Translate

Sabtu, 02 April 2011

Menjadi Insan BerWAHYU


Iqro’ itulah perintah dari Jibril saat menemui Muhammad yang sedang menyendiri di gua Hira'. Kata itu difahami oleh Muhammad  sebagai perintah  membaca sebagaimana lingkungannya selama ini telah mengajarkan dan memberi pengertian iqro’ sebagai  baca tulis.

Maka ia dengan segala pengertian dan pengetahuannya sebagai hasil bentukan lingkungannya dengan jujur dan yakin menyatakan “Ma ana biqori” (aku tidak dapat membaca) karena menyadari kondisi dirinya yang tak mampu baca dan tulis.
Iqro'!, Kembali Jibril mengulangi  perintahnya hingga tiga kali, namun Muhammad tetap bertahan dengan pengertian itu dan menjawabnya dengan kata yang sama “aku tidak dapat membaca”.
Bahkan saat Jibril memeluknya dengan sangat kuat hingga sesak nafasnya, ia tetap bertahan dengan pengertian itu. Begitulah gambaran betapa kuatnya lingkungan telah membentuk dan mempengaruhi metoda berfikir, jiwa, dan perasaannya  sehingga membuatnya sulit memahami pengertian wahyu. Dan bentukan lingkungan seperti inilah yang akan dibongkar habis oleh wahyu pertama surat al-Alaq 1-5. Begitulah Allah menyiapkan beliau dengan menata kembali metoda berfikir baru baginya yang sepenuhnya dibentuk oleh langit.
Selisih pengertian antara Muhammad dan Jibril seperti diceritakan dalam kisah di atas dikarenakan Muhammad memahami perkataan Jibril dalam bahasa bumi, bahasa yang biasa dipakai dengan metoda berfikir di lingkungannya, sementara Jibril sesungguhnya sedang berkata dalam bahasa langit, suatu bahasa yang disusun dengan kata-kata yang biasa dipakai masyarakat Arab namun dirangkai dengan metoda yang unik, yang belum pernah dibuat manusia sebelumnya, sehingga melahirkan makna tersendiri yang berbeda dari pengertian yang ada.
Begitulah yang terjadi ketika Jibril mengatakan Iqro'. Kalimat itu berkali-kali ditolak Muhammad dengan jawaban “ma ana bi qori’”. Barulah ketika Jibril mengatakan “iqro’ bismirabbikal ladzi kholaq” sampai selesai, ia terkejut dengan susunan kalimat yang dirasanya sangat berbeda. Dan hal ini membuatnya tak mampu mengelak lagi. Ia pun mulai menirukan setiap perkataan Jibril hingga selesai.
Ketika Jibril mengatakan “Iqra’ bismirabbika” Ia merasakan kalimat ini lain, begitupun “alladzi kholaq” ini juga lain “kholaqol insan”, ini juga lain.  Tak pernah ia dengar ungkapan-ungkapan seperti ini sebelumnya. Kalimat demi kalimat dari Jibril mampu membuatnya tercengang dan keheranan karena merasa kalimat Jibril bukanlah kalimat yang biasa dipakai di lingkungannya.
Saat itulah  runtuh pertahannnya, karena kalimat itu telah memporak-porandakan metoda berfikir yang telah mengkerangka selama ini sebagai pengaruh dari lingkungan yang telah dengan kuat selama 40 tahun mempengaruhi dan membentuk dirinya. Saat itulah terjadi perubahan mendasar pada dirinya. Perasaan dan pemikirannya pun berubah, ia mulai menyerah pada setiap perkataan Jibril, menyerah pada apa yang menjadi maunya wahyu yang turun kepadanya.
Inilah target surat al-Alaq di dalam mendidik dan menyiapkan kerangka berfikir baru bagi insan untuk mampu mengerti dan memahami serta mau menjalankannya dan tiada lagi mempertanyakan, mempertimbangkan, atau meragukan wahyu yang datang padanya.
***
Itulah kisah dibalik proses turunnya wahyu yang pertama yang turun saat Muhammad menyendiri di gua Hira'. Suatu kebiasaannya yang sering ia lakukan ketika ia dihadapkan dengan masalah yang sangat menggelisahkan hati dan fikirannya hingga ia tiada henti berfikir dan bertanya pada dirinya sendiri maupun orang-orang di sekitarnya. Tapi semua jawaban itu tak pernah memuaskan batinnya, tak mampu menerangi kegelapan fikirannya. Maka ia pun sering mengasingkan dirinya untuk bermenung dan berharap mendapat petunjuk atas semua kebingungannya. Sebagaimana kebiasaan sebagian manusia yang mencoba lari dari keramaian untuk menuju tempat-tempat sepi.
Begitulah kondisi awal Muhammad, ia adalah sosok yang berada pada kondisi dholam (bingung, tak tahu apa-apa dan tersesat). Walaupun ia telah mendapat gelar al-Amin sebagai orang yang terpercaya dan dapat dijadikan panutan, tetapi penilaian itu adalah penilaian menurut masyarakat jahiliyah, dan bukan penilaian Allah, karena amanah dalam konsep jahiliyah tentulah berbeda dengan pengertian amanah menurut al-Quran.
