Translate

Senin, 18 April 2011

Apa-Apa yang telah Mereka Gariskan


            Allah telah mendidik Rasulullah dan umat bermula dengan suatu metoda yang sangat sempurna. Suatu metoda yang telah berhasil melahirkan sekelompok manusia yang bersedia untuk menjadikan hanya al Quran saja sebagai satu-satunya sumber petunjuk dalam segala segi kehidupan mereka. umat yang belum pernah tampil kembali setelahnya. Suatu umat yang telah mendapat pendidikan langsung dari Rabb mereka, sehingga jadilah mereka manusia yang berbeda, yaitu umat yang kemudian menyerahkan sepenuhnya segala urusan mereka kepada wahyu.
            Suatu metoda yang dapat kita lihat dengan jelas bagaimana Allah telah mendidik dan mengarahkan hamba-hambaNya untuk sanggup menerima serta menjalankan kehidupan ini hanya berdasarkan apa yang telah digariskan Allah bagi mereka. kalau kita renungkan secara mendalam mengenai hal ini, tentulah bgi kita tiada lagi metoda pendidikan yang lebih sempurna di dalam mendidik manusia daripada metoda yang telah dibuat dan dipakai Allah di dalam mendidikn Rasulullah dan para sahabat yakni umat bermula.
Di dalam mendidik Rasululllah dan para sahabat Allah memulai dengan menurunkan wahyu pertama yaitu surat al ‘Alaq,  dimana surat ini akan menyiapkan manusia untuk mau menerima wahyu sebagai petunjuk dan pengajaran dari Rabb pencipta dirinya.  Dengan menumbuhkan kesadaran bahwa dirinya adalah makhluk yang sengaja diciptakan dengan segala keterbatasan di dalam mengetahui hakekat kehidupannya.
Sehingga menjadikan dirinya sangat tergantung pada pengajaran dari Rabbnya untuk mengetahui apa-apa yang sebenarnya menjadi sesuatu yang Ghaib bagi dirinya.  Selanjutnya dia akan selalu memposisikan dirinya untuk bersedia dan bersiap menjadi orang yang mau diajari oleh Rabb Penciptanya, dan jadilah dirinya sebagai orang yang selalu menunggu-nunggu wahyu.
Tidak akan mampu menjalankan wahyu selanjutnya sebelum ayat ini menjadi mantap di dalam dirinya dan telah merubah cara berpikirnya secara mendasar hingga sampailah pada satu kesimpulan bahwa tiada lagi petunjuk yang mesti diikutinya kecuali apa-apa yang diajarkan Rabb-Nya Yang Maha Tahu segalanya dan bagaimana dia harus meletakkan logikannya ketika berhadapan dengan wahyu. Sehingga ketika surat al Muzammil yang merupakan wahyu kedua ini turun, beliau telah mempunyai kesadaran bahwa yang dihadapinya adalah wahyu dari Yang Maha Tahu.
Dalam surat al Muzammil, Allah mendidik Rasulullah dengan shalat malam. Hal ini bertujuan untuk mengokohkan dirinya, sehingga mampu dan punya kesiapan yang tinggi di dalam menjalankan tugas-tugas berat yang akan turun selanjutnya. Allah menyatakan berat berarti apa yang akan dihadapi adalah hal yang memang benar-benar berat, berat dalam pelaksanaan, berat dari akibat yang akan ditimbulkan, berat pula di dalam perasaannya.
Dalam berbagai riwayat dapat kita bayangkan betapa beratnya Rasulullah saat menerima wahyu. Bagaimana beliau dilanda ketakutan, kecemasan, dan kondisi fisik yang memperlihatkan beratnya menerima wahyu. Untuk menerima saja begitu berat apalagi menjalankan wahyu tersebut. Dan kesiapan menyongsong tugas berat itu tidak lain hanya bisa ditumbuhkan dengan jalan membina diri dengan shalat malam.
Sedemikian rupa rencana Allah dalam menyiapkan seorang hambaNya untuk sanggup menerima tugas berat yang Allah maksudkan dalam wahyu keduaNya, “sanggup” menerima dan menjalankan wahyu selanjutnya yaitu surat al Mudatstsir yang memerintahkan untuk andzir. Dengan turunnya perintah ini maka mulailah beliau membuat garis antara dirinya dengan masyarakat sekitar. Sehingga timbullah gesekan, benturan bahkan reaksi keras dikarenakan apa yang telah beliau andzirkan.
