Translate

Senin, 27 Juni 2011

YANG TELAH DIPERJUANGKAN (Motivasi Shalat Bagian 2)

Tak terasa Sudah tahun 1431 Hijriyah. Pernahkan kita berfikir tentang tahun baru kita itu? Tentang apa yang terjadi 1431 tahun silam? Momentum penting apakah yang membuat para sahabat mengabadikan peristiwa tersebut sebagai tahun pertama umat Islam? Seolah menandai telah terjadi sebuah peristiwa besar … sebuah tonggak paling bersejarah dalam peradaban Islam.

Pasti kita semua telah tahu bahwa saat itu telah terjadi peristiwa hijrah. Namun pernahkah terfikir mengapa peristiwa hijrah itu menjadi momen paling berkesan hingga diabadikan sebagai perhitungan tahun pertama Islam?
Marilah mencoba menembus lorong waktu dan kembali pada masa seribu empat ratus tiga puluh satu tahun silam, saat Rasulullah dan para sahabat berbondong-bondong meninggalkan Mekkah menuju Madinah.

Bayangkanlah sekiranya kita adalah salah satu dari rombongan Rasulullah dan para sahabat saat itu, dan mari kita mencoba merasakan apa yang saat itu akan kita rasakan jika kita harus tunduk para keputusan untuk hijrah. Sanggupkah kita melakukannya? Bukankah meninggalkan kampung halaman adalah sesuatu yang sangat berat dan mungkin tak pernah terfikirkan sebelumnya? Karena disana ada banyak hal yang sangat kita cintai, rumah dan harta yang nyaman, keluarga, anak, istri, suami yang kita cintai, dan pekerjaan yang mapan.

Bukankah tidak mudah meninggalkan semua kemapanan itu? Dan ketika kita harus hijrah (berpindah) ke tempat lain yang asing, yang sama sekali tidak ada janji-janji kenyamanan yang sama seperti kenyamanan di kampung halaman, maukah kita berhijrah? Terbayang betapa beratnya keputusan hijrah itu. Belum lagi ditambah bayangan-bayangan tidak jelas tentang tempat yang kita tuju. Pastilah juga terfikir dimana nanti kita akan bertempat tinggal? bagaimana kita akan bekerja untuk bertahan hidup? Pada intinya dengan segala prediksi perhitungan matematis, di sana tidak ada harapan-harapan dunia.

Rasulullah dan para sahabat adalah juga manusia biasa seperti kita. Pastilah juga memiliki ego dunia yang merasakan sedih dan berat meninggalkan keluarga dan harta. Namun nyatanya mereka mampu mengalahkan nafsu/ego dunia itu dan tanpa gentar bergerak dengan penuh keyakinan menuju Madinah. Karena memang bukan janji kemapanan dunia itu yang Rasulullah dan para sahabat tuju, bukan harapan-harapan kecemerlangan dunia. Tetapi adanya secercah harapan-harapan cerah untuk harapan yang lebih besar … harapan akhirat … Harapan untuk bisa menjalankan ketentuan Allah.

Dan perintah Allah manakah yang membuat Rasulullah dan para sahabat mampu mengambil keputusan besar meninggalkan semua kemapanan dunia? Tak lain adalah demi menjalankan perintah Shalat 5 waktu.

Bukankah peristiwa hijrah ini hanya selang 3 bulan setelah turunnya perintah shalat 5 waktu (peristiwa isra' mi'raj)? Karena memandang ketentuan risalah shalat (shalat berjamaah dan bermasjid) ini tidak mungkin bisa dilakukan di Mekkah, maka Rasulullah dan para sahabat bersepakat meninggalkan Mekkah untuk menuju Madinah, suatu tempat yang mereka anggap memungkinkan untuk menjalankan serangkaian risalah shalat tersebut yang selama ini tidak mungkin diwujudkan selama di Mekkah.
Buktinya … belumlah sampai beliau di Madinah, ketika mendapati sekelompok orang yang sudah memeluk Islam di Quba, beliau langsung memerintahkan untuk mendirikan masjid sebagai salah satu bagian dari rangkaian risalah shalat yang harus ditegakkan.

Inilah bukti tak terbantahkan yang melatar belakangi hijrah Rasulullah. Sesampainya di Madinah, yang pertama beliau kerjakan adalah juga memerintahkan orang untuk mendirikan masjid, yang sampai sekarang dikenal dengan nama masjid Nabawi. Bahkan hal itu beliau kerjakan sebelum beliau masuk di rumah yang telah disedikan oleh kaum muslimin di sana. Inilah tujuan hijrah beliau. Bukti tak terbantahkan yang melatar belakangi hijrah Rasulullah !!!

Demikianlah perjuangan Rasulullah dan para sahabat dalam memperjuangkan ketentuan shalat itu. Tampak shalat bukanlah hal yang main-main, tapi bagi Rasulullah shalat merupakan hal yang pokok dan mendasar yang harus mendapat perhatian khusus hingga mestilah diperjuangkan dengan demikian kerasnya. Meninggalkan semua kecintaan dunia demi meraih kecintaan Allah di akhirat. Merekalah … yang berhasil membersihkan dirinya dari kepentingan-kepentingan / ego dunia demi akhirat yang disebut Allah sebagai orang yang telah menang. Sebagaimana dijelaskanNya dalam surat al A'ala (87) ayat 14-19 berikut:

“Sungguh menang orang yang telah bersih. Dan dia mengingati nama-nama Rabbnya, maka langsung shalat. Tetapi kehidupan dunia ini terlalu banyak mempengaruhi. Padahal pilihan akhirat itu lebih baik dan kekal. Sesungguhnya hal ini benar-benar telah terdapat dalam suhuf-suhuf terdahulu. (yaitu) suhuf-suhuf Ibrahim dan Musa.”

Sungguh menang orang yang telah bersih.
Begitulah Allah menyebut hambanya sebagai “Sang Pemenang”. Ketika kita telah mampu membersihkan fikiran dan konsepsi kehidupan dari perolehan-perolehan duniawi dan ketika kita telah mengambil keputusan untuk tidak mau dipengaruhi oleh perolehan dunia maka kitalah Sang Pemenang itu.
Dan inilah petunjuk yang diberikan Allah kepada kita, sebagaimana telah dibuktikan oleh Rasulullah dan para sahabat dalam peristiwa hijrah. Mereka telah mampu membersihkan diri dari janji-janji kenikmatan dunia sekaligus menyingkirkan ketakutan-ketakutan kehilangan perolehan dunia. Mereka juga telah mampu menyingkirkan kecemasan pada keselamatan keluarga yang telah mereka tinggalkan di Mekkah.

Mereka juga telah mampu membuktikan ketidakbergantungan mereka akan harta yang di tinggalkannya di Mekkah, juga menyingkirkan ketakutan-ketakutan kesulitan mendapatkan harta lagi di tempat hijrah mereka. Begitulah keimanan orang-orang terdahulu … orang-orang yang telah berhasil membuktikan dirinya sebagai Pemenang Sejati. Dan dia mengingati nama-nama Rabbnya, maka langsung shalat.
Ketika kita mengambil keputusan untuk tidak mau dipengaruhi dunia maka fikiran kita akan bersih dari keinginan-keinginan hawa nafsu yang cenderung pada kekotoran dunia. Bukankah memang cinta dunia, nafsu dan syahwat adalah identik dengan kekotoran?

Dan ketika kita mampu menyingkirkan itu semua maka hal ini akan membawa jiwa dan fikiran kepada kebesaran dan keagunan Rabb, sehingga timbullah kesadan betapa kecil dan tidak berdayanya diri kita di hadapan Rabb, sehingga hilanglah kesombongan diri.

Hal inilah yang akan menimbulkan keinginan kita untuk melakukan shalat, sebuah bentuk kedekatan sekaligus penghambaan diri pada Kebesaran dan Keagungan namaNya atas kelemahan serta kerendahan diri kita sebagai seorang hamba. Demikian itulah fithrah manusia.