Namun ketika beliau telah menerima wahyu, barulah apa yang beliau lakukan dan apa yang ada pada diri beliau sesuai dengan konsep al-Quran.
Jadi sebuah kekeliruan jika mengira Muhammad sejak awal (sebelum wahyu turun) adalah sosok yang telah bertindak dengan benar. Karena hal itu sama saja kita telah membatalkan seluruh misi Al-Quran karena menganggap ada sumber lain yang dapat menjadikan seseorang berada dalam kebenaran.
Sebagaimana dijelaskan dalam surat Asy-Syura ayat 52 “Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu (Muhammad) ruh (al-quran) dari urusan Kami. Dan tidaklah kamu sebelumnya mampu mengetahui apa itu yang disebut kitab (ketentuan) dan apa itu yang disebut dengan iman …”. Jadi insan tak kan pernah bisa sampai pada pengertian iman, kecuali al-Quran sendiri yang menjelaskannya.
Begitulah, tak akan pernah ada satu sumber pun yang dapat menunjuki seseorang tentang kebenaran selain wahyu seperti ditegaskan Allah dalam surat ad-Dhuha ayat 7 “Dan Kami dapati kamu sebagai seorang yang dholam maka Kami beri petunjuk”.
Jadi siapapun dia sebelum sampai wahyu kepadanya dan menunjukinya, ia tetaplah sosok yang dholam dan tidak tahu hakekat kebenaran.
Begitulah yang diceritakan dalam al-Quran tentang kondisi awal yang juga terjadi pada diri nabi-nabi sebelumnya. Seperti yang diceritakan dalam surat Thaha ayat 10 tentang kebingungan Musa saat mencari jalan terang dalam sebuah perjalanannya di tengah malam yang pekat sehingga ia berharap mendapat petunjuk saat melihat nyala api di kejauhan. Pada saat itulah wahyu datang memberikan petunjuk kepadanya.
Sama halnya kesesatan berfikir yang sempat dialami oleh Ibrahim seperti yang diceritakan Al-Quran dalam surat Al-An'am ayat 76-78 yang mengira bintang, bulan, dan matahari yang dilihatnya adalah Tuhan yang dicarinya selama ini. Barulah ketika ia yakin bahwa sekiranya Tuhannya tidak menunjukinya, niscaya selamanya ia menjadi manusia yang tersesat.
Bercermin pada kisah para nabi tersebut maka pelajaran yang dapat kita ambil adalah bahwa tidak akan pernah ada yang mampu membebaskan kita dari selubung kebodohan selain hanya petunjuk dari Rabb (wahyu). Namun wahyu tersebut juga tidak akan mampu menjadi petunjuk jika sebelumnya kita tidak berada dalam kondisi jiwa yang sangat tergantung pada petunjuk.
Begitulah yang juga terjadi pada jiwa Rasulullah. Saat beliau gelisah / bingung, selalu saja berharap dan menunggu kapan akan turun lagi wahyu padanya. Maka dengan kondisi jiwa seperti itu jugalah seharusnya kita mendatangi/membaca al-Quran, yaitu kondisi jiwa yang merasa lemah tanpa petunjuk, kondisi yang pasrah dan berharap agar al-Quran  berbicara pada kita dan menerangi kegelapan fikiran dan menenangkan kegelisahan batin kita.
Namun betapa sering kita membolak-balik dan membaca Al-Quran berulang-ulang, tapi tak memberi pengaruh apa pun, tak pernah menimbulkan petunjuk pada diri kita. Kita tak mampu merasakan wahyu sebagai petunjuk, karena terselubungi oleh tradisi berfikir lingkungan yang selama ini telah membentuk cara pandang kita.
Inilah kondisi insan yang tak berpetunjuk, sebuah kondisi yang diterangkan al-Quran sebagai kondisi yang ummi.  Sebagaimana yang disebut Al-Quran dalam surat al-Jumu'ah ayat 2 “Dialah yang mengutus seorang Rasul kepada kaum yang ummi dari kalangan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayatNya, menyucikan jiwa mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah, yang sebelumnya mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata (dholam)”.
Al-Quran dengan gamblang menjelaskan bahwa Rasulullah dan ummat bermula dahulu memulai menjalankan agama ini dari nol, sama sekali tak memiliki pengetahuan apapun tentang agama yang diturunkan Allah. Barulah setelah proses turunnya wahyu kepada mereka, jadilah mereka menjadi orang-orang yang berpengetahuan. Allah menyebutkan bahwasannya sebelum seseorang mengetahui wahyu maka kondisi tersebut disebut sebagai sesat dalam kenyataan.
Jadi istilah ummi menurut al-Quran bukanlah ummi yang kita fahami selama ini. Ummi bukanlah sekedar buta huruf, akan tetapi buta tentang petunjuk dari Rabb …Bukanlah tidak berpendidikan karena tidak bisa membaca-tulis huruf … tetapi tidak berpengetahuan karena belum mendapat petunjuk/wahyu dari Rabb. Maka hanyalah wahyu, satu-satunya yang dapat menjadikan kita sebagai insan yang berwahyu, yang berilmu dan berpengetahuan tentang apa-apa yang pada hakekatnya insan itu tidak mampu untuk mengetahuinya.
