Translate

Selasa, 21 Juni 2011

Dari Takbir Hingga Salam (Motivasi Shalat Bagian 1)

Di dalam syurga, mereka terheran-heran, mengenai orang-orang yang divonis berdosa. "Apa yang menyebabkan kamu dimasukkan ke dalam Saqar (neraka)?" Mereka menjawab: "Karena kami tidak termasuk dari golongan mushallin”

Demikianlah bunyi Surat Mudatstsir ayat 40-42, seolah membuat ilustrasi yang mengungkapkan tentang keheranan para penghuni surga. Mereka, para penghuni surga yang pasti adalah orang-orang yang beriman dan berilmu, yang tahu dengan pasti alasan apa yang membuat mereka dimasukkan dalam surga.

Sebaliknya, mereka pun tahu alasan-asalan apa yang membuat seseorang dimasukkan ke dalam neraka. Namun mereka tetap saja keheranan dengan para penghuni saqar itu. Kalaulah penghuni saqar adalah orang-orang yang tidak melakukan shalat atau lalai dengan shalatnya, tentulah mereka tidak akan keheranan, karena mereka tahu bahwa konsekuensi meninggalkan shalat adalah neraka. Tapi penguhi surga merasa sangat mengenal para penguhi saqar itu. Menurut penilaian mereka, penghuni saqar bukanlah orang-orang yang tidak melakukan shalat ... mereka adalah orang-orang yang juga mengerjakan shalat selama di dunia. Tapi mengapa Allah menempatkan mereka di dalam saqar? Itulah letak keheranan mereka. Dan inilah ayat yang mengungkap tentang penilaian manusia yang telah tertipu itu, yang menganggap mereka (penduduk saqar) adalah orang-orang yang shalat, tapi apa daya jika ternyata Allah sama sekali tidak memasukkan mereka dalam golongan orang-orang yang shalat (mushollin).
Inilah arti dari lam naku minal mushalliin ... Secara lahiriah mereka memang melakukan shalat tapi Allah sama sekali tidak menganggap bahwa mereka telah melakukan shalat, sehingga Allah pun memperlakukan mereka selayaknya orang-orang yang tidak pernah melakukan shalat dan memasukkannya ke dalam saqar! Itulah orang-orang yang membangun motivasi yang salah dalam shalatnya. Motivasi mereka bukanlah karena menjalankan ketaatan, namun semata hanya mencari penilaian manusia.

Maka inilah petunjuk yang harus kita renungkan secara mendalam! Bahwa sangatlah penting bagi kita untuk mendapatkan gelar mushallin, sehingga shalat yang kita kerjakan di dunia kelak juga diakui oleh Allah di akhirat. Maka mulailah kita berfikir dan memperhatikan dengan cermat shalat yang telah kita kerjakan apakah sudah sesuai dengan petunjuk Allah dan tuntunan Rasulullah? Apakah motivasi shalat kita benar-benar untuk membuktikan ketaatan kita pada ketentuanNya? Sebab kalau tidak maka nasib shalat kita pun akan sama seperti para penghuni saqar itu. Merasa sudah melakukan shalat tapi ternyata tidak pernah dimasukkan Allah dalam golongan mushallin.

Sebagaimana diceritakan dalam sebuah hadits ketika Rasulullah sedang duduk-duduk bersama sahabat, ada seorang yang datang dengan menaiki ontanya, kemudian dia turun dan masuk ke dalam masjid. Sebelum dia duduk, dia kerjakan shalat tahiyatul masjid. Begitu selesai, dia hendak duduk bersama Rasulullah. Tetapi tiba-tiba Rasulullah melarang dia duduk dan menyuruhnya shalat lagi, kemudian dia lakukan shalatnya lagi hingga selesai. Kemudian dia hendak duduk lagi. Tetapi, seketika itu pula Rasulullah melarang dia duduk lagi, lalu menyuruhnya shalat lagi.