Tetapi kehidupan dunia ini terlalu banyak mempengaruhi. Padahal pilihan akhirat itu lebih baik dan kekal.

Inilah watak dari kehidupan dunia. Ia adalah musuh yang menghalangi kita dari kemenangan. Seharusnya kita bisa menjadi orang-orang yang menang, namun pengaruh dunia sangat kuat mempengaruhi fikiran dan jiwa kita.
Maka tiada lain yang harus kita lakukan kecuali menahan diri dari keinginan mendapatkan perolehan-perolehan duniawi, dengan mempertimbangkan janji perolehan akhirat yang lebih baik dan lebih kekal. Mengutamakan tujuan akhirat dan mengesampingkan nafsu dunia.

“Sesungguhnya hal ini benar-benar telah terdapat dalam suhuf-suhuf terdahulu. (yaitu) suhuf-suhuf Ibrahim dan Musa”

Pengaruh dunia yang begitu besar yang mampu menghalangi diri dari menjalankan ketentuan-ketentuan agama itu telah terdapat pada suhuf-suhuf terdahulu dan telah dibuktikan oleh nabi-nabi terdahulu. Ibrahim dan Musa. Itulah yang menjadi keyakinan sekaligus ketakutan nabi Ibrahim.
Bahwa kekuatan dunia akan mampu mengalahkan kemauan diri untuk menjalankan petunjuk. Kesadaran itulah yang akhirnya membuat Ibrahim melakukan hijrah (pindah) dari tempat yang subur makmur dan bergelimangan dunia ke tempat yang tandus lagi kering, yang sama sekali tak menjanjikan kemakmuran dunia. Semata-mata agar dirinya dan keluarganya memiliki kekuatan untuk menjalankan petunjuk.
Suhuf Ibrahim ini difirmankan dalam surat Ibrahim (14) ayat 37 :
Ya Rabb kami, sesungguhnya (sengaja) aku telah dari menempatkan keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, Ya Rabb Kami (semua itu hanya) untuk menegakkan shalat. (Jika shalat telah tegak) maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan berilah rezeki kepada mereka dari buah-buahan, agar mereka bersyukur.

Inilah yang dikerjakan oleh Ibrahim dalam rangka menegakkan shalat, hijrah dari tempat yang subur menuju lembah yang gersang lagi kering dan tak bertanam-tanaman, semata-mata tidak ada tujuan dan motivasi lain kecuali demi tegaknya shalat. Terlihat perjuangan beliau membersihkan dirinya dari segala bentuk pengaruh dunia dengan tujuan yang sangat jelas : “Ya Rabb kami, semua itu hanya untuk menegakkan shalat”. Begitulah al-Quran menjelaskan kepada kita tentang doa Ibrahim sebagai orang yang telah berhasil menegakkan shalat. Sebagaimana beliau adalah seorang imam yang berusaha mendidik dan mengarahkan keluarganya agar hal pertama yang harus dicapai dalam hidup adalah menegakkan shalat. Beginilah semestinya setiap diri menghadapi dan menyikapi ketentuan shalat.

Hal demikian beliau lakukan karena pemahaman yang begitu mendalam tentang dunia dan pentingnya. Beliau sangat paham bahwa dunia memiliki kekuatan yang sangat besar untuk memalingkan manusia dari menjalankan petunjuk. Disinilah letak pentingnya kedudukan shalat. Ia adalah modal besar yang harus ditegakkan, perlindungan diri dari ancaman dunia, sekaligus modal utama untuk menjalankan ketentuan-ketentuan Allah yang lain. Maka shalat adalah hal pertama harus diperjuangkan agar terlebih dahulu tegak di dalam diri. Dan inilah bentuk perjuangan Ibrahim untuk mendirikan shalat. Ia benar-benar menyingkirkan segala hal yang ia yakini dapat menghalanginya untuk menjalankan ketentuan shalat tersebut.