Kalau kita perhatikan tahapan-tahapan yang dilalui dari metoda Allah di dalam menurunkan al Quran secara berangsur-angsur, bahwasanya sejak diturunkannya surat al ‘Alaq sampai al Muzammil dan menyuruh beliau melakukan pembinaan diri dengan shalat malam. Belum akan timbul masalah-masalah berat. Tetapi setelah turunnya surat al Mudatstsir yang memerintahkan beliau untuk menyampaikan dan membawa misi Allah untuk semua manusia, barulah timbul benturan dengan masyarakat. Inilah titik awal seseorang masuk dalam persoalan-persoalan agama ini. Dan dari sini barulah segala persoalan dalam agama ini bermula.
Garisan yang lurus yang berasal dari RAbb Yang Maha Tinggi ini terasa bertentangan di hadapan masyarakat  jahiliyah. Ajakan untuk kembali kepada ajaran yang hanif ini berbenturan dengan tradisi jahiliyah yang telah mengakar kuat sebagai agama di lingkungannya yang telah diwariskan secara turun temurun.
Apa yang beliau sampaikan itu akan menghancurleburkan segala keyakinan dan tradisi nenek moyang yang selama ini telah menjadi agama bagi mereka. maka memerangi apa yang dibawa Muhammad adalah sesuatu yang pasti mereka lakukan.
Sungguh ironi apabila melihat latar belakang beliau. Sosok Muhammad yang sebelumnya dikalangannya dianggap sebagai sosok yang dapat dipercaya bahkan gelar al amin mereka sematkan kepada beliau, bahwa apapun yang dikatakan Muhammad pasti benar dan mereka percayai sepenuhnya. Bahkan, banyak orang yang mempercayakan hartanya untuk dititipkan kepada beliau. Akan tetapi segala kepercayaan itu ternyata semua tidak berguna ketika beliau menyampaikan tentang kebenaran ayat kepada kaumnya.
Hal ini dapat dilihat dalam suatu riwayat menceritakan, Muhammad berada di tengah-tengah kaumnya berbicara dengan lantang “apakah kamu percaya apabila aku kabarkan bahwa dibelakang gunung ada sepasukan kuda musuh yang datang akan menyerang?” dan serempak mereka menjawab “ya kami percaya”. Begitu percayanya mereka pada perkataan Muhammad. Akan tetapi, saat Muhammad menyatakan dirinya Rasul Allah, serempak mereka tidak mempercayainya.
Hal ini mengajarkan kepada kita bahwa cara berpikir manusia pada umumnya akan membelenggu dan mengungkungi jiwa dan hati manusia dalam menerima kebenaran. Sungguh pun jiwa dan logika manusia sebenarnya mengenali bukti kebenaran itu.
Hal ini juga mengajarkan kepada kita bahwa segala macam gelar keilmuan dan berbagai atribut keduniawian sebenarnya juga tidak akan berguna untuk meyakinkan manusia tentang kebenaran yang sesungguhnya yang berasal dari Rabb yang Maha Tahun. Nampak bahasanya yang terjadi apabila konsep berpikir yang sudah mentradisi atau turun-menurun telah mengakar dalam diri manusia apabila dibenturkan dengan kebenaran wahyu dari Rabb Pencipta mereka sendiri tetap saja mereka secara terang-terangan akan menolaknya.
Hal ini disebabkan karena konsep berpikir semacam ini hanya berorientasi kepada dunia saja dan hanya melihat segala sesuatu secara lahiriyah saja dan tak mampu melihat kehidupan ini secara utuh bahwa dibalik hal-hal nyata yang dilihatnya ada sesuatu yang tak dapat diindra dan dijangkau oleh akalnya sehingga tidak pernah memberikan kesadaran mengenai arti dan tujuan kehidupan.
Demikianlah, penolakan demi penolakan datang bertubi-tubi dialami Rasululullah. Sempat terjadi kebingungan yang mempengaruhi diri beliau karena reaksi yang timbul itu terjadi secara terus-menerus. Belaiu mencoba memahamid an menghayati atas sikap-sikap penolakan itu.
Apakah ada sesuatu yang salah pada yang beliau kerjakan atau yang beliau sampaikan itu? bukankah pelajaran yang disampaikannya adalah sesuatu yang diturunkan oleh Rabb pecipta mereka sendiri yang akan mengajarkan bagaimana seharusnya mereka membentuk dan menjalani kehidupan dimuka bumi ini!! Disaat beliau mencoba memahami dan menghayati atas sikap-sikap penolakan itu, Allah menurunkan surat Al-Qalam ayat 1 s/d 7, dimana Allah memberikan pengarahan kepada Rasulullah dalam menghadapi hambatan dan kenyataan yang sedang dihadapinya itu. Menyiapkan mental beliau dalam menghadapi akibat menjalankan surat al Mudatstsir.
Jadi hal ini sekaligus menjawab pendapat beberapa riwayat yang menyatakan bahwa surat ini adalah surat yang kedua turun sesudah surat Al-Alaq, padahal apabila kita perhatikan persoalan yang tersebut dalam surat ini, dapat kita perkirakan bahwa surat ini diturunkan setelah Rasulullah berdakwah secara terang-terangan kepada masyarakatnya (kaum Quraisy), yaitu setelah turunnya surat Al-Mudatstsir. Berikut isi surat Al-Qalam ayat 1 s/d 7 tersebut :

 Nuun, Walqolami wamaa yasturuun (1) maa anta bini'mati robbika bimajnuun (2) wa-inna laka la ajron ghoiro mamnuun (3) wa innaka la'alaa khuluqin 'adziim (4) fasatubshiru wayubshiruu (5) biayyikumul maftuun (6) inna robbaka huwa a'lamu biman dholla 'an sabiilihi wahuwa a'lamu bilmuhtadiin (7)

nuun, demi al qolam dan apa-apa yang mereka gariskan (1) tidaklah kamu dengan nikmat Rabb-mu ini kamu menjadi gila (2) dan sesungguhnya bagi kamu benar-benar balasan yang tidak ter-angan-kan (3) dan sesungguhnya kamu benar-benar berakhlak yang agung (4) maka kelak kamu akan melihat dan mereka (orang-orang kafir)pun akan melihat (5) siapa di antara kamu yang gila (6) sesungguhnya Tuhanmu, dia-lah yang paling mengetahui siapa yang sesat dari jalan-nya; dan dia-lah yang paling mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk (7)

1. NUUN
Surat ini dimulai dengan huruf Nun, yang dibaca panjang. Seolah-olah apabila kita baca akan menggambarkan suatu raut muka orang yang sedang bingung, dan apabila kita coba  untuk mencari pengertian dari huruf Nun ini juga akan menimbulkan kebingungan pula bagi pembacanya, karena ini hanya berupa huruf yang tidak memiliki pengertian. Mengapa memilih huruf Nun, tidak huruf hijaiyah yang lain?
Kita tidak tahu pasti tetapi kita yakin pastilah Allah tidak memilih huruf ini secara acak tanpa suatu rencana, tentulah ada maksud dibalik Allah menurunkan huruf Nun ini mengawali surat al Qolam.
   Bukankah gambaran ini seperti keadaan yang juga terjadi dalam diri Rasulullah saat menerima wahyu ini? Kebingungan!. Seolah-olah ada keterkaitan antara keduanya, mengartikan suatu simbol kebingungan Rasulullah. Seolah-olah Sang penerima wahyu sedang dalam kebingungan.
   Akan tetapi bukankah tidak penting mengartikan huruf Nun ini, sebab nanti di surat-surat yang lain kita juga akan temui huruf-huruf yang di awal ayat dimulai dengan huruf seperti Ali Lam Miim, Tho Ha, 'Ain Siin Qoof dan masih ada yang lainnya. Sebuah keunikan dari metoda Allah swt dalam menurunkan wahyunya, seolah-olah melalui rangkaian huruf-huruf yang tak memiliki arti ini, targetnya hanya untuk memunculkan ketertarikan 'rasa ingin tahu lebih' daripada satu huruf nun.
Demikianlah salah satu metoda Allah dalam menarik perhatian seseorang. Kalau didalam menurunkan surat Al-Alaq digunakan cara mempertemukan beliau dengan malaikat Jibril, agar perhatian beliau tertuju sepenuhnya terhadap apa yang disampaikan malaikat Jibril. Kemudian tertarik kepada apa yang diperintahkan kepadanya. Sehingga ada kesiapan dalam dirinya menerima wahyu.
Cara lainnya adalah dengan menyentakkan suatu sebutan dikaitkan dengan keadaan atau ciri yang melekat pada dirinya. Sebagaimana yang kita lihat dari surat  Al-Muzammil dan Al-Mudatstsir, dimana beliau dipanggil dengan “Yaa ayyuhal Muzammil” ataupun “Yaa ayyuhal Mudatstsir” yang artinya berkemul atau berselimut. Semua cara atau metoda itu bertujuan sama yaitu untuk menarik perhatian, membuat orang berkonsentrasi dengan apa yang akan disampaikan.
WAL QOLAAMI WA MAA YASTHURUUN-DEMI AL QOLAM DAN APA-APA YANG MEREKA GARISKAN,-
Allah bersumpah dengan al-Qalam dan demi apa-apa yang mereka gariskan. Arti Qalam disini secara bahasa berarti pena atau sesuatu yang diruncingkan ujungnya. Tetapi sungguh pun al Quran turun dalam bahasa Arab namun istilah ini telah menjadi istilah al Quran, dengan definisinya sendiri pula. Jadi tidaklah tepat kalau kita mengartikan pena ini diartikan secara pengertian bahasa. Dan bagi Rasululllah dimana beliau sudah menghayati pengertian al Qalam ini sejak turunnya wahyu pertama surat al Alaq ayat ke-4, Allah berfirman “alladzi 'allamal bil qalam”.