Hingga pada akhirnya seorang tersebut bertanya kepada Rasulullah “Saya tidak tahu lagi ya Rasulullah, apa yang harus kulakukan! Bukankah jelas-jelas saya sudah shalat?. Namun jawab Rasulullah “Tidak, kamu belum shalat !”. Dan terkejutlah seorang tersebut “lantas bagaimana seharusnya saya shalat ya Rasulullah?” tanyanya kembali kepada Nabi. Kemudian Nabi mengajarinya shalat. Begitulah hadits tersebut memberi penjelasan betapa tidak berharganya shalat yang tidak sesuai dengan ketentuan dan contoh Nabi ... sama sekali tidak dianggap telah melakukan shalat. Maka bagaimanakah shalat yang dituntun oleh Rasulullah dan kelak mendapat pengakuan dari Allah?
Miftahus sholaatith thuhuuru, wa tahriimuhaat takbiiru watahliiluhat tasliimu... Inilah definisi (pengertian) shalat yang dijelaskan Rasulullah, bahwa Kunci shalat adalah bersuci, pengharamannya dimulai dengan takbir dan penghalalannya dengan salam. Inilah ketentuan shalat itu, kita dilarang melakukan aktivitas apapun ketika shalat sudah dimulai (ditandai dengan takbir) hingga shalat kita selesai (ditandai dengan salam), kecuali aktivitas shalat yang telah diperintahkan.

Begitulah Rasulullah memberi ketentuan kaifiyat (tata cara) shalat dengan detil dan hati-hati, maka janganlah sampai shalat kita berbeda dengan yang telah beliau ajarkan!
Sebagaimana kita ketahui, shalat merupakan sebuah perintah ibadah pertama, diawali dari perintah menjalankan shalat malam yang dijelaskan dalam surat muzammil. Selama 13 tahun perjalanan dakwah di Mekkah tidak ada perintah melakukan ibadah lain, selain perintah shalat. Namun ketika masih di Mekkah masalah waktu, tatacara, dan tempat belumlah menjadi persoalan yang ditekankan, hingga pada peristiwa Isra' Mi'raj saat diturunkannya perintah shalat 5 waktu. Saat itu telah ditentukan jumlah rakaat dan waktu mengerjakannya. Untuk selanjutnya perintah shalat ini pun berkembang menjadi shalat berjamaah, shalat Jum'at hingga shalat Ied.
Namun, secara keseluruhan risalah shalat itu tidaklah mungkin dapat dikerjakan di Mekkah, dikarenakan kondisi dan posisi umat Islam yang masih lemah dan tertindas. Tetapi perintah shalat itu harus tetap dijalankan. Maka demi merealisasikan perintah shalat tersebut, Rasulullah mengambil keputusan untuk melakukan hijrah ke Madinah. Peristiwa hijrah ini terjadi selang 3 bulan dari perintah Isra' Mi'raj.

Ketika perjalanan hijrah hampir sampai ke Madinah, Rasulullah sampai di sebuah daerah bernama Kuba (suatu daerah dekat madinah) dan menjumpai sekelompok orang Islam disana. Rasulullah langsung memerintahkan agar didirikan masjid sebagai tempat melaksanakan shalat berjamaah di sana. Itulah masjid Kuba, masjid pertama umat Islam. Begitupun yang Beliau lakukan ketika sampai di Madinah. Hal pertama yang Beliau lakukan adalah mencari lokasi dan memerintahkan untuk mendirikan masjid. Itulah masjid pertama di Madinah yang sekarang kita kenal sebagai masjid Nabawi. Itulah hal pertama-tama yang dilakukan oleh Rasulullah, yaitu mendirikan masjid. Itulah bukti betapa pentingnya keberadaan masjid bagi Rasulullah dan para sahabat. Karena perintah shalat ... shalat berjamaah ... dan bermasjid adalah rangkaian risalah yang tidak dapat dipisahkan.

Inilah yang harus kita pahami tentang latar belakang Rasulullah melakukan hijrah ke Madinah dipandang dari sisi shalat. Karena tidak mungkin menjalankan keseluruhan risalah shalat tersebut di Mekkah, maka haruslah pergi ke tempat lain yang lebih kondusif dan memungkinkan untuk menjalankan keseluruhan risalah tersebut.

Begitulah perjuangan Rasulullah mempersiapkan umat ini. Hal yang pertama dikerjakan haruslah dipersiapkan masjid sebagai tempat untuk membina pribadi para sahabat guna membangun masyarakat Islam. Dan untuk mewujudkannya, hal pertama yang mesti dibenahi adalah kualitas shalat dari masing-masing pribadi haruslah sesuai dengan petunjuk.