Doa beliau selanjutnya setelah dirinya dan keluarganya menjadi orang yang muqimushsholah (menegakkan shalat) adalah meminta rizki kepada Allah. Mengapa hal demikian beliau lakukan? Tiada lain karena kefahaman yang mendalam tentang dua hal yang sangat berlawanan. Tentang shalat yang menguatkan dan tentang dunia yang melenakan. Beliau sangat khawatir kalau rizki yang beliau minta terlebih dahulu tanpa tegaknya shalat, maka rizki justru itu akan memalingkan dirinya dari ketentuan-ketentuan Allah. Inilah motivasi beliau dalam berhijrah dan memperjuangkan tegaknya shalat.

Inilah prestasi Ibrahim, beliau telah berhasil menegakkan ketentuan shalat. Ketika beliau telah berhasil menegakkan shalat, maka barulah beliau merasa layak meminta sesuatu (rizki) kepada Allah. Beliau menjadikan prestasi shalat itu sebagai perantara untuk berdoa memohon sesuatu kepada Allah.
Inilah yang selama ini kita kenal dengan istilah wasilah. Perantara itu bukanlah amal shaleh orang lain (para kyai, wali atau ulama) apalagi karomah orang-orang yang telah mati, namun Ia adalah sesuatu yang kita usahakan sendiri dan memiliki nilai di hadapan Allah.

Merujuk pada tauladan Ibrahim tersebut, maka shalatlah perantara kita yang sebenarnya untuk memohon pada Allah. Bukankah al-Quran telah menegaskan bahwa beliau adalah uswatun hasanah? kepada beliaulah kita mencari contoh perilaku, konsep pemikiran juga belajar tentang kekuatan keyakinan.

Lihatlah bagaimana pola pikir beliau ... sangat berbeda dengan pola pikir kita. Ketika kita berpikir mustahil dapat hidup di ladang gersang, namun tidak demikian dengan pemahaman beliau. Ibrahim telah membuktikan bahwa dengan menegakkan shalat maka kesulitan dunia tidak akan pernah menjadi masalah besar untuk kita cemaskan. Dan sekarang kita telah menyaksikan sendiri buah dari keyakinan Ibrahim itu, bagaimana Allah nyatanya telah mengubah ladang tandus kering itu menjadi kota yang begitu makmur dan kaya hanya dengan shalat.
Kota Mekkah saat inilah bukti dari keyakinan Ibrahim tersebut. Bahwa dunia akan mengikuti kita ketika kita telah mampu menjalankan ketentuan-ketentuan agama dengan konsisten. Demikianlah gambaran sekaligus bukti keyakinan dari orang-orang yang memiliki keyakinan yang mantap.

Allah juga menjelaskan kepada kita hal yang sama mengenai ketetapanNya tentang shalat kepada Musa dalam surat Thoha (20) ayat 14. Dikisahkan pada ayat sebelumnya bahwa dalam suatu perjalanan malam yang gelap gulita, Musa dan keluarganya sedang mengalami kebingungan tentang arah perjalanan. Kemudian tampak oleh Musa api di kejauhan.

Maka ia datangi api tersebut dengan harapan dapat membawa sebuah suluh api pada keluarganya agar ia dan keluarganya mampu melihat jalan dengan terang. Atau dia berharap agar bertemu seseorang disana yang dapat menunjukinya arah yang benar. Namun ternyata disanalah wahyu pertama turun pada Musa :
“Sesungguhnya aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, Maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingatKu.”