Maka jelaslah arti qalam itu sendiri menurut ayat ini adalah sesuatu yang dijadikan Allah untuk mengajar. Dan ketika al qalam ini dijadikan sumpah oleh Allah maka semakin jelaslah artinya bukan pena. Tetapi maksudnya adalah wahyu yang kemudian tertulis secara abadi di dalam kitab yaitu al Quran.
Sedangkan Maa Yasturuun adalah apa-apa yang mereka gariskan, yasturuun merupakan kata kerja yang berarti 'menggaris'. Apa yang dimaksud dengan 'garisan' disini? yaitu sikap di dalam menanggapi dakwah yang disampaikan oleh Rasulullah dengan segala rencana yang disusun dan dibuat manusia untuk melumpuhkan atau bahkan menghancurkan dakwah beliau. Jika fakta sejarah mengungkap tradisi kaum musyrikin Mekkah dalam menanggapi dakwah nabi dihadapi secara bersama-sama, yaitu selalu mengadakan rapat-rapat. Dan dalam pertemuan rapat itu menghasilkan garisan-garisan berupa rencana-rencana, kemudian dari rencana tersebut menghasilkan suatu keputusan. Hasil keputusan itu kemudian dituangkan dalam bentuk tulisan, tiada lain isinya berisi segala strategi untuk menyerang dakwah. Tulisan itulah yang disebut maa yasturuun. Jika manusia mampu membuat garisan, tentulah Allah pun juga lebih mampu membuat garisan. Inilah 'garisan' yang akhirnya menunjukkan satu sikap penolakan atau penerimaan terhadap wahyu. Inilah yang dimaksud ma yasturuun suatu garisan yang membedakan apa yang berasal dari Rabb dan apa-apa yang direkayasa manusia untuk menolak akan ayat.
Bukankah yang dilakukan orang-orang tersebut tidak hanya terjadi dijaman Rasulullah saja? Bukankah sampai saat ini hal itu juga terjadi pada semua manusia yang mencoba menolak apa-apa yang berasal dari Rabb? Mereka menyusun rencana-rencana yang tertuang didalam suatu keputusan yang tertulis pula. Allah bersumpah dengan Al-Qalam yaitu apa-apa yang diwahyukan-Nya dengan membandingkan apa-apa yang berasal dari manusia. Sebuah perbandingan yang kontras, membandingkan yang berasal dari Rabb dengan sesuatu yang berasal dari manusia (yang merupakan ciptaan-Nya). Jadi dengan persumpahan ini dimaksudkan untuk menjawab segala kebingungan Rasulullah.

2.  MA ANTA BINI'MATI RABBIKA BI MAJNUUN -TIDAKLAH KAMU DENGAN NIKMAT RABB-MU INI KAMU MENJADI GILA.-
Kata “ma anta...”(tidaklah kamu...) jelas menunjukkan bahwa beliau telah terpengaruh dengan tuduhan orang kafir  terhadap dirinya bahwasannya beliau majnun.  Penegasan kalimat 'tidaklah kamu' suatu bentuk penafian Allah swt kepada diri nabi bahwa apa yang telah beliau kerjakan di mata Allah sudah benar.
      Sedangkan kata Majnuun harfiahnya berarti gila yaitu adanya kerusakan pada syarafnya. Padahal sesungguhnya kondisi Rasulullah secara lahir ataupun pikiran tidaklah demikian. Inilah tuduhan yang dilemparkan orang kafir kepada beliau, sebagai salah satu strategi yang dilancarkan oleh orang kafir untuk menghambat dakwah Rasulullah.
Hal tersebut hanyalah sebagai upaya mereka didalam usahanya membendung atau menghambat dakwah Rasulullah. Apalagi ketika itu misi dakwah beliau mulai disampaikan tidak hanya dikalangan kaumnya saja tetapi lebih meluas sampai kepada para jamaah haji yang datang ke Mekkah. Dimana Haji pada waktu itu adalah tradisi turun-temurun yang merupakan peninggalan ajaran nabi Ibrahim. Sedemikian takutnya mereka terhadap dakwah Rasulullah jika berhasil mempengaruhi orang-orang tersebut.
Maka mulailah disebarkan fitnah untuk membunuh karakter beliau yaitu dengan melontarkan isu bahwa Muhammad adalah “orang gila”, dan ternyata cara itu sedikit banyak mempengaruhi pendapat masyarakat tentang sosok Muhammad.