Namun menjadi insan yang berfikir dengan metoda wahyu di tengah-tengah masyarakat yang ummi yang sangat mengandalkan pemikirannya sendiri sebagai petunjuk, bukanlah hal yang mudah karena kita akan tampak sebagai insan yang mencoba melawan arus pemikiran yang sudah mapan, sehingga tampak asing, bahkan dianggap berbeda dan aneh, sebagaimana yang dialami oleh diri Muhammad.
Dikisahkan dalam banyak riwayat bahwa turunnya wahyu pertama pada awalnya menimbulkan kegelisahan yang hebat pada diri Rasulullah. Ia kemudian menjadi sosok yang pendiam, namun sering mengucapkan kata “Rabb… Rabb…”. Sejak itu ia pun tak tampil lagi seperti biasanya, sehingga menimbulkan tanda tanya dari orang-orang di sekitarnya, bahkan dinilai telah mengalami gangguan kejiwaan oleh kaumnya. Padahal itulah sebuah akibat dari guncangan hebat yang dialaminya pertanda telah terjadi revolusi berfikir yang begitu mendasar.
Tetapi hal yang paling penting bagi kita bukanlah bentuk perubahan itu, namun secara pasti telah terjadi perubahan pada diri beliau akibat turunnya wahyu pertama. Sehingga menjadi pelajaran penting bagi kita bahwasannya wahyu itu mampu menghapus segala pengaruh lingkungan yang telah mengakar dan mengkerangka pada diri seseorang.
Dan inilah pendidikan pertama dari Rabb kepada Rasulullah yang menjadikannya sebagai manusia berbeda karena telah menjadi manusia yang sepenuhnya yang dikendalikan oleh wahyu.

Iqro' bismirobbikalladzi kholaq (1) Kholaqol Insaana min 'alaq (2) Iqro Warobbukal Akrom (3) Alladzii 'allama bil Qolam (4) 'Allamal Insaana maa lam ya'alam (5)

1.  Bacalah dengan nama Rabbmu yang Menciptakan, 2. yang telah menciptakan insan dari alaq. 3.  Bacalah, bahwasannya Rabbmu Maha Pemurah, 4. yang mengajar dengan al-qolam, 5.  Mengajar insan apa-apa yang tidak  diketahui (insan).  (QS. Al-Alaq :1-5)

            Inilah pendidikan pertama dari Rabb yang nantinya akan disempurnakan secara bertahap dengan turunnya wahyu-wahyu selanjutnya hingga wahyu terakhir yaitu surat al-Maidah ayat 3. Hal ini sebagaimana firman Allah dalam surat al-Insan ayat 23 “Sesungguhnya Kami (sengaja) menurunkan Al-Quran kepadamu (Muhammad) secara bertahap”. Begitulah rencana Allah dalam menurunkan al-Quran dengan suatu metoda. Ia tidak diturunkan dalam jumlatan wahidatan, jumlah yang satu/sekaligus turunnya untuk selanjutnya Allah memerintahkan Rasulullah dan para sahabat untuk meneliti dan mempelajari isinya.  Tidak !!!
Dijelaskan dalam QS Al-Furqon ayat 32 “... Al-Quran itu tidak diturunkan kepadanya sekaligus. Demikianlah agar Kami tancapkan (secara mendalam) kepada hatimu ... ” Sungguh alasan Allah dalam memilih ayat-ayat tertentu untuk di turunkanNya terlebih dahulu mendahului ayat-ayat yang lain sesuai tingkat perkembangan pemikiran dan kejiwaan serta kondisi yang saat itu tengah dialami oleh Rasulullah dan para sahabatnya agar ayat-ayat tersebut tertancap secara mendalam di hati mereka.
Hal inilah yang sering kali tak kita sadari … tak pernah kita fikirkan mengapa Allah memilih al-Alaq untuk diturunkan pertama kali mendahului surat-surat yang lain, bahkan surat al-Fatihah, kalaulah tidak karena surat ini begitu penting dan mendasar untuk membongkar cara berfikir dan cara pandang manusia yang masih terpengaruh oleh metoda lingkungannya sehingga ia mempunyai cara berfikir yang benar sebagai seorang insan sebagaimana dikehandaki Rabbnya.
Begitulah metoda Allah di dalam memulai memberikan pengajaran kepada Rasulullah dan ummat bermula. Diajarinya dengan wahyu yang sengaja diturunkanNya dengan bertahap, dimana setiap tahapnya mempersiapkan jiwa, mental, dan pola berfikir untuk dapat memahami dan menerima wahyu selanjutnya, sekaligus menumbuhkan kesadaran sebagai insan yang selalu butuh kepada petunjuk.
Petunjuk adalah sebuah kebutuhan yang selalu dirasakan sehingga kita pun selalu menunggu dan berharap wahyu itu datang kepada kita. Itulah proses yang haq tentang turunnya Al-Quran sebagaimana disumpahkan Allah dalam surat Al-Isra' ayat 105 “Dengan haq Al-Quran itu diturunkan dan dengan haq pula (cara) Kami menurunkannya”, bukan hanya muatan/isi-nya saja yang haq itu, melainkan cara turunnya juga haq pula.
Maka dengan membaca surat al-Alaq (ayat 1-5) secara perlahan dan memahami pesannya, kita akan sampai pada sebuah pemahaman bahwa pemilihan surat al-Alaq sebagai wahyu pertama bukanlah merupakan pemilihan yang acak, sembarangan atau kebetulan belaka, namun telah menjadi sebuah rencana yang diatur dengan penuh perhitungan oleh Allah.
1. Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan
Kata iqro' (jika berdiri sendiri) memiliki pengertian ”bacalah”, yang berarti mengumpulkan atau mengeja huruf-huruf atau kata-kata dalam sebuah kalimat. Maka ketika iqro' dipahami hanya sebatas pada pengertian baca tulis, seharusnya saat itu (saat Jibril datang) sudah tersedia bahan bacaan untuk dibaca, sehingga ketika datang perintah untuk membaca, maka Muhammad sudah siap untuk membacanya.
Namun ketika itu, kondisinya tidaklah demikian. Sama sekali tidak ada bahan bacaan untuk dibaca, sementara kondisi Muhammad sendiri adalah sosok yang tidak bisa baca tulis. Namun nyatanya Allah memerintah Jibril untuk mendatangi Muhammad, seorang yang tak bisa baca tulis dan menyuruhnya untuk membaca. Bukankah tidak mungkin Allah keliru mengenali kondisi Muhammad? Bukankah juga tidak mungkin jika Jibril salah “sasaran”, salah memberi perintah membaca kepada orang yang sama sekali tidak bisa membaca? Juga tidaklah mungkin tetap memaksakan makna iqro' dengan arti baca tulis.
Karena hal itu berarti Muhammad tidak pernah mengamalkan ayat ini, karena tak ada fakta sejarah yang menyebutkan Muhammad mampu membaca dan menulis hingga akhir hidupnya. Membaca dalam pengertian ini hanyalah sebagai alat, bukanlah tujuan dari perintah itu sendiri.
Seperti yang telah diketahui, al-Quran memakai berbagai istilah di dalam bahasa Arab untuk menjelaskan pengertian atau makna tentang suatu  hal. Namun ketika istilah tersebut telah menjadi istilah al-Quran, maka pengertiannya pun berubah dari pengertian semula karena istilah tersebut telah menjadi milik al-Quran dengan definisinya sendiri. Sebagaimana istilah iman di dalam kamus tidak sama dengan pengertian iman di dalam al-Quran.
Demikian pula dengan pengertian sabar, shalat, dan istilah-istilah lainnya sebagaimana istilah Rabb itu sendiri.  Rabb, menurut pengertian pada masa itu adalah Tuhan seperti pengertian kita sekarang ini.  Kalau saat ini kita bicara tentang Tuhan sepertinya tidak ada konsep tentang Tuhan. Orang Budha berbicara tentang Tuhan, begitu juga dengan orang Konghuchu dan orang Kristen juga berbicara tentang Tuhan, bahkan orang tak beragama pun berbicara tentang Tuhan. Semua konsep Tuhan diserahkan menurut pengertian masing-masing. Bahkan istilah Tuhan itu juga bukan berasal dari Tuhan. Karena Tuhan itu sendiri tidak pernah memperkenalkan dirinya kepada manusia-manusia itu. Menurut orang Arab jahiliyah Tuhan itu banyak, berjumlah ratusan.
Dalam ayat ini disebutkan kata Rabbika, sebuah kata yang begitu mengejutkan bagi Muhammad walaupun kata “Rabb” sebelumnya telah dikenal luas di kalangan masyarakat Arab. Tapi kata Rabbika (yang bermakna Rabb-mu) Rabb kamu yang punya, belum pernah digunakan sebelumnya. Ini jelas beda dengan konsep Tuhan yang sebelumnya sebagai suatu pengertian karangan manusia itu sendiri dan ia pun mulai merasakan adanya pengertian baru tentang kedekatan hubungan  antara dirinya dengan sosok yang disebut Jibril sebagai Rabbnya itu.
Kata Rabb dikenal sebagai bentuk penguasaan dan kepedulian seperti pemelihara, pendidik, penjaga, pelindung  dan pengertian ini diperjelas oleh al Quran seperti kepedulian dari orang tua kepada anaknya sebagai pendidik dan penjaga sebagaimana dijelaskan dalam surat Al-Isra ayat 24 “… dan katakanlah 'Wahai Tuhanku rahmatilah keduanya (orang tua) sebagaimana keduanya menjadi Rabb bagiku pada waktu kecil ”. Namun pengertian Rabb sebagai pendidik dan penjaga, apalagi pencipta tidak pernah disandarkan pada sosok Tuhan.
Namun dalam surat al-Alaq ini Rabb  memperkenalkan dirinya sebagai Rabb yang menyayangi dirinya sekaligus yang menciptakannya.
Disinilah Allah memberikan sebuah kesadaran pada dirinya bahwa ia adalah makhluk yang sengaja diciptakan, sehingga muncullah rasa berendah diri di hadapan Rabbnya sekaligus kefahaman pada dirinya bahwa dia sedang dipedulikan, dididik, dijaga dan dipelihara oleh Rabbnya. Sebagai bentuk kepedulianNya, Rabb akan menjadikannya sebagai orang yang membaca sebagai bentuk pendidikan kepadanya. Begitu cara Allah mempersiapkan insan untuk dididikNya dengan wahyu, agar mau membaca apa-apa yang datang dariNya dan menjadikannya sebagai petunjuk dan inilah yang mesti kita sadari.
Perintah iqro’ yang dimaksud bukanlah menjadikan fenomena alam atau pengalaman-pengalaman hidup dari manusia sebagai bacaan. Atau malah menjadikan sejarah atau pemikiran para cendekiawan dan filosof  sebagai sumber pengetahuan.  Tapi membaca yang dimaksud dalam  ayat ini adalah membaca sesuatu  yang  belum  ada  dan  belum pernah  dibaca  sama  sekali  oleh  insan.
Demikianlah perintah iqro' akhirnya membatalkan semua hal yang telah kita baca dan kita ketahui selama ini sekaligus menganggap kita sebagai manusia yang ummi, yang belum pernah membaca apa pun. Ayat ini meyakinkan diri bahwa kita sebenarnya belum pernah menjadi orang yang benar-benar membaca. Karena itulah dengan perintah iqro' ini, Allah memerintahkan kita untuk selanjutnya menjadi “orang yang membaca''. Inilah prinsip yang harus kita lakukan !
Maka inilah saat “memulai” membuang segala pengetahuan yang ada sebelumnya, yang telah terlanjur mengkerangka dalam otak dan telah meresap dalam hati kita, kemudian mengisinya kembali dengan pengetahuan yang haq. 
 2.  yang telah menciptakan insan dari alaq
Inilah yang dikerjakan oleh Rabb, yaitu menciptakan kita sebagai insan dari ‘alaq. Berdasarkan surat al-Mukminun ayat 12-14, penciptaan insan dari alaq bukanlah merupakan proses awal penciptaan manusia. Dijelaskan bahwa penciptaan manusia berawal dari sari pati tanah kemudian air mani, lalu dijadikanlah sebagai ‘alaqoh kemudian jadi segumpal daging, dan selanjutnya dijadikan tulang dan daging. Namun mengapa dalam wahyu pertama ini Allah sengaja memilih untuk mengajarkan terlebih dahulu kepada kita tentang proses penciptaan kita dari alaq?
Beginilah Allah menceritakan penciptaan insan, yaitu berawal dari janin di perut ibu yang melekat dan menggantung pada dinding rahim, maka ia pun menghisap sari pati induknya. Sebuah awal penciptaan diri kita, sama sekali yang tak punya daya walau sekedar untuk bertahan hidup. Inilah yang sedang diingatkan Allah kepada kita, bahwa kita tak lebih hanyalah makhluk lemah yang sejak awal penciptaannya sudah bergantung pada pihak lain. Bahkan setelah tumbuh dewasa hingga tua pun kita tetap saja bergantung pada pihak lain hingga kita mati nanti.
Tidak tahukah kita bahwa Allah telah melakukan banyak hal untuk menolong kita? Tidak sadarkah kita tentang perbuatan Allah yang telah menundukkan seisi langit dan bumi hanya demi menjamin dan menyiapkan terpenuhinya seluruh kebutuhan hidup kita?
Cermati! diciptakanNya kuda agar kita dapat bepergian dan melakukan atau mendapatkan banyak hal dari tempat-tempat lain. Ditiupkannya angin di tengah lautan agar kapal kita mampu mengarungi samudera hingga mengantarkan kita pada belahan bumi yang lain. Pernahkan kita berfikir bagaimana jadinya jika Allah tidak pernah merencanakan semua ini? Mampukah kita sampai pada perkembangan peradaban dan ketinggian teknologi seperti saat ini?
Namun hal ini sering kita lalaikan. Kita lebih disibukkan oleh kesombongan diri yang selalu merasa bisa berdiri sendiri, bisa mengatasi segala hal tanpa sekali pun butuh pertolongan pihak lain. Tidak sadarkah diri ini bahwa kita hanyalah mengikuti rencana-rencana Allah.
Maka seharusnyalah kita sadar bahwa diri ini hanyalah makhluk lemah tak berdaya yang akan selalu bergantung kepada rencana-rencanaNya. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan dalam penghujung ayat 14 dari surat al-Mukminun. Allah menyatakan bahwa “kemudian Kami tumbuhkan dia sebagai satu ciptaan yang berbeda dari yang lainnya”. Secara fisik proses penciptaan insan mungkin memiliki kesamaan dengan proses penciptaan makhluk lain seperti binatang mamalia/primata lainnya. Namun pada proses penciptaan selanjutnya Allah menjadikannya sebagai makhluk yang jelas berbeda dari lainnnya. Itulah insan, dimana dalam proses selanjutnya insan akan mengalami proses kehidupan yang tidak lagi sama dengan makhluk lain.
Demikianlah insan tidaklah dicipta hanya fisik saja namun diciptakan seutuhnya beserta pengetahuan dan kesadaran pada peran yang dimainkannya berikut tata nilai yang melekat pada kehidupannya.
Jika makhluk lain hanya diciptakan untuk hidup dengan cara yang sederhana, dihidupkan kemudian dimatikan begitu saja, tetapi tidak demikian dengan makhluk bernama insan ini. Allah memiliki rencana besar atas diri insan ini, sehingga dalam fase kehidupannya di muka bumi insan memiliki tugas dan misi yang tidak dibebankan pada makhluk lain. Sebagaimana rencana Allah untuk menjadikan manusia sebagai khalifah di muka bumi, dan untuk itu Rabb akan mengajarinya tentang semua hal yang tidak diketahuinya, termasuk peran dan tugasnya. Begitupun perihal kematiannya, Allah juga memiliki serangkaian rencana atasnya. Mulai dari proses kematiannya hingga rencana Allah untuk menghidupkannya lagi di hari berhisab nanti. Namun insan sama sekali tidak memiliki pengetahuan tentang semua rencana Rabb-nya itu. Tidak dapat dibayangkan seandainya kita hidup tanpa tahu sama sekali tentang rencana yang telah dibuat Allah dalam kehidupan kita.
3. Bacalah, bahwasannya Rabbmu Maha Pemurah
“Bacalah…!” Demikianlah Rabb mengulang sekali lagi perintahNya, mencoba menarik perhatian kita agar benar-benar memperhatikan perintah membaca tersebut. Seolah memberi peringatan bahwa perintah membaca bukanlah perintah main-main, akan tetapi sebuah perintah sangat mendasar yang nantinya akan memberikan pengaruh dalam memandang atau menerima pengajaran-pengajaran selanjutnya. 
Jika dalam ayat pertama perintah iqro' disandarkan pada sifat Rabb sebagai Sang Pencipta, dalam ayat ini ia disandarkan pada sifat Rabb sebagai Yang Maha Pemurah (Akram). Terkait dengan rencana penciptaan insan yang disertai dengan rencana-rencana Rabb tersebut maka Rabb memerintahkan kita sekali lagi untuk membaca, membaca apa-apa yang telah menjadi rencana Rabb agar insan menjadi tahu untuk apa dia diciptakan.
Inilah bukti Maha Pemurah dari Rabb. Saat yang lain dibiarkan tidak mengerti tentang tujuan penciptaan dirinya sebagai insan dan hanya dilebihkan dengan rezki dan kesenangan-kesenangan dunia lainnya, diri ini justru diberiNya sesuatu yang  lebih besar dan lebih berharga dari sekedar dunia yaitu dikayakanNya kita dengan limpahan nikmat petunjuk dari Rabb.
Terasalah diri ini lebih diutamakan dari sekian manusia yang lain. Namun kadang kita tidak pernah sadar tentang nikmat paling besar ini hingga kita tak pernah bersyukur telah memilikinya, hingga kita pun menyia-nyiakannya.
Jadi bukti Maha Pemurah Allah kepada hambanya bukanlah terletak pada melimpahnya pemberian materi kepada hambaNya tersebut sebagaimana yang disangka oleh sebagian manusia seperti di terangkan Allah dalam surat Al-Fajr ayat 15-16 “Maka manusia jika Rabbnya mengujinya maka dimuliakanlah dia dan ditambahkan nikmatNya maka dia mengatakan 'Rabbku itu pemurah kepadaku'. Dan jika diuji dengan menyempitkan rizkinya maka dia mengatakan 'Rabbku menghinakanku' ”.
Dengan demikian wujud kasih sayang Rabb kepada seseorang tidaklah dapat diukur dari pemberiannya yang hanya bersifat materi, tapi wujud kasih sayang itu justru terletak dari bagaimana Rabbnya menginginkannya untuk menjadi manusia yang berwahyu dengan mengajarinya apa-apa yang tidak mungkin diketahuinya.
Dengan memahami sifat Maha Pemurah dari Rabb ini maka sifat yang muncul pada diri Rasulullah ketika ia berhadapan dengan setiap masalah yang tidak ia ketahui penjelasan tentangnya adalah selalu menunggu kapan wahyu itu akan datang lagi untuk membimbing dan menjelaskan pada dirinya tentang hakekat masalah yang dialaminya.
Dan begitu pula yang seharusnya kita rasakan. Selalu mencari dan menanti wahyu dengan cara membaca kitabNya dan berharap mendapat petunjukNya disana. Saat itulah Allah mengajarkan kepada kita tentang hakekat dari kenyataan yang sedang kita alami melalui wahyu yang kita dapati tertulis dalam kitab yang sampai kepada kita, sebagaimana dulu wahyu itu turun kepada Muhammad. Yang membedakan adalah cara bagaimana wahyu itu sampai kepada kita.
Saat itu Rasulullah mendapatkannya langsung dari Jibril, sementara kita hanya tinggal membacanya dalam al-Quran. Namun yang menjadi pertanyaan adalah apakah kita mau membuka dan membacanya dengan harapan mendapat petunjukNya atau tidak. Hal itulah yang akan menentukan apakah bacaan itu akan kita rasakan sebagai wahyu yang memberi petunjuk atau hanya sekedar bacaan biasa saja, sehingga kita tak pernah merasakannya sebagai wahyu.
Namun ketika kita mampu merasakannya sebagai wahyu, maka kita akan merasakan betapa Rabb sedang memperdulikan kita … Rabb sedang mengajari kita, menunjuki kita jalan terbaikNya. Setiap ayat yang datang akan kita rasakan sebagai curahan rahmat dan nikmat yang begitu besar tak ada bandingannya. Sehingga yang terucap adalah ucapan “alhamdulillahirabbil 'alamin”.
Demikianlah ucapan syukur yang selalu kita ikrarkan dihadapan Rabb saat bermunajat kepadaNya. Maka ketika Rabb Yang Maha Tahu itu telah menyatakan bahwa diriNya adalah Yang Maha Pemurah kepada hambaNya, maka kepada siapa lagi insan ini layak untuk bergantung? Maka tidaklah layak bagi insan untuk merasa butuh berguru kepada yang lain, selain hanya pengajaran dari Rabbnya. Dan beginilah metoda Rabb dalam memberikan pengajaran kepada insan …
4. Yang mengajar dengan al-qolam
Saat wahyu ini diturunkan belum ada pengertian tentang apa “al-qolam” yang secara bahasa berarti pena. Tetapi tentunya bukanlah dalam pengertian bahasa lingkungan, namun satu istilah yang digunakan Allah yang kelak digunakan untuk memaknai suatu bentuk pengajaran melalui wahyu yang pada akhirnya menjadi sesuatu yang tertulis di dalam kitab. Inilah sumber ilmu satu-satunya bagi insan yang diakui oleh Rabb karena ia memuat seluruh materi pengajaran dari Rabb. Al-Qolam inilah wahyu yang akan kita baca dengan atas nama Rabb kita sebagaimana diperintahkan dalam ayat pertama.
Sekiranya Allah menginginkan seseorang menjadi berpengetahuan maka Ia akan jadikan wahyu itu sampai kepada orang tersebut. Inilah metoda Rabb di dalam menyempurnakan tujuan penciptaan insan dengan jalan mencenderungkan insan pada petunjuk dan selalu melihat wahyu itu sebagai sesuatu yang mengarahkan dirinya. Saat itulah Allah memberinya pengajaran sehingga ia menjadi orang yang mengikuti wahyu.
Namun betapa banyak manusia berharap mendapat petunjuk, tetapi yang dilakukannya justru lari dari petunjuk dan berpaling pada pemikirannya sendiri dikarenakan tidak mengenal dan memahami makna berayat dan berpetunjuk.
Selama seseorang belum mengenal hakekat tentang ayat/wahyu maka selama itu juga ia tidak mengenal hakekat berpetunjuk. Ketika seseorang hanya menjadikan ayat sebagai pembenaran dari pemikirannya sendiri, maka sebenarnya ia telah terjerumus kepada kesesatan karena pada hakekatnya bukanlah ayat itu yang menunjuki dirinya tetapi maunya dirinya-lah yang diikutinya. Demikianlah kebanyakan orang menyikapi setiap ayat yang diketahuinya. Dan hal ini jelas sangat berbeda dengan cara Rasulullah berpetunjuk dengan ayat.
5. Mengajar insan apa-apa yang tidak  diketahui (insan)
Inilah suatu pengajaran dari langit yang sengaja diatur oleh Rabb dengan penuh perhitungan, untuk insan yang telah diciptakannya. Sebagaimana telah dijelaskan bahwa insan bukanlah makhluk yang diciptakan dan dihidupkan begitu saja, namun ia mengemban tugas untuk menjalankan serangkaian rencana-rencana Rabb terkait dengan penciptaan dirinya.
Maka Allah membekalinya dengan pengajaran / petunjuk  tentang apa-apa yang tidak bisa diketahuinya namun mutlak harus dipahaminya. Demikianlah Allah tidak akan mengajari hal-hal “remeh” yang masih mungkin bagi insan untuk mempelajarinya sendiri. Namun apa yang diajarkanNya merupakan sesuatu yang pasti tidak dapat diketahui / dipelajari sendiri oleh insan dan tidak dapat diketahuinya dari insan yang lain, karena berada jauh diluar jangkauan pengetahuan dan pengalaman insan kecuali hanya Rabb sendiri yang menjelaskannya dengan jalan pewahyuan.
Di dalam pengajaran tersebut, diantaranya berisi petunjuk tentang hakekat kehidupan dan kematian, kehidupan di dunia dan kehidupan di akhirat, serta rahasia-rahasia di balik penciptaan alam semesta yang kesemuanya tak pernah didengar / didapatkan dari yang lain. Semuanya masih “gelap” tak terlihat dengan jelas …masih ghaib dan tak tampak nyata oleh insan. Untuk itulah Rabb mengajarkan kepada insan satu per satu dari rencana dan rahasiaNya agar menjadi terang dan jelas dipahami oleh insan.
Ayat-ayat di atas sejatinya sedang membongkar kesombongan manusia zaman sekarang yang mengira dirinya telah memiliki pengetahuan yang luas dan mendalam tentang kehidupan. Bukankah kita selalu mengira bahwa orang-orang terdahulu hanyalah manusia-manusia “purba”, manusia-manusia “pra sejarah” yang tidak berpengetahuan dan tidak berperadaban, sehingga diri kita selalu merasa lebih pandai dan lebih berpengetahuan dari mereka. Inilah kesalahan berpikir yang fatal karena menurut Allah semua manusia di segala zaman pada dasarnya adalah sama-sama bodoh selama belum mendapat pengajaran dari Tuhannya.
Demikianlah Allah mendudukkan dan menyadarkan diri kita bahwa kita akan tetap bodoh dan tersesat selama kita tidak menjadi insan yang berwahyu. Bagaimana bisa kita mengaku sebagai manusia yang berpengetahuan jika nyatanya satu-satunya sumber ilmu pengetahuan yang haq tidak pernah kita baca.
Sehingga pemahamannya tentang insan mulai saat itu telah berubah, baik insan itu adalah dirinya sendiri maupun insan itu adalah orang lain yang dianggapnya pandai. Bahwa sebenarnya dirinya maupun insan-insan yang lain adalah makhluk yang sama-sama bodoh dan tidak akan pernah sampai dan mampu untuk mengetahui apapun selama Rabb tidak memberitahukannya. Saat itulah tiada lagi kepercayaan kepada apa-apa yang datang dari sesama insan, kecuali apa yang disampaikan insan itu berasal dari Rabbnya. Maka mulai saat itu dipersiapkanlah dirinya untuk menjadi murid atau orang yang bodoh dan siap untuk diajari oleh gurunya, yaitu Rabbnya sendiri.
Demikianlah hikmah diturunkannya surat al-Alaq ayat 1-5 ini.  Ia mengajarkan dasar-dasar pemikiran agar kita menjadi insan yang mau dan mampu menerima pengajaran dari Rabbnya. Yaitu dengan terlebih dahulu disadarkan sebagai insan yang bodoh dan bergantung sepenuhnya pada pengajaran Rabb. Dengan kesadaran seperti ini kita kemudian bersiap diri sebagai insan yang selalu mencari tahu dan mau diajari oleh Rabb secara langsung. Dengan kesadaran seperti itulah kita mendatangi Al-Quran dan membacanya, karena Al-Quran tak kan pernah memberi pengajaran kepada kita selama kita masih menganggap diri kita sebagai orang pintar.
Al-Quran tidak sudi mengajari orang-orang yang sok pintar dan mempertanyakannya. Maka yang terlebih dahulu harus kita lakukan adalah merobohkan dinding-dinding kesombongan sebagai orang yang mengaku telah berpengetahuan yang terbungkus dengan pemikiran-pemikiran ilmiah, bukti-bukti empiris, rasionalitas, serta kemajuan teknologi dan sains.
Haruslah kita datang sebagai orang yang bodoh dan menyerah pada yang diajarkan oleh al-Quran.  Barulah al-Quran itu memancarkan nur-nya, menerangi semua kegelapan pemikiran kita dan menyibak semua ketertutupan  akal serta tabu ilmiah yang kita derita. Sehingga semua kehendakNya menjadi terang dan jelas bagi kita. Dan saat itulah wahyu itu turun kepada diri kita dan menjadikan kita sebagai insan yang berwahyu.
Maka marilah bersegera mengambil keputusan besar ini! Memutuskan untuk membuang apa-apa yang telah kita ketahui sebelumnya dan menempatkan diri sebagai manusia bodoh yang bersedia menjadi murid yang mau diajari oleh Rabb kita sendiri secara langsung melalui wahyuNya.
Apa yang terjadi dengan diri Muhammad begitu pula hendaknya terjadi dengan diri kita. Kalau tidak? betapa salahnya kita. Rasulullah telah melaksanakannya dan kita pun telah melihat bukti kecanggihan dan kebenarannya.
Kalau kita masih menolak, lalu apa yang kita cari? Bukankah itu wahyu! Bukankah itu tertulis! Bukankah telah dilaksanakan! Jadi apa sebenarnya yang telah kita ikuti selama ini??? Apalagi kalau bukan hawa nafsu. Sebuah kebodohan yang ada di dalam diri.
Maka, mari bersiap untuk menuju pengajaran selanjutnya yaitu surat al-Muzammil, sebagaimana dulu Rasulullah juga menunggu wahyu tersebut.
Selamat menunggu wahyu selanjutnya!!!

1 komentar:

  1. Semua artikel yang saya baca mengatakan bahwa pada saat itu nabi menjawab MA ANA BI QIRU.. saya ingin tahu hadits tentang itu, hadits yang mengatakan bahwa nabi menjawab dengan kata2 MA ANA BI QIRI, siapa perawinya, apa Nabi sendiri yang bilang lalu ditulis ulang sama perawi, atau bagaimana? Kalau bukan nabi yang bilang (mengenai kejadian wahyu pertama itu), lalu artinya perawi hadits itu dong berarti yang bilang bahwa nabi menjawab dengan kalimat MA ANA BI QIRI tsb... bagaimana caranya? Apakah sang perawi mengintip kejadian di gua hiro atau bagaiama?

    BalasHapus