Demikianlah wahyu pertama yang turun kepada Nabi Musa. Sama halnya dengan Nabi Ibrahim dan Rasulullah, yaitu perintah untuk mendirikan/menegakkan shalat. Tujuannya adalah untuk mengingat Allah. Begitulah Allah menetapkan perintah shalat untuk menjaga hambaNya agar tetap mengingat kebesaranNya.
Demikian jugalah reaksi (respon) dari para Rasul Allah itu menanggapi perintah shalat. Hijrah yang mereka lakukan adalah semata-mata agar mampu menegakkan perintah shalat tersebut. Dan itulah jalan yang mereka tempuh. Itulah sabilillah, jalan-jalan yang telah dilalui oleh para nabi dan Rasul Allah. Jalan yang telah dijamin kebenarannya oleh Allah.
Keputusan berhijrah bukanlah keputusan dan pekerjaan yang mudah. Bukankah hijrah Ibrahim ke padang kering dan gersang membutuhkan sebuah keberanian? Begitupun hijrah Rasulullah Muhammad, bukankah meninggalkan segala kemapanan di Mekkah juga membutuhkan sebuah keberanian dan keyakinan menjalankan perintah?
Tampaklah bahwa shalat inilah hal yang pertama-tama harus diurus, dan perintah yang teramat penting untuk difikirkan dengan sangat serius dan dilaksanakan dengan penuh kesungguhan.

Maka ketika mereka begitu besar berkorban dan berjuang memperjuangkan perintah shalat, bagaimana dengan kita? Ketika keputusan hijrah itu dihadapkan kepada kita, mampukah kita ikut dalam perjalanan berat itu? Sungguh mental kita tidak sebanding dengan mereka ... pola pikir kita sangat berkebalikan dengan pola pikir para Rasullah dan para sahabat itu.

Namun apakah yang membuat kita berbeda dan tampak begitu lemah? Bukankah al-Quran yang sampai kepada kita sama, bukankah Rasul kita juga sama? Tak lain karena keberadaan dunia masih bergelayut dan memberatkan langkah kita. Itulah sebabnya kita tidak kunjung menjadi ummat yang mau dan mampu memperjuangkan perintah shalat ini.

Mampukah kita mengalahkan ego dunia kita, meninggalkan pekerjaan atau saat-saat hangat bersama keluarga untuk konsisten memenuhi seruan shalat berjamaah?
Padahal Allah telah terang-terang mengumbar janji-janji kemenangan itu ... setidaknya lima kali sehari telah diteriakkan para muadzin ke telinga-telinga kita “Hayya 'alash shalah ... hayya alal falah (mari di atas shalat, mari di atas kemenangan)”.

Layaknya sebuah kompetisi... Allah telah mengumumkah hadiah kemenangan tersebut. Di sampaikannya di seluruh penjuru bumi oleh para muadzin dari desa terpencil yang tak tampak dalam peta, hingga kota besar yang terkenal dan sering dikunjungi manusia. Namun begitu sepi kompetisi ini ... tak banyak yang mau beranjak memenuhi seruannya. Bukankah sebuah kemenangan atas shalat yang mampu kita tegakkan adalah kompensasi yang sangat besar? Dan untuk itulah kita seharusnya memperjuangkannya? Namun dari ummat yang besar ini, dimanakah orang-orang yang terpanggil untuk berlomba menyongsong janji kemenangan itu? Apakah janji itu tidak pernah sampai ke telinga kita? Atau nalar kita terlalu bodoh untuk mengerti arti kemenangan yang dimaksud oleh Allah? Atau perhitungan matematis kita telalu payah untuk menghargai arti kemenangan yang tak ternilai itu?

Maka janganlah sampai kita bernasib sama seperti nasib bani Israil sepeninggal nabi Musa, ketika Allah mengadzab mereka dikarenakan mereka telah meremehkan shalatnya. Lalu bagaimanakah dengan kita? Benarkah shalat itu telah menjadi sesuatu yang kita perjuangkan? Benarkah kita tidak meremehkannya jika nyatanya dalam shalat pun kita tidak pernah menyelipkan doa seperti yang dilakukan nabi Ibrahim. Pernahkah dalam shalat kita berdoa “Ya Allah ... jadikanlah aku termasuk orang-orang yang menegakkan shalat ” Lalu ketika kita tidak serius memperjuangkan shalat, masihkan kita merasa pantas berdoa memohon “Rabbana atina fiddunya hasanah wafil akhirati khasanah waqina adza bannar”. Pantaskah untuk menukar shalat yang tidak seberapa ini dengan doa yang terlalu banyak itu? Pantaskah …

Tidak ada komentar:

Posting Komentar