     Walaupun pada akhirnya apapun cara mereka untuk menghambat dakwah terbukti gagal. Mereka tidak mampu membendung hakekat kebenaran yang dibawa Rasulullah dalam dakwahnya.  
     Walaupun masyarakat disekitarnya menganggap bahwa apa yang diperbuatnya adalah suatu kegilaan, namun tidaklah demikian menurut Rabb-nya. Melalui ayat ini Allah mengingatkan bahwa apa-apa yang telah diterima Rasulullah berupa pengajaran pada hakekatnya adalah nikmat.
        Allah memberikan kepastian bahwa apa yang diajarkan dan diterima Rasulullah dari Rabb-nya merupakan sesuatu yang haq, dan beliau bukanlah orang seperti apa yang mereka tuduhkan. Allah menjamin dengan pasti bahwa beliau adalah orang yang berada pada garis lurus kebenaran dan tidak sekalipun berada di garis yang menyimpang!!!
Maka terbayang oleh kita alangkah bodohnya manusia dengan segala pengetahuan pada sisi mereka ketika menyikapi suatu hakekat kebenaran. Ketika manusia dengan segala  pengetahuannya mencoba untuk menilai apa-apa yang telah diturunkan Allah.
Alhasil mereka menganggap apa yang hakekatnya benar, justru dianggap salah. Beginilah tradisi berfikir manusia, sebenarnya apa yang mereka sebut sebagai metodologi ilmiah, bukti empiris, logika, dan teori, yang telah menghasilkan ilmu pengetahuan dan teknologi, pada dasarnya sama sekali tidak bermanfaat untuk mencapai hakekat kebenaran, akibatnya justru kesalahan dan kesesatan yang terjadi.
Sebenarnya secara logika berpikir manusia, apabila begitu banyak orang yang menyebut bahwa seseorang itu gila, tetapi hanya satu pendapat saja yang menyatakan bahwa dia itu tidak gila, maka pendapat satu orang tersebut tidaklah dapat dipercayai. Namun bagaimana jika yang menyatakan itu adalah suara Wahyu..!!!
Maka tentulah pernyataan itu tidak perlu diragukan atau dipertanyakan lagi oleh kita.
Jadi tuduhan-tuduhan yang ditujukan kepada Rasulullah yang menyatakan bahwa beliau gila hanyalah semata-mata keterbatasan pengetahuan mereka yang tidak mampu untuk melihat hakekat kebenaran. Pemikiran inilah yang sempat ada dibenak Rasulullah ketika menjalankan perintah anzir tersebut. Padahal beliau sebenarnya telah mendapatkan nikmat dari Rabb-nya.
Bukankah kita manusia yang serba terbatas... yang seringkali kita menilai sesuatu dari akibat yang diterima karena suatu perbuatan dengan melupakan nikmat yang diperoleh. Seperti seorang petani yang berdoa memohon agar tanamannya tumbuh subur dan berbuah lebat dan ketika tanamannya telah tumbuh subur dan berbuah lebat ternyata harganya jatuh, dan ia pun merasa rugi padahal dia sudah menerima nikmat karena doanya terkabul. Karena buah yang lebat adalah nikmat, sedangkan harga yang jatuh adalah hal yang lain lagi. Beginilah kita sering lupa telah menerima nikmat. Jadi bisa direnungkan betapa terbatasnya pengetahuan manusia itu. Sehingga ayat inilah yang menjadi jawaban atas keraguan dan kegelisahan beliau bahwa... Allah telah membenarkan segala apa yang telah diperbuatnya. 

3. WA INNAKA LA AJRON GHOIRO MAMNUUN -DAN SESUNGGUHNYA BAGI KAMU BENAR-BENAR MENDAPAT BALASAN YANG TIDAK TER-ANGAN-KAN (TERPUTUS).
Demikianlah ayat ini menjelaskan bahwa apa yang beliau lakukan, semenjak turunnya wahyu yang dimulai dari surat al 'alaq, kemudian al muzammil hingga al mudatstsir bukanlah suatu perbuatan yang sia-sia. Sebab menurut sudut pandang manusia bahwasanya perbuatan yang tidak menghasilkan perolehan materi adalah sesuatu yang sia-sia. Sesungguhnya  apa yang telah dilakukan oleh Rasulullah seperti mengerjakan shalat malam, kemudian berdakwah merupakan sesuatu yang justru dinilai tinggi oleh Allah dan akan memperoleh balasan atau upah yang tinggi pula.