Maka mulailah Rasulullah mengajarkan dan memberikan contoh secara langsung tentang tatacara shalat, ... satu demi satu gerakan-gerakannya dengan sangat detail dan hati-hati.
Shollu kamaa roaitu munii usholli” (shalatlah kalian sebagaimana melihat aku shalat), itulah yang selalu beliau katakan kepada sahabat dan pengikutnya. Maka para sahabat pun shalat dengan mencontoh shalat Rasulullah. Ketika beliau khawatir para sahabat tidak mengetahui dengan benar tatacara shalat seperti yang beliau lakukan, maka tidak segan-segan beliau memberikan contoh dengan shalat di atas mimbar (dalam satu riwayat disebut tinggi mimbarnya 3 anak tangga) agar dapat disaksikan oleh seluruh kaum muslimin.

Diriwayatkan dalam sebuah hadits bahwa Rasulullah shalat dengan berdiri di atas mimbar, kemudian beliau bertakbir, lalu para makmum bertakbir (sedang beliau tetap berada di atas mimbar), kemudian bangkit dari ruku', lalu mundur, turun dari mimbar, kemudian bersujud ke tanah. Beliau mengulanginya lagi dan terus melakukannya sampai selesai shalat. Kemudian beliau menghadap makmum dan berkata “wahai manusia, saya melakukan hal itu tadi supaya kalian dapat mengikuti aku dan kalian dapat mempelajari shalatku” (HR. Abu Dawud, Nasa'i & Ibnu Khuzaimah).

Tergambar ketelitian dan kehati-hatian Rasulullah menjelaskan tentang shalat, berharap jangan sampai umatnya melakukan kekeliruan dalam tata cara tersebut. Nampak bahwa benar-benar shalat kita tidak boleh berbeda dengan yang telah beliau ajarkan.

Rasulullah selalu memperhatikan shalat para sahabatnya. Ketika beliau melihat shalat para sahabat ada yang salah (tak sesuai dengan ketentuan) maka seketika itu beliau langsung menegur dan membenarkan cara shalatnya. Seperti ketika beliau melihat para sahabat ada yang salah cara ruku' dan sujudnya atau arah pandangan mata yang tidak melihat ke tempat sujud, beliau ancamkan sebagai sebuah bentuk pencurian. Sebagaimana dinyatakan dalam sebuah hadist : “Pencurian yang paling jahat adalah pencuri yang mencuri dari shalatnya, yaitu orang yang tidak sempurna ruku' dan sujudnya dalam shalat”. Begitulah ketatnya “peraturan” tentang shalat ini, benar-benar tak ada tempat untuk ide dan pemikiran kita untuk ikut campur tangan dengan ketentuan kaifiyah shalat ini.
Begitu teliti dan hati-hatinya Rasulullah dalam memperhatikan masalah shalat hingga ketika Beliau menjumpai masih saja ada yang mencoba shalat dengan caranya sendiri, beliau pun mengancam “jangan macam-macam aku bisa melihat kamu-kamu sekalian dari balik punggungku”. Begitu tegas Rasulullah dalam hal shalat ini, menandakan bahwa shalat itu tidak boleh asal-asalan sedikitpun tidak boleh beda, haruslah cermat sebagaimana beliau shalat.

Terlihatlah oleh kita betapa serius dan sungguh-sungguhnya Rasulullah mengatur tentang masalah shalat ini. Tampaklah bahwa shalat adalah sesuatu hal yang sangat penting dan mendasar, sehingga para sahabat pun mulai mencontoh dan tidak ada yang berani mencari-cari cara lain dalam shalat.
Maka tampak dengan jelas bahwasanya tidaklah mereka takbir, bersedekap, ruku', sujud, dan duduk dalam shalat, terkecuali semata-mata karena rasa patuh dan tunduk terhadap ketentuan Rasulullah. Tidak ada keinginan dan keberanian untuk berbeda dari Rasulullah. Iman di dalam dada mereka mengatakan apabila mereka tidak mematuhi Rasulullah maka hati mereka serasa berontak, merasa durhaka dan berdosa karena telah menyalahi ketentuan Rasulullah. Inilah motivasi shalat para sahabat, bahwasanya gerakan-gerakan yang dilakukan dalam shalat tidak lain adalah kepatuhan menjalankan serangkaian perintah. Begitulah sifat patuh dan tunduk pada Rasulullah mulai dibangun dan dilatih dari ketundukan dalam shalat.

Demikianlah metoda Rasulullah mendidik jiwa-jiwa patuh para sahabatnya, sehingga melahirkan jiwa yang konsisten dan kuat menjalankan perintah. Karena jika terbiasa patuh dalam shalat maka akan kita dapatkan sebuah atmosfer jiwa yang merayapi seluruh anggota tubuh kita dari kepala, mata, tangan, hingga kaki, menjadikannya sebagai anggota-anggota tubuh yang terbiasa dan terlatih untuk patuh. Akibatnya, jiwa pun terdidik menjadi patuh melakukan ketentuan apapun di luar shalat.
Namun tidak semua orang-orang yang ada disekitar Rasulullah mau bershalat dengan cara seperti itu. Ada diantara mereka yang disebut al-Quran sebagai golongan orang-orang munafik yang keberadaannya ditunjukkan dari tata cara shalat dan motivasi mereka dalam shalat. Hal ini seperti yang digambarkan dalam surat An-Nisa' 142 :
Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. dan apabila mereka mengerjakan shalat mereka mengerjakan dengan malas atau asal-asalan. mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. dan tidaklah mereka mengingat allah kecuali sedikit sekali.

Orang-orang munafiq itu sudah terbiasa menipu, biasa menipu Rasulullah, dan biasa menipu orang-orang beriman. Namun Allah tidak mungkin bisa mereka permainkan, sebaliknya Allah membongkar sifat-sifat munafik mereka dalam Surat An-Nisa' di atas dengan menunjukkan ciri yang paling menonjol yaitu dari shalat yang mereka kerjakan, yang tidak mungkin dapat mereka sembunyikan. “Apabila mereka mengerjakan shalat mereka berdiri dengan malas atau asal-asalan”.
Demikianlah ciri orang munafik yang terlihat dari shalat yang malas-malasan dan akibatnya shalat yang mereka kerjakan hanyalah asal-asalan. Tidak sesuai dengan petunjuk. Mereka tahu ketika takbir haruslah mengangkat kedua tangan sejajar telinga atau bahu sebagaimana yang dicontohkan Rasullah. Namun, jiwa taat pada Rasullah ini yang tidak ada dalam jiwa mereka sehingga mereka tidak mau melakukannya dengan benar. Orang-orang munafiq hanya mengangkat sekedarnya saja, hanya sebagai isyarat. Ketika ruku' harus meluruskan tulang punggung, mereka hanya menunduk sedikit saja, ketika harus duduk di atas kaki kiri dan menegakkan kaki kanan, mereka justru duduk di kedua kakinya. Begitulah gambaran shalat orang-orang munafik.
Mereka tahu apa yang sebenarnya harus mereka lakukan dalam shalat, tapi karena jiwa patuh itu tidak pernah ada maka mereka pun mengabaikan contoh shalat dari Rasulullah dan melakukan shalat dengan caranya sendiri, cara-cara yang menurutnya lebih aman dan nyaman. Mereka tidak pernah merasa shalatnya diawasi Allah, hingga tak pernah berharap penilaian dari Allah, yang mereka cari hanyalah penilaian manusia (riya').
Sifat riya' inilah yang mungkin tidak akan pernah bisa dikenali oleh orang lain, karena mungkin saja gerakannya sama dengan orang-orang beriman, tapi jauh di dalam hatinya tersimpan motivasi bukan mengharap penilaian Allah, tetapi hanya ingin menampak-nampakkan dihadapan manusia demi mendapatkan penilaian dari mereka. Tapi Allah Yang Maha Teliti mengetahui setiap inci gerak hati hambaNya, bahwa ciri orang munafik dalam shalat “ dan tidak pula dia mengingati Allah itu kecuali sangat sedikit”.
Inilah watak orang-orang munafiq. Hanya mulut mereka saja yang berkomat-komit sekedar melafadzkan nama Allah tanpa pernah jiwa mereka terhubung dengan Allah dalam setiap kejadian.
Sehingga di luar itu mereka lalai dari mengingat Allah. Bukankah ketika kita lihat matahari, bintang, bulan, hujan ... seharusnya kita mengingat kebesaran Allah? Bukankah ketika kita melihat susunan tubuh kita, perkecambahan tumbuhan dan kembang biak hewan-hewan juga mengingatkan kita pada kuasaNya? Bukankah seharusnya lebih banyak tempat dan waktu untuk kita mengingat dan meninggikanNya dari sekedar melafadzkan namaNya saja? Bukankah mengingat Allah artinya mengingat ketentuan-ketentuanNya? Maka ketika kita terbentur dengan masalah, hal pertama yang harus kita ingat adalah ketentuan Allah. Dalam kondisi apapun ketika kita selalu merujuk dengan ketentuan Allah itulah makna dzikrullah ... mengingat Allah.

Lalu bagaimanakah dengan motivasi shalat kita? Apakah sudah sama seperti motivasi shalat para sahabat? Apakah sudah benar-benar merujuk pada contoh dari Rasulullah? Ataukah sekedar meniru begitu saja dari “guru-guru” kita? Ataukah hanya melihat kebiasaan (adat) shalat orang-orang di sekitar kita? (Walaupun sudah jelas shalat mereka berbeda dengan Rasulullah ... ada diantara gerakan-gerakan shalat mereka itu tidak berdasarkan contoh dari Rasulullah). Atau sama sekali kita tidak mau tahu dan menganggapnya sebagai sesuatu yang tidak penting!!! Jika memang demikian “kondisi” shalat kita maka tidaklah heran jika umat besar dan hebat seperti yang dibentuk oleh Rasulullah dan para sahabat tidak pernah muncul lagi setelah mereka. Karena shalat yang dikerjakan oleh umat yang sekarang ini belum punya dampak seperti shalat umat yang bermula dahulu.

Sekarang mari kita lihat umat ini ... kita melihat banyak masjid dibangun dan diperluas disana-sini, seolah tidak mampu lagi menampung jamaah yang ada. Kumandang adzan yang sahut-menyahut dari masjid ke masjid dan mushalla, hingga dari stasiun televisi dan radio. Kita pun tak jarang menjumpai papan bertuliskan “Sudahkah Anda shalat?” atau “Shalat Adalah Tiangnya Agama” yang terpampang di tembok-tembok maupun baliho-baliho besar di seantero jalan-jalan dan jembatan. Semua seolah dipergunakan sebagai 'alarm' untuk mengingatkan umat ini pada shalat.
Demikian juga akhir-akhir ini kita dapati fenomena pelatihan shalat khusyu' yang menuntut biaya jutaan rupiah. Nampak begitu besar perhatian umat ini pada masalah shalat, seolah-olah shalat itu begitu pentingnya. Belum lagi kita lihat pada saat shalat Ied, berbondong-bondongnya orang dari seluruh penjuru negeri bergerak bersama-sama menuju lapangan. Terlihat begitu antusiasnya umat ini dan begitu hebatnya penampilan umat ini dalam shalat.

Tapi di tengah-tengah umat besar yang telah bershalat ini, mengapa agama ini tidak kunjung tegak di atas bumiNya? Mengapa umat besar ini sama sekali tidak punya kekuatan untuk menegakkan ketentuan Allah dan mencegah apa-apa yang diharamkanNya? Bukankah ayat telah menentukan bahwa shalat itu dapat mencegah perbuatan keji dan munkar? Namun mengapa kemunkaran masih saja semarak dimana-mana? Apakah al-Quran telah salah membuat ketentuan? Jika kita meyakini al-Quran telah salah membuat ketentuan, maka benar-benar telah kafirlah kita. Yang pasti bukanlah itu penyebab kegagalan umat ini, tapi kitalah yang salah.

Kitalah yang sebenarnya BELUM SHALAT, walaupun secara lahirian tubuh kita telah jungkir balik untuk sujud dan rukuk. Kita pun belum benar-benar mengingat Allah, walaupun secara kasat mata bibir kita telah berkomat kamit menyebut namaNya. Semua karena kesalahan shalat kita!!!. Kita belum shalat sebagaimana yang diperintahkan Allah dan dicontohkan Rasulullah... Itulah jawaban atas kegagalan umat ini.

Shalat yang seumur hidup telah kita kerjakan nyatanya bagai debu yang ditiup angin. Sama sekali tak berbekas ... tak mampu membangunkan jiwa-jiwa kita yang mati sehingga tak mampu bergerak untuk patuh pada ketentuan-ketentuan Allah. Jadi berbesar hatilah jika nyatanya kita ini memang bukanlah para mushollin, sebutan kebanggan Allah untuk hambaNya yang telah shalat dengan benar dan hanya mengharap pada penilaianNya. Maka haruslah setiap diri kita menilai kembali ... mengoreksi dan mencocokkan lagi dengan shalat yang diajarkan Rasulullah DARI TAKBIR HINGGA SALAM.

1 komentar: