernah ada maka mereka pun mengabaikan contoh shalat dari Rasulullah dan melakukan shalat dengan caranya sendiri, cara-cara yang menurutnya lebih aman dan nyaman. Mereka tidak pernah merasa shalatnya diawasi Allah, hingga tak pernah berharap penilaian dari Allah, yang mereka cari hanyalah penilaian manusia (riya').
Sifat riya' inilah yang mungkin tidak akan pernah bisa dikenali oleh orang lain, karena mungkin saja gerakannya sama dengan orang-orang beriman, tapi jauh di dalam hatinya tersimpan motivasi bukan mengharap penilaian Allah, tetapi hanya ingin menampak-nampakkan dihadapan manusia demi mendapatkan penilaian dari mereka. Tapi Allah Yang Maha Teliti mengetahui setiap inci gerak hati hambaNya, bahwa ciri orang munafik dalam shalat “ dan tidak pula dia mengingati Allah itu kecuali sangat sedikit”.
Inilah watak orang-orang munafiq. Hanya mulut mereka saja yang berkomat-komit sekedar melafadzkan nama Allah tanpa pernah jiwa mereka terhubung dengan Allah dalam setiap kejadian.
Sehingga di luar itu mereka lalai dari mengingat Allah. Bukankah ketika kita lihat matahari, bintang, bulan, hujan ... seharusnya kita mengingat kebesaran Allah? Bukankah ketika kita melihat susunan tubuh kita, perkecambahan tumbuhan dan kembang biak hewan-hewan juga mengingatkan kita pada kuasaNya? Bukankah seharusnya lebih banyak tempat dan waktu untuk kita mengingat dan meninggikanNya dari sekedar melafadzkan namaNya saja? Bukankah mengingat Allah artinya mengingat ketentuan-ketentuanNya? Maka ketika kita terbentur dengan masalah, hal pertama yang harus kita ingat adalah ketentuan Allah. Dalam kondisi apapun ketika kita selalu merujuk dengan ketentuan Allah itulah makna dzikrullah ... mengingat Allah.

Lalu bagaimanakah dengan motivasi shalat kita? Apakah sudah sama seperti motivasi shalat para sahabat? Apakah sudah benar-benar merujuk pada contoh dari Rasulullah? Ataukah sekedar meniru begitu saja dari “guru-guru” kita? Ataukah hanya melihat kebiasaan (adat) shalat orang-orang di sekitar kita? (Walaupun sudah jelas shalat mereka berbeda dengan Rasulullah ... ada diantara gerakan-gerakan shalat mereka itu tidak berdasarkan contoh dari Rasulullah). Atau sama sekali kita tidak mau tahu dan menganggapnya sebagai sesuatu yang tidak penting!!! Jika memang demikian “kondisi” shalat kita maka tidaklah heran jika umat besar dan hebat seperti yang dibentuk oleh Rasulullah dan para sahabat tidak pernah muncul lagi setelah mereka. Karena shalat yang dikerjakan oleh umat yang sekarang ini belum punya dampak seperti shalat umat yang bermula dahulu.

Sekarang mari kita lihat umat ini ... kita melihat banyak masjid dibangun dan diperluas disana-sini, seolah tidak mampu lagi menampung jamaah yang ada. Kumandang adzan yang sahut-menyahut dari masjid ke masjid dan mushalla, hingga dari stasiun televisi dan radio. Kita pun tak jarang menjumpai papan bertuliskan “Sudahkah Anda shalat?” atau “Shalat Adalah Tiangnya Agama” yang terpampang di tembok-tembok maupun baliho-baliho besar di seantero jalan-jalan dan jembatan. Semua seolah dipergunakan sebagai 'alarm' untuk mengingatkan umat ini pada shalat.
Demikian juga akhir-akhir ini kita dapati fenomena pelatihan shalat khusyu' yang menuntut biaya jutaan rupiah. Nampak begitu besar perhatian umat ini pada masalah shalat, seolah-olah shalat itu begitu pentingnya. Belum lagi kita lihat pada saat shalat Ied, berbondong-bondongnya orang dari seluruh penjuru negeri bergerak bersama-sama menuju lapangan. Terlihat begitu antusiasnya umat ini dan begitu hebatnya penampilan umat ini dalam shalat.

Tapi di tengah-tengah umat besar yang telah bershalat ini, mengapa agama ini tidak kunjung tegak di atas bumiNya? Mengapa umat besar ini sama sekali tidak punya kekuatan untuk menegakkan ketentuan Allah dan mencegah apa-apa yang diharamkanNya? Bukankah ayat telah menentukan bahwa shalat itu dapat mencegah perbuatan keji dan munkar? Namun mengapa kemunkaran masih saja semarak dimana-mana? Apakah al-Quran telah salah membuat ketentuan? Jika kita meyakini al-Quran telah salah membuat ketentuan, maka benar-benar telah kafirlah kita. Yang pasti bukanlah itu penyebab kegagalan umat ini, tapi kitalah yang salah.

Kitalah yang sebenarnya BELUM SHALAT, walaupun secara lahirian tubuh kita telah jungkir balik untuk sujud dan rukuk. Kita pun belum benar-benar mengingat Allah, walaupun secara kasat mata bibir kita telah berkomat kamit menyebut namaNya. Semua karena kesalahan shalat kita!!!. Kita belum shalat sebagaimana yang diperintahkan Allah dan dicontohkan Rasulullah... Itulah jawaban atas kegagalan umat ini.

Shalat yang seumur hidup telah kita kerjakan nyatanya bagai debu yang ditiup angin. Sama sekali tak berbekas ... tak mampu membangunkan jiwa-jiwa kita yang mati sehingga tak mampu bergerak untuk patuh pada ketentuan-ketentuan Allah. Jadi berbesar hatilah jika nyatanya kita ini memang bukanlah para mushollin, sebutan kebanggan Allah untuk hambaNya yang telah shalat dengan benar dan hanya mengharap pada penilaianNya. Maka haruslah setiap diri kita menilai kembali ... mengoreksi dan mencocokkan lagi dengan shalat yang diajarkan Rasulullah DARI TAKBIR HINGGA SALAM.