Allah menjanjikan sesuatu yang pasti kepada Rasulullah yaitu jaminan akan mendapatkan upah atau balasan yang tidak terbayangkan banyaknya, dikarenakan Rasulullah telah menjalankan perintah dari Rabb-nya dan bersabar atas segala hambatan dan tantangan yang muncul diakibatkan menjalankan perintah tersebut.Upah atau balasan yang dijanjikan Allah tersebut tidak selalu hanya berupa materi saja, tetapi dapat berupa nikmat yang tiada terputus-putus, tidak terbayangkan betapa banyaknya nikmat yang diterima itu, baik nikmat yang diberikan pada jiwa (perasaan bahagia, kesenangan atau ketentraman) dan raga (kesehatan), baik di dunia maupun di akhirat.
Tiada satupun yang dapat menandingi nikmat yang diberikan Allah, sebagai sesuatu yang dijanjikan dan Allah tidak akan mengingkari janjiNya.
    Hal ini telah dibuktikan, sebagaimana diriwayatkan bahwa bagaimana kehidupan Rasulullah dan para sahabat yang berjuang bersama beliau dijalan-Nya, didunia ini yang diliputi kebahagiaan dan kenikmatan. Walaupun Rasulullah hidup dalam kesederhanaan, dengan makan dan tidur dengan keadaan yang serba sederhana. Tetapi beliau berani memberikan apapun yang ada pada dirinya untuk menjalankan wahyu, dikarenakan keyakinan beliau bahwasanya semua itu akan diganti Allah. Tiada beda pula dengan apa yang dilakukan para sahabat.
Disamping itu pengertian upah diperluas tidak hanya diterima didunia tetapi diperluas sampai ke akhirat sebagaimana ditegaskan dalam QS.Yusuf ayat 57 : “Dan upah (pahala) akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang beriman, sedangkan mereka bertakwa” dan QS.An Nahl ayat 41 : “Dan sungguh upah (pahala) akhirat itu lebih besar, kalau mereka mengetahui”. Jadi bukankah janji Allah untuk memberi upah tersebut sebenarnya tiada pernah akan terputus, yang diperuntukkan bagi Rasulullah dan orang-orang yang mengikutinya. Jadi tidaklah perlu ada keraguan dalam menjalankan perintah-Nya seperti apa yang telah dicontohkan oleh Rasulullah. Itupun jikalau manusia mau berpikir lebih mendalam. Sungguh Allah tidak akan pernah mengingkari janji-Nya.

4. WA INNAKA LA'ALAA KHULUQIN 'ADZIIM -DAN SESUNGGUHNYA KAMU BENAR-BENAR BERAKHLAK YANG AGUNG.-
    Inilah pengakuan atau pujian Allah terhadap diri Rasulullah, bahwa beliau telah menjalankan segala apa yang diperintah Allah dengan benar dan sempurna. Tentulah yang dimaksud adalah sikap dan perbuatan yang beliau tunjukkan didalam menanggapi wahyu-wahyu yang turun sebelumnya. Yaitu bagaimana beliau merubah total cara berpikir dan pandangan hidupnya didalam menanggapi turunnya surat Al-Alaq. Sehingga tumbuh didalam dirinya kesiapan dan kemauan untuk menerima dan menjalankan ayat. Sebagaimana beliau melakukan shalat malam secara membabi buta tanpa memperdulikan ekses yang timbul dan berubah pula cara hidupnya. Terbukti dari dimulai dari malam yang seharusnya tidur justru beliau gunakan untuk shalat malam tanpa peduli sedikitpun apa yang akan terjadi pada keesokan harinya. Begitupula dengan jatuh bangunnya beliau didalam menjalankan perintah inzar dikarenakan turunnya surat Al-Mudatstsir dimana beliau menjalankan perintah tersebut dengan penuh kesabaran didalam menghadapi beratnya  cobaan di medan dakwah.
Inilah contoh nyata yang beliau tunjukkan dan diakui benarnya oleh Allah. Beginilah seharusnya seorang mahluk semestinya bersikap dan membina suatu hubungan kepada Khalik Penciptanya. Inilah akhlak yang agung itu! tidak hanya sebatas membangun hubungan baik antara sesama mahluk atau insan, baik kepada keluarga, orangtua, tetangga, maupun masyarakatnya. Justru Yang terpenting  hubungan antara dirinya sebagai mahluk dengan khaliknya yang mesti tegak terlebih dahulu, karena akhlak kepada mahluk itu hanya merupakan cerminan dari akhlak kepada khaliknya. Beginilah akhlak itu semestinya dipahami, tidak sebatas nilai-nilai moral, etika atau budi pekerti yang terlepas dari nilai-nilai yang telah ditetapkan oleh Rabb pencipta seluruh manusia.
Jadi dapat kita tarik kesimpulan bahwa apa yang beliau lakukan itu telah benar. Tidak ada yang perlu dirubah dengan membuat strategi, kiat, siasat atau teori sebagai konsep-konsep dari diri sendiri didalam menanggapi dan menyelesaikan masalah yang timbul sebagai akibat menjalankan wahyu. Nampak terjadi peperangan didalam jiwa Rasulullah, disatu sisi beliau telah menjalankan perintah Rabbnya. Sedangkan disisi lain timbulnya tanggapan dari masyarakat yang begitu keras akan dakwah beliau.
Tetapi karena Rabbnya telah meyakinkan bahwa yang telah dilakukan beliau telah sesuai dengan petunjukNya, bahwa pikiran ataupun tindakan merekalah yang salah. Maka timbullah kembali kepercayaan diri beliau untuk terus berbuat sesuai apa yang diperintahkan-Nya yaitu dengan hanya menunggu instruksi melalui wahyu yang datang selanjutnya.
Sebagaimana diriwayatkan ketika Aisyah ditanya tentang akhlak Rasulullah, jawabnya adalah akhlak beliau adalah Al-Qur'an.
Sebab Aisyah hanya melihat bahwasanya apa yang ada dalam diri Rasulullah segala ide, cara berpikir, tata nilai, tingkah laku yang dikerjakan Rasulullah hanya dipengaruhi oleh wahyu. Beliau sedikitpun tidak dipengaruhi atau mengambil dari nilai-nilai tradisi lingkungan Arabnya. Seseorang itu tidak akan mencapai akhlak yang sebenarnya kecuali segala sisi kehidupannya dipengaruhi dan dibentuk oleh al Quran saja.
Jadi hal ini menegaskan bahwa tidak ada yang dapat membentuk akhlak yang agung kecuali Al-Qur'an. Walaupun sebelum turunnya wahyu Muhammad telah diakui mempunyai kemuliaan akhlak menurut penilaian manusia, tetapi bukan itu yang dimaksud dengan akhlak yang agung. Beliau dianggap sebagai orang yang “dholam” yang artinya tak bernilai (QS. Adh-Dhuha:7) sebelum turunnya wahyu.     

[5] FASATUBSHIRU WA YUBSHIRUUN, [6] BIAYYIKUMUL MAFTUUN -MAKA KAMU AKAN MELIHAT DAN MEREKA PUN AKAN MELIHAT, SIAPA DI ANTARA KAMU YANG GILA -
    Maftuun adalah Gila karena Fitnahan atau tuduhan, sedangkan Beliau merasa tidak melihat ciri-ciri Gila pada dirinya.
Dan Kaum Musyrikin dengan melontarkan tuduhan terbut bermaksud agar membuat masyarakat menjauh dan tidak mempedulikan apapun yang berasal dari Muhammad. Kondisi terfitnah seperti inilah yang dirasakan Rasulullah saat itu.
Maka pada ayat ini Allah menyuruh nabi untuk melihat bukti yang akan terjadi, siapakah sebenarnya yang akan merasakan akibat dari fitnahan tersebut, dimana orang-orang kafir akan termakan oleh strategi dan rencana-rencana mereka sendiri. Sehingga dari ayat ini seakan-akan menertawakan segala macam strategi yang telah mereka buat tersebut sebagai bentuk perbuatan yang bertentangan dengan kenyataan yang ada.
Tentulah, dalam hal ini posisi Nabi adalah hanya menjadi orang yang menunggu dan menyerahkan masalah ini pada wahyu selanjutnya yang akan digunakannya sebagai petunjuk. Tanpa perlu membuat strategi dan siasat yang berasal dari diri ini sendiri. Sebab, Allah telah berjanji dan sudah punya rencana dan strategi sendiri yang akan mengarahkan beliau dalam menghadapi segala masalah yang timbul.
    Sehingga amatlah tidak perlu mencari cara sendiri dalam menghadapi benturan dari kaum Musyrikin Mekkah karena rencana Allah sudah pasti bahwa agamaNya pasti wujud di muka bumi. Dan tentunya bagi kita yang hidup sekarang ini dapat melihat bukti kebenaran dari pada ayat ini di mana kita pun telah mengetahui apa yang kemudian terjadi pada diri nabi dan apa pula yang terjadi pada orang-orang yang menentang dakwah beliau.
Maka tergambarlah oleh kita bagaimana beliau telah dididik dan diarahkan untuk hanya berpetunjuk pada ayat saja tanpa yang lainnya. Dan beginilah cara beliau beriman terhadap al-Quran.
7) INNA ROBBAKA HUWA A'LAMU BIMAN DHOLLA 'AN SABIILIIH, WAHUWA A'LAMU BIL MUHTADIIN -SESUNGGUHNYA RABB KAMU, DIA-LAH YANG LEBIH MENGETAHUI SIAPA YANG SESAT DARI JALAN-NYA; DAN DIA-LAH YANG LEBIH MENGETAHUI ORANG-ORANG YANG BERPETUNJUK.
   Ukuran yang menyatakan bahwa seseorang itu sesat ataukah berpetunjuk adalah berasal dari Allah, bukan dari penilaian manusia. Berarti Allah juga yang akan mengajarkan atau memberi tahu bagaimana ciri-ciri orang yang sesat dan berpetunjuk. Jadi demikianlah Allah menegaskan kepada Rasulullah yang mencoba membawa manusia kearah petunjuk.
Bahwa di medan dakwah akan banyak ditemui hambatan, rintangan dan perlawanan yang juga mengatasnamakan kebenaran, yang mungkin akan menggoyahkan keyakinan. Jadi mestilah diyakinkan terlebih dahulu apakah dirinya telah berada dijalan Rabb, dasar berbuat adalah ayat, dan yang disampaikan juga haruslah ayat yang telah diturunkan Rabb.
Dan dalam hal ini hendaklah kita mengetahui bahwasanya janganlah menjadi merasa dipusingkan atas hambatan, rintangan dan masalah yang dihadapi didalam berdakwah. Allah punya rencana dan Allah pasti tahu segala reaksi yang akan timbul. Allah-lah yang lebih tahu. Tugas kita hanya menyampaikannya.
Inilah wahyu keempat yang turun kepada Nabi, berisi pengarahan-pengarahan Allah kepada Rasul berkenaan dengan masalah-masalah yang timbul sebagai akibat beliau melakukan indzar dikarenakan  menjalankan perintah surat al-Mudatsir. Dimulai dengan persumpahan yang membandingkan apa yang berasal dari Allah dan apa yang dibuat oleh manusia. Perbandingan yang demikian kontras, dimana ilmu Allah diperbandingkan dengan ilmu manusia. Sehingga dengan cara ini Rasulullah kembali sadar dengan hakekat persoalan yang sedang terjadi. Beliau yang sebelumnya menjadi goyah oleh penilaian manusia yang menyatakan dirinya gila, mulai dapat menghayati mengapa mereka menilai demikian.. hal ini tidak lain dikarenakan begitu dangkalnya pengetahuan yang dimiliki manusia. Sehingga beliau mulai dapat merasakan bahwasanya dirinya sesungguhnya adalah orang yang telah menerima nikmat.
Ketika manusia menilai beliau memiliki akhlak yang buruk dikarenakan berani melawan tradisi dan agama para leluhur, tetapi lain dengan  Allah yang  justru menilai bahwasanya apa yang telah beliau lakukan didalam rangka membenarkan ayat melalui wahyu-wahyu yang sebelumnya walaupun harus berbenturan dengan siapapun justru merupakan sikap dan tindakan yang benar yang ditunjukkan seorang makhluk  kepada khalik penciptanya dengan menyebutnya sebagai manusia yang berakhlak agung.  Dengan demikian tidak ada yang perlu dirubah lagi dari cara beliau menjalankan wahyu. Semuanya itu sudah benar, tak perlu ada strategi, tak perlu ada siasat dan tak perlu ada inovasi dalam konsep berbuat. Demikianlah pesan-pesan penting dalam surat al-Qalam memberikan kepada beliau arahan-arahan yang jelas bagaimana beliau memandang dan menyelesaikan masalah-masalah yang timbul dan mengembalikan kembali kesadaran beliau sebagai orang yang menerima pengajaran dari Rabbnya.
Inilah bukti bagaimana beliau telah mencontohkan kepada kita bagaimana semestinya beriman dan membenarkan ayat. Dengan demikian inilah yang dapat kita ambil sebagai pelajaran didalam mempelajari kelompok-kelompok ayat yang turun mengawali isi al-Quran.Maka kemana lagi kita akan bercermin tentang akhlak kita? MENJADI “YANG SESAT” dengan berpegang pada yang digariskan manusia (mastur) atau MENJADI “YANG BERPETUNJUK” dengan berpegang pada yang digariskan Allah (Al Qolam/Al Quran) ADALAH SEBUAH PILIHAN. Bukankah Allah telah memberikan jaminan kepada setiap jiwa yang memilih untuk berpegang teguh pada petunjuk, berupa balasan yang tiada pernah putus dan datangnya masa yang akan membuktikan semua kebenaran petunjukNya.
Lalu masihkah kita berpikir tentang pilihan yang sudah jelas balasannya dihadapan Allah tersebut? Bukankah memilih menjadi yang berpetunjuk adalah sebuah keniscayaan bagi setiap jiwa yang bersyukur atas datangnya nikmat? Sungguh, Allah Maha Mengetahui siapa yang sesat dan siapa yang berpetunjuk